ini memang cerita poligami namun bukan cerita istri yang tertindas karena menjadi yang ketiga. Melainkan kisah gadis tomboy yang cerdas, pintar dan membuat dia survive dalam kehidupannya.
Naura Kiana tak pernah menduga kalau kehidupan akan membawanya pada sesuatu yang tak ia sukai. Setelah kakeknya bangkrut dan sakit-sakitan, Naura diminta untuk menikah dengan seorang pria yang sama sekali tak dikenalnya. Bukan hanya itu saja, Naura bahkan menjadi istri ketiga dari pria itu. Naura sudah membayangkan bahwa pria itu adalah seorang tua bangka mesum yang tidak pernah puas dengan dua istrinya.
Naura ingin melarikan diri, apalagi saat tahu kalau ia akan tinggal di desa setelah menikah. Bagaimana Naura menjalani pernikahannya? Apalagi dengan kedua istri suaminya yang ingin selalu menyingkirkannya? Bagaimana perasaan Naura ketika pria yang sejak dulu disukainya akhirnya menyatakan cinta padanya justru disaat ia sudah menikah?
Ini kisah poligami yang lucu dan jauh dari kesan istri tertindas yang lemah. Yuk nyimak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memulai Kehidupan Baru
Saat mobil yang dikendarai oleh Gading memasuki kawasan hutan, Naura merasa mengenali tempat ini. Ya, ia pernah beberapa kali datang ke sini waktu masih kecil. Namun tak pernah diijinkan pergi ke desa.
Naura memandang ke luar kaca jendela mobil. Ya, dia jadi tahu kemana mereka akan pergi. Apakah ke rumah yang ada di bukit itu?
"Kita sudah sampai. Ayo turun!"
Naura kaget. Wisnu sudah berdiri di samping pintu yang sudah terbuka. Ia pun segera turun. Memandang alam sekeliling dan membuatnya harus menghembuskan napas dengan berat. Di sinilah hidupnya akan di mulai. Menjadi istri ketiga dan hidup dalam kesunyian di desa yang sepi. Daerah perkebunan ini jauh dari rumah-rumah penduduk.
Seorang pembantu langsung datang menyambut mereka. Rambutnya hampir putih semua.
"Duh Gusti, non. Sudah Segede ini. Cantik dan ternyata sudah jadi pengantin."
Naura memandang wanita tua di depannya sambil mengerutkan dahinya. Mencoba mengingat sepenggal kenangan dari kenangannya yang memang tak banyak di tempat ini.
"Bi Aisa?" tanya Naura masih ragu.
Bi Aisa mengangguk. Mata tuanya bahkan sempat berkaca-kaca. "Terima kasih nona masih mengingat abdi kecil seperti saya ini.'
Wisnu memperhatikan bagaimana Naura tanpa ragu memeluk wanita tua itu. Tak ada jarak antara nyonya dan abdi nya.
"Juragan Wisnu, selamat datang! Saya Aisa, pelayan lama di rumah ini. Kata tuan Gading, saya bisa tetap bekerja di rumah ini." Aisa membungkuk ke arah Wisnu.
Wisnu menatap Gading yang berdiri di samping Aisa. "Kalau memang dia sudah katakan demikian, maka saya percaya dengan penilaiannya."
Aisa mengangguk. "Semua ruangan sudah siap di tempati, juragan. Kamar utamanya ada di lantai dua. Ada 3 kamar di lantai satu. Kata tuan Gading itu untuk istri pertama dan kedua. Jadi kamar nona Naura apakah ada di lantai satu atau lantai dua?" tanya Aisa masih dengan sedikit membungkuk.
"Naura akan bersamaku di kamar utama. Masukan koper dan barang-barang yang lain." kata Wisnu lalu ia segera masuk ke dalam rumah diikuti oleh Naura.
Memasuki ruang tamu, Naura bagaikan mengenang kembali masa kecilnya. Ia pernah berlarian di tangga itu. Pernah bermain sepeda di ruang keluarga sampai kakeknya harus melotot ke arahnya karena ada tamu.
Hati Naura menjadi sedih. Kenangan membuatnya jadi ingat dengan papa dan mamanya. Sebagai anak tunggal, Naura memang sangat dimanja, dan dilimpahi kasih sayang yang besar.
"Nyonya mau minum teh atau kopi?" Seorang pelayan datang mendekat. Usianya mungkin tak beda jauh dari Naura.
"Siapa namamu?" tanya Naura.
"Saya Wina. Pelayan baru di rumah ini."
"Saya nggak suka minum kopi atau teh di jam seperti ini. Lagi pula saya tidak suka makan yang manis-manis. Terima kasih ya." Pamit Naura lalu segera menaiki tangga menuju ke lantai dua.
Wina menatap kepergian Naura sambil menahan senyum misteri di bibirnya. Ia kemudian kembali ke dapur.
"Jadi nyonya kita mau minum apa?" tanya Mona, salah satu pelayan yang usianya lebih tua 4 tahun dari Wina.
"Dia nggak mau minum di jam seperti ini dan juga dia tak suka sesuatu yang manis-manis. Begitulah yang dia katakan."
Mona menaikan alisnya. "Tumben, biasanya pengantin baru suka yang manis-manis."
"Jangan membicarakan tuan dan nyonya di belakang mereka. Itu nggak baik." Aisa menegur dua orang pelayan yang memang baru 3 hari ini bekerja di sini. Mereka adalah dua gadis dari desa yang berbeda. Kalau Wina ia berasal dari desa yang sama dengan Aisa. Sedangkan Mona dari desa sebelah.
Mendapatkan teguran dari Aisa, kedua gadis itu langsung memisahkan diri.
********
Setelah puas bernostalgia di sekeliling rumah, Naura tiba di kamar utama yang ada di lantai dua. Kamar ini dulunya adalah kamar papa dan mamanya. Naura dulu jarang masuk ke kamar ini. Namun saat melihat semua perabotannya, Naura tahu kalau ini semua adalah baru. Model kamar ini, mirip kamar Wisnu yang ada di kota.
Pintu kamar mandi terbuka, Wisnu keluar kamar mandi. Sepertinya ia baru selesai mandi. Pria itu hanya menggunakan celana jeans selutut tanpa atasan. Naura langsung memalingkan wajahnya saat melihat tubuh atletis Wisnu.
"Sudah puas berkeliling?" tanya Wisnu sambil mengeringkan rambutnya dengan sebuah handuk kecil di tangannya.
"Iya. Ini rumahku dulu."
"Kakek mu menjualnya kepadaku."
"Jadi sekarang ini menjadi milikmu?"
"Milikmu juga karena kau adalah istriku."
Naura tersenyum sedikit menertawakan ungkapan Wisnu yang menyebutnya sebagai istrinya.
Wisnu dapat membaca perubahan wajah Naura. "Kenapa? Apakah kau masih belum menyadari kalau kau adalah istriku?"
"Sudahlah juragan! Aku tak akan menjadi istrimu selamanya. Aku yakin tak lama lagi kau akan mencari istri yang keempat."
"Kenapa kau begitu yakin?"
"Karena kau terlihat seperti pria tua mesum. Kau sudah memiliki 2 istri yang sangat cantik, masih saja mau menikahi ku."
Wisnu sebenarnya merasa jengkel dengan perkataan Naura yang menyebutnya sebagai pria tua mesum. Tapi Wisnu tak mau menunjukan emosinya yang ia tahu akan membuat Naura senang.
"Apakah kau tahu kalau aku menikahi mu atas permintaan kakek mu?" tanya Wisnu sambil melemparkan handuk yang ada di tangannya ke keranjang baju kotor yang ada di dekat lorong masuk ke kamar mandi.
"Aku tahu. Kakek menceritakan padaku."
"Baguslah. Seharusnya dari situ kau sudah bisa menilai apakah aku pria tua mesum atau seorang pria yang berusaha menyelamatkan harga diri seorang gadis yang hamil." Kata Wisnu pelan, namun sangat tajam sampai menembus kedalam hati Naura. Hampir saja gadis itu berteriak kalau dia tidak hamil. Namun ia berusaha menguasai dirinya karena ia ingin lepas dari suaminya itu.
"Kamu kan punya hak untuk menolaknya."
Wisnu tersenyum kecil. "Sayangnya tawaran kakek mu sangat menguntungkan usahaku. Anggaplah pernikahan ini sebagai amal bagiku."
"Amal?"
"Ya. Karena aku menyelamatkan nama baikmu, harga dirimu dan juga kesejahteraan hidupmu."
"Jadi, haruskah aku berterima kasih padamu?" tanya Naura sambil menatap Wisnu dengan tatapan yang tajam.
"Lakukan saja tugasmu secara benar. Dan berhentilah melompat saat kau menuruni tangga karena itu tak baik untuk seorang wanita hamil." Wisnu membuka lemari dan mengambil sebuah kaos rumahan berwarna hitam. "Mandilah, setelah itu kita akan ke perkampungan. Aku harus mendaftarkan mu sebagai istriku kepada sekretaris desa."
"Apakah kedua istrimu juga sudah kau daftarkan?"
"Ya."
"Kalau begitu aku tak mau pergi!"
"Kenapa?"
"Aku malu harus menjadi istri ketiga."
Wisnu terpaku di tempatnya berdiri. Perkataan Naura entah mengapa sangat menusuk hatinya. Apakah Naura malu bersuamikan dirinya?
"Kenapa malu?" Wisnu akhirnya bertanya.
"Nanti aku di kira sebagai gadis muda matre yang rela dijadikan istri ketiga. Aku tak mau." Naura membaringkan tubuhnya lalu membelakangi Wisnu.
"Jika kau tak pergi, nanti kau dikira sebagai simpanan ku. Ayolah mandi dan ganti pakaian, aku akan menunggumu di bawa."
"Aku mengantuk." Naura memejamkan matanya. Ia benar-benar merasa lelah.
"Kau sudah makan siang?"
Naura tak menjawab. Wisnu memutar langkah ke sisi lain tempat tidur sehingga ia bisa menatap gadis itu. Naura benar-benar sudah tertidur. Gadis bandel yang suka memberontak. Aku tak dapat membayangkan bagaimana ia akan berjalan dengan perutnya yang mulai besar. Apakah dia masih akan terlihat tomboy?
Wisnu memutuskan untuk pergi sendiri ke rumah sekretaris desa sambil membawa buku nikah mereka.
Pak Somat, sang Sekdes menyambut Wisnu dengan ramah.
"Juragan, selamat ya atas pernikahan yang ketiga."
"Terima kasih, pak."
Pak Somat langsung mencatat nama Naura di buku yang ada.
"Apakah benar perkebunan tuan Zumi sudah dibeli oleh juragan?"
Wisnu mengangguk.
"Wah, semakin besar lahan juragan yang ada di desa ini. Oh ya, apa benar istri juragan yang ketiga ini adalah cucu tuan Zumi?"
Wisnu pun kembali mengangguk. Ternyata gosip telah cepat menyebar.
"Pantas saja pak Kades marah-marah. Kebun itu kan biasa diolah olehnya dan para pekerjanya. Namun tuan Gading telah memecat mereka semua."
"Aku percaya dengan semua yang Gading lakukan."
"Juragan, banyak penduduk desa ini meminta kepada saya untuk membujuk juragan supaya mau menjadi kepala desa di desa Hijau Permai ini. Kan tahun depan akan ada pemilihan kepala desa yang baru."
Wisnu mengerutkan dahinya. "Menjadi kepala desa? Pak sekdes, usiaku saja baru 30 tahun."
"Tapi juragan adalah penduduk desa ini. Rumah juragan ada di sini, perkebunan juragan yang terbesar di tempat ini." pak Somat melihat ke kiri dan ke kanan, seolah takut kalau ada yang mendengarkan perkataannya nanti. "Kepala desa yang sekarang sudah dua periode memimpin desa ini, namun tak ada yang dia lakukan selain mempergunakan dana desa untuk keuntungannya sendiri. Untung saja juragan memberikan upah yang baik bagi para pekerja, kalau tidak, pasti mereka hidup dalam kemiskinan dan akhirnya harus berhutang pada kepala desa."
Wisnu menarik napas panjang. "Mungkin sebaiknya pak Somat saja yang jadi kepala desa."
"Saya sudah tua, juragan. Desa ini butuh pemimpin yang masih muda. Yang mencintai masyarakatnya."
"Saya rasa kalau saya nggak cocok, pak."Wisnu berdiri. "Saya pulang dulu ya?" pamit Wisnu.
Gading yang sudah menunggunya di depan mobil segera membuka pintu mobil saat melihat tuannya mendekat.
"Kita langsung ke mansion di bukit atau tuan ingin ke rumah lama?"
"Ke mansion saja, Gading."
Gading pun membawa mobil dengan kecepatan sedang. Wisnu memperhatikan pemandangan yang ada di sepanjang jalan ini. Desa ini sebenarnya makmur. Bukan hanya hasil perkebunan, tapi juga ada hasil ikan yang didapatkan masyarakat melalui danau yang mengelilingi hampir sebagian besar desa ini.
Seharusnya masyarakat di sini makmur namun sebagian dari mereka sudah berhutang pada sang kepala desa yang membeli hasil panen mereka dengan harga yang murah. Lalu Wisnu mulai membeli beberapa ladang milik penduduk. Ia juga membiarkan sang pemilik ladang yang lama tetap bekerja dan mengolah hasil tanaman mereka. Tentu saja Wisnu memberikan mereka upah yang layak. Di tangan Wisnu, usaha keluarganya ini menjadi semakin maju.
Saat mereka tiba di rumah bukit, mansion itu itu terlihat sepi. Wisnu mengagumi daerah perbukitan ini. Ia akan melangkah masuk ke dalam mansion namun ekor matanya menatap seorang gadis yang sedang menaiki sepeda dan menuruni jalan melingkar yang menuju ke villa yang ada di dekat danau.
"Naura!" geram Wisnu karena melihat kelakuan gadis itu yang sangat membahayakan kandungannya. Wisnu mengikuti jalan lain yaitu menuruni tangga untuk cepat menemui istri ketiganya itu.
"Naura....!" Seru Wisnu saat melihat gadis itu sudah menghentikan sepedanya di depan villa.
Naura menoleh. "Juragan?"
"Kamu benar-benar ya....!" Wisnu menahan geramnya dengan mengepal tangannya.
"Kenapa sih?" Naura memarkir sepeda yang ditumpanginya. Ia turun dari atas sepada.
"Apakah kamu tak sadar kalau seorang wanita yang hamil muda tidak...., ya Allah, ada darah....!" Wisnu menunjukkan celana putih Naura yang berdarah di bagian pantatnya.
"Darah?" Naura mencoba melihat celana putihnya. Ia tak bisa melihat ada apa di sana. Makanya gadis itu berjalan sedikit cepat dan membelakangi kaca vila. Ia langsung memekik karena kaget melihat ada darah yang menempel di sana.
"Kamu keguguran, Naura. Ayo kita ke rumah sakit." Wisnu tanpa di duga langsung menggendong tubuh Naura dan secara cepat menaiki tangga.
Sial ! Rupanya tamu bulanan ku sudah datang.
********
Bagaimana reaksi Wisnu saat tahu kalau Naura tidak hamil???