NovelToon NovelToon
Bermimpi Di Waktu Senja

Bermimpi Di Waktu Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life
Popularitas:26
Nilai: 5
Nama Author: Mbak Ainun

Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: Di Balas Balai yang Dingin

Gedung Balai Kota berdiri angkuh dengan pilar-pilar putih besar yang mencerminkan gaya kolonial. Di dalam ruangan sidang Komisi Pembangunan yang luas, aroma kayu jati dan hawa dingin dari penyejuk udara yang berlebihan membuat Aris menggigil. Ia duduk di kursi kayu barisan belakang, mendekap sebuah kotak besar berisi maketnya seolah-olah itu adalah jantungnya sendiri.

Yudha duduk di sampingnya, sibuk memeriksa berkas hukum di tabletnya. "Tenang, Pak Aris. Kita hanya perlu meyakinkan mereka bahwa nilai sosial proyek ini jauh melampaui nilai pajak yang akan diberikan gudang Mahakarya," bisik Yudha memberikan semangat.

Tak lama kemudian, pintu besar di depan terbuka. Rombongan Grup Mahakarya masuk dengan langkah penuh percaya diri. Baskoro tidak datang sendiri; ia membawa tim hukum dengan tas kulit bermerek dan seorang arsitek muda yang tampak sombong. Saat melewati Aris, Baskoro hanya melirik sekilas dengan tatapan meremehkan, seolah-olah Aris hanyalah debu yang lupa dibersihkan.

"Sidang dengar pendapat proyek Sektor 12-B dimulai," ketuk palu ketua komisi, seorang pria paruh baya dengan wajah kaku bernama Pak Irwan.

Tim Mahakarya memulai presentasi mereka. Mereka menampilkan slide digital yang canggih dengan animasi 3D yang memukau. Mereka berbicara tentang "Efisiensi Logistik Nasional", "Peningkatan Pendapatan Daerah", dan "Penyerapan Tenaga Kerja". Di layar besar itu, lahan bantaran sungai tampak bersih, tertutup oleh bangunan kotak abu-abu yang masif dan kaku.

"Sekarang, giliran pihak pemohon intervensi," ujar Pak Irwan sambil menatap Aris. "Saudara Aris, silakan maju."

Aris berdiri. Kakinya terasa berat. Ia melangkah ke depan meja presentasi yang megah. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka kotak maketnya dan meletakkannya di atas meja. Dibandingkan dengan animasi 3D milik Mahakarya, maket Aris terlihat sangat kecil dan sederhana.

"Para anggota komisi yang terhormat," Aris memulai, suaranya awalnya serak namun perlahan menguat. "Pihak Mahakarya menunjukkan kepada Anda sebuah mesin uang. Tapi saya di sini untuk menunjukkan kepada Anda sebuah jantung."

Aris mulai menjelaskan detail maketnya. Ia menunjuk ke arah dermaga kecil yang dirancangnya. "Ini bukan sekadar dermaga. Ini adalah sistem penyaring sampah organik yang akan membantu membersihkan aliran sungai. Dan bangunan ini, Rumah Senja, dirancang dengan sistem cross-ventilation yang tidak memerlukan AC, menghemat energi secara total. Namun yang terpenting, ini adalah ruang bagi 200 kepala keluarga yang saat ini terancam kehilangan ruang hidupnya."

"Interupsi, Ketua," suara melengking dari arsitek muda Mahakarya memotong. "Rancangan ini sangat tidak realistis secara finansial. Siapa yang akan mendanainya? Siapa yang menjamin strukturnya kuat di tanah rawa seperti itu? Ini hanya karya seni, bukan solusi infrastruktur."

Aris menatap arsitek muda itu dengan tajam. "Strukturnya menggunakan teknik pondasi bore pile yang saya adaptasi dari proyek Jembatan Merah sepuluh tahun lalu—proyek yang saya pimpin saat Anda mungkin masih belajar menggambar garis lurus di kampus. Soal pendanaan, ini adalah investasi kemanusiaan."

Kegaduhan kecil terjadi di ruangan itu. Pak Irwan mengetuk palu. "Pak Aris, kami menghargai idealisme Anda. Namun, faktanya lahan tersebut sudah memiliki izin prinsip untuk industri. Apakah Anda memiliki dukungan finansial yang sah?"

Yudha segera berdiri. "Izin Ketua, kami sedang dalam tahap negosiasi dengan Global Green Fund. Namun, kami meminta komisi mengeluarkan status 'Quo' atau penundaan konstruksi selama 30 hari untuk verifikasi AMDAL lingkungan yang baru saja kami ajukan."

Baskoro tertawa pelan dari tempat duduknya, sebuah suara yang penuh ejekan. Namun sebelum ia sempat bicara, pintu ruangan tiba-tiba terbuka lagi.

Seorang wanita paruh baya dengan setelan batik yang elegan masuk. Ruangan mendadak hening. Pak Irwan bahkan berdiri dari kursinya. "Ibu Sekda? Ada apa tiba-tiba berkunjung ke sidang ini?"

Wanita itu adalah Ibu Ratna, Sekretaris Daerah yang dikenal sangat vokal terhadap isu lingkungan. "Saya baru saja menerima petisi digital yang ditandatangani oleh 50.000 warga kota dalam waktu kurang dari 24 jam. Judulnya: Jangan Tenggelamkan Rumah Senja. Saya ingin melihat sendiri apa yang sedang diperdebatkan di sini."

Ibu Ratna berjalan mendekati meja Aris. Ia menatap maket kayu balsa itu dengan seksama. Jarinya menyentuh miniatur pohon yang dibuat Aris. "Arsitektur yang memiliki jiwa," gumamnya pelan.

Ia berbalik menatap Baskoro, lalu ke arah komisi. "Saya rasa, 30 hari penundaan adalah hal yang sangat masuk akal bagi pemerintah kota untuk meninjau kembali izin Mahakarya. Kita tidak ingin diingat sebagai pemerintah yang menukar masa depan anak-anak bantaran sungai dengan sebuah gudang logistik, bukan?"

Baskoro tampak pucat. Rencananya untuk melindas lahan itu pagi ini telah gagal total di bawah sorotan publik yang dibawa oleh Aris.

"Baiklah," Pak Irwan mengetuk palu dengan ragu. "Sidang ditunda. Status Sektor 12-B dinyatakan Quo selama 30 hari kedepan."

Aris terduduk di kursinya setelah sidang ditutup. Ia merasa seperti baru saja mendaki gunung yang sangat tinggi. Ia menang lagi, tapi ia tahu ini hanyalah kemenangan sementara. Saat ia membereskan maketnya, Baskoro mendekatinya dengan langkah cepat.

"Kamu pikir kamu sudah menang karena bantuan wanita itu?" desis Baskoro. "Aku akan menggali setiap lubang hitam dalam karirmu sepuluh tahun lalu. Aku akan membuat nama Aris dikenal bukan sebagai arsitek visioner, tapi sebagai penipu."

Aris menatap mata Baskoro yang penuh kebencian. "Lakukan saja, Bas. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk kehilangan. Tapi kau? Kau punya reputasi perusahaan yang mulai retak."

Aris keluar dari Balai Kota disambut oleh cahaya senja yang mulai menyinari pilar-pilar gedung. Untuk pertama kalinya, warna jingga di langit tidak terasa seperti perpisahan baginya. Itu terasa seperti sebuah janji bahwa esok hari, masih akan ada pertarungan yang layak untuk diperjuangkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!