Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Para Naga di Kyoto
Musim gugur di Kyoto melukis kota tua itu dengan warna merah menyala dan emas. Namun, bagi Gavin dan Karina Adhitama, keindahan daun momiji yang berguguran hanyalah latar belakang dari medan perang baru yang akan mereka masuki.
Jet pribadi Gulfstream G700 milik Phoenix Group mendarat di landasan pacu pribadi yang tersembunyi di pinggiran Osaka, jauh dari mata publik. Tidak ada paparazzi, tidak ada karpet merah. Hanya ada tiga sedan hitam tanpa pelat nomor yang menunggu di aspal, dikelilingi oleh pria-pria berjas hitam dengan pin lapel berbentuk bunga krisan perak.
"Selamat datang di Jepang, Tuan Adhitama, Nyonya Adhitama," sapa seorang pria tua yang membungkuk dengan gaya militer. "Tuan Yamato menunggu kehadiran Anda di Ryū no Su (Sarang Naga)."
Gavin mengangguk, menggenggam tangan Karina saat mereka masuk ke dalam mobil. Di dalam kabin yang kedap suara, Gavin memberikan peringatan terakhir.
"Aliansi 12 Naga bukanlah rapat pemegang saham, Karina. Ini adalah pertemuan dua belas keluarga yang secara efektif mengendalikan 60% arus kas tidak resmi di Asia," jelas Gavin, suaranya rendah. "Keluarga Adhitama adalah salah satu pendiri, tetapi karena Ayahku menarik diri dari pergaulan selama dua dekade terakhir, posisi kita dianggap lemah. Mereka mengundang kita bukan untuk merayakan kemenangan atas OmniCorp. Mereka mengundang kita untuk menilai apakah kita aset, atau ancaman."
"Mereka takut pada Dana Tujuh Pilar," simpul Karina, lalu merapikan kerah blazer sutra hitamnya. "Mereka takut karena kita mengaktifkan senjata finansial yang seharusnya tidur."
"Tepat. Hati-hati dengan Takeshi Yamato. Dia adalah tuan rumah dan pemimpin de facto saat ini. Dia tradisionalis ekstrem. Dan waspadai Nyonya Li dari Hong Kong. Dia adalah ratu informasi yang mungkin tahu lebih banyak tentang Yayasan Integritas kamu daripada yang kamu duga."
****
Iring-iringan mobil membawa mereka mendaki jalan pegunungan yang berkelok, melewati hutan bambu yang lebat, hingga tiba di sebuah gerbang kayu raksasa yang tampak telah berdiri selama seribu tahun. Ini adalah Ryū no Su, sebuah kompleks kuil dan vila pribadi yang tidak tercantum dalam peta wisata mana pun.
Suasana di dalam kompleks itu hening, hampir menindas. Arsitekturnya sederhana namun memancarkan kekayaan yang tak terbayangkan, jenis kekayaan yang mampu membeli ketenangan mutlak.
Di aula utama yang terbuka ke arah taman batu Zen, sepuluh orang telah menunggu. Mereka duduk melingkar di kursi rendah. Semuanya berusia di atas enam puluh tahun, kecuali satu orang pria muda yang tampak seumuran dengan Gavin.
Takeshi Yamato, pria tua dengan rambut putih panjang yang diikat ke belakang dan mengenakan kimono formal berwarna abu-abu tua, berdiri menyambut.
"Gavin Adhitama," suara Yamato berat dan berwibawa. "Dan istri baru dari klan, Karina. Sudah lama sekali kursi Adhitama kosong di pertemuan ini. Ayah Anda, Dharma, memilih menjadi pertapa. Saya harap putranya lebih... kooperatif."
"Saya datang bukan untuk menjadi pertapa, Tuan Yamato," jawab Gavin, membungkuk hormat namun mempertahankan kontak mata. "Saya datang untuk memastikan bahwa kursi Adhitama tidak lagi diduduki oleh debu, melainkan oleh kekuatan."
Yamato tersenyum tipis, senyum yang tidak menjangkau matanya. "Kekuatan adalah kata yang berbahaya. Silakan duduk."
Rapat itu segera dipisahkan. Tradisi Aliansi 12 Naga memisahkan urusan 'Pedang' (bisnis keras yang dihadiri para patriark) dan urusan 'Sutra' (diplomasi lunak yang dihadiri para matriark dan istri). Gavin diarahkan ke meja bundar utama, sementara Karina dipandu oleh pelayan wanita menuju Paviliun Teh di tengah danau.
****
Di Paviliun Teh, Karina duduk berhadapan dengan Nyonya Li, seorang wanita elegan berusia 50-an dengan tatapan tajam seperti elang, dan istri Tuan Yamato, Nyonya Sakura, yang tampak lembut namun dingin.
Upacara minum teh berlangsung dalam keheningan yang menyiksa selama dua puluh menit. Setiap gerakan, setiap putaran mangkuk teh, adalah ujian etiket. Karina, yang telah dilatih kilat oleh Laksmi Adhitama, mengikuti ritual itu dengan cukup baik, meski ia tahu ia tidak sempurna.
Nyonya Li meletakkan cangkirnya dengan bunyi klik yang pelan namun tegas.
"Teh ini pahit," kata Nyonya Li dalam bahasa Inggris yang sempurna. "Seperti kenyataan bahwa Marga Adhitama membawa masuk seseorang dari luar lingkaran darah murni. Saya dengar Anda sangat vokal di media, Nyonya Karina. Yayasan Integritas... nama yang sangat 'barat'. Di sini, kami percaya integritas itu diam, tidak berteriak di koran."
Ini adalah serangan pertama. Mereka menganggap aktivisme Karina sebagai vulgar dan berisiko.
"Ketenangan adalah kemewahan, Nyonya Li," jawab Karina tenang, meletakkan cangkirnya. "Namun, ketika musuh seperti OmniCorp berteriak di depan gerbang kita, diam bukanlah integritas. Diam adalah bunuh diri. Saya berteriak agar suami saya bisa bekerja dalam ketenangan, Itu adalah pembagian tugas modern kami."
Nyonya Sakura tersenyum kecil di balik kipasnya. "Modern. Kata itu sering kali berarti 'tidak sopan' bagi kami. Anda tahu, Nyonya Karina, Aliansi ini dibangun di atas kepercayaan. Penggunaan Dana Tujuh Pilar oleh suami Anda untuk memanipulasi pasar komoditas Asia minggu lalu... itu membuat banyak suami kami kehilangan uang. Harga baja turun drastis karena intervensi Anda."
Karina menyadari intinya, Mereka marah bukan karena etika, tetapi karena dompet mereka tersentuh. Langkah Gavin membanjiri pasar untuk menyelamatkan Kota Pilar telah merugikan bisnis baja milik keluarga lain di Aliansi ini.
"Kehilangan sementara demi stabilitas jangka panjang," balas Karina diplomatis. "Jika OmniCorp menguasai logistik Asia, Anda semua akan kehilangan lebih dari sekadar margin baja. Anda akan kehilangan kedaulatan. Suami saya tidak menghancurkan harga pasar, dia membangun dinding pertahanan. Dan sebagai gantinya, Phoenix Group bersedia memberikan prioritas kontrak logistik Kota Pilar kepada anggota Aliansi."
Mata Nyonya Li menyipit, menghitung keuntungan. "Prioritas kontrak? Itu tawaran yang menarik. Apakah Anda memiliki otoritas untuk menjanjikan hal itu? Atau Anda harus bertanya pada suami Anda dulu?"
Karina menatap Nyonya Li lurus. "Saya memiliki akses penuh ke Dana Tujuh Pilar, sama seperti suami saya. Tanda tangan saya ada di sebelah tanda tangannya. Saya tidak perlu bertanya. Saya bisa memutuskan."
Keheningan turun di Paviliun Teh. Pengakuan bahwa seorang istri memiliki akses setara ke dana keramat klan adalah hal yang mengejutkan bagi para wanita tradisional ini. Karina baru saja meletakkan posisinya bukan sebagai pendamping, melainkan sebagai Ratu yang setara.
***
Sementara itu, di meja utama, suasananya jauh lebih bermusuhan.
Kenjiro Tanaka, anggota termuda Aliansi yang menguasai industri teknologi Jepang, menatap Gavin dengan sinis.
"Anda bermain api, Adhitama," kata Kenjiro. "Anda menarik perhatian global ke wilayah kita. Jatuhnya Vivian Thorne memicu penyelidikan regulator Amerika terhadap praktik bisnis di Asia. Kami tidak suka sorotan. Kami suka seeperti bayangan. Tindakan Anda yang gegabah membahayakan ekosistem kami."
Takeshi Yamato mengangguk setuju. "Aliansi ini bertujuan menjaga keseimbangan. Dana Tujuh Pilar seharusnya hanya digunakan jika seluruh Asia terancam, bukan untuk menyelamatkan satu proyek properti pribadi Anda. Anda menyalahgunakan warisan leluhur."
Gavin duduk bersandar, tidak terlihat terintimidasi. Ia memutar gelas sake di tangannya.
"Keseimbangan?" tanya Gavin, suaranya tenang namun tajam. "Keseimbangan apa yang Anda bicarakan, Tuan Yamato? Keseimbangan di mana OmniCorp perlahan-lahan membeli aset pelabuhan kalian satu per satu? Saya melihat laporan intelijen. Keluarga Tanaka baru saja kehilangan tender satelit kepada anak perusahaan OmniCorp bulan lalu. Keluarga Li kehilangan jalur pelayaran di Selat Malaka tahun lalu."
Gavin melemparkan sebuah flash drive hitam ke tengah meja bundar yang terbuat dari kayu ebony.
"OmniCorp tidak hanya menargetkan Phoenix. Mereka memiliki file bernama 'Operasi Naga Terlelap'. Vivian Thorne berencana untuk mencaplok aset kalian satu per satu saat kalian sibuk menjaga 'keseimbangan' dan bersembunyi di bayangan."
Kenjiro Tanaka menatap flash drive itu dengan ragu. "Apa isinya?"
"Data yang dicuri istri saya dari server pribadi Vivian Thorne," jawab Gavin. "Di dalamnya ada daftar 50 pejabat yang telah disuap OmniCorp di negara kalian masing-masing untuk melemahkan bisnis kalian. Saya tidak membawa masalah ke Asia, Tuan-tuan. Saya baru saja memusnahkan serigala yang sudah ada di dalam kandang domba kalian."
Yamato mengambil flash drive itu, wajahnya mengeras. Jika benar OmniCorp telah menyusup sedalam itu, maka tindakan Gavin bukanlah kecerobohan, melainkan penyelamatan.
"Jika data ini valid," kata Yamato perlahan, "maka Adhitama telah melakukan layanan besar bagi Aliansi."
"Data itu valid," tegas Gavin. "Saya menawarkan data itu sebagai hadiah perdamaian. Sebagai gantinya, saya menginginkan satu hal yaitu Pengakuan Penuh. Saya ingin Adhitama kembali memegang hak veto di Aliansi ini, dan saya ingin dukungan Aliansi untuk menjadikan Kota Pilar sebagai hub ekonomi baru Asia, bebas dari campur tangan Barat."
Kenjiro Tanaka memukul meja pelan. "Hak veto? Itu ambisius. Hak veto hanya dimiliki oleh Tiga Keluarga Pendiri. Adhitama sudah lama kehilangan hak itu karena absennya Dharma."
"Maka saya akan mengambilnya kembali," kata Gavin dingin. "Karena saat ini, hanya Adhitama yang memiliki likuiditas dan teknologi untuk memimpin perlawanan melawan gelombang kedua serangan korporasi global. Anda bisa menjadikan saya pemimpin, atau Anda bisa membiarkan saya berjalan sendiri dan saya pastikan, Phoenix Group akan memakan pangsa pasar kalian lebih cepat daripada OmniCorp."
Ancaman itu nyata. Gavin menawarkan tangan persahabatan, sambil memegang pistol finansial di tangan lainnya.
****
Makan malam bersama diadakan di aula besar. Suasananya telah berubah. Ketegangan masih ada, tetapi rasa hormat mulai tumbuh. Karina telah memenangkan hati (atau setidaknya rasa takut) para matriark dengan tawaran bisnisnya, dan Gavin telah membungkam kritik para patriark dengan data intelijennya.
Takeshi Yamato berdiri untuk memberikan toast.
"Klan Adhitama telah kembali," kata Yamato, mengangkat gelasnya. "Gavin dan Karina Adhitama telah membuktikan bahwa metode mereka, meskipun berisik dan modern, adalah apa yang dibutuhkan di era ini. Aliansi menerima kembalinya Adhitama sebagai anggota inti."
Gavin dan Karina mengangkat gelas mereka, lalu bertukar pandang. Mereka berhasil.
Namun, saat makan malam hampir berakhir, seorang pelayan membisikkan sesuatu kepada Kenjiro Tanaka. Wajah Kenjiro berubah pucat, lalu ia menatap Gavin dengan tatapan yang sulit diartikan campuran antara ketakutan dan kecurigaan baru.
Setelah makan malam, saat Gavin dan Karina berjalan kembali ke vila tamu mereka melewati taman bambu yang gelap, Kenjiro mencegat mereka.
"Adhitama," panggil Kenjiro. Dia tidak lagi sinis. Dia tampak terganggu.
"Ada apa, Tanaka?" tanya Gavin waspada.
"Data di flash drive itu," bisik Kenjiro. "Saya baru saja memeriksanya sekilas melalui tim saya. Ada satu folder terenkripsi yang Anda lewatkan. Atau mungkin... Anda sengaja menyembunyikannya."
"Saya memberikan semuanya," kata Gavin mengerutkan kening.
"Di dalam folder itu, ada catatan transfer dana dari OmniCorp ke sebuah rekening di Singapura," kata Kenjiro, suaranya bergetar. "Rekening itu... terdaftar atas nama Julian Adhitama. Tapi, tanggal transfernya adalah kemarin."
Gavin dan Karina terdiam. Julian seharusnya sudah hancur, tanpa uang, dan dalam pelarian. Bagaimana mungkin dia menerima dana dari OmniCorp kemarin, setelah Vivian Thorne jatuh?
"Itu berarti..." Karina berbisik, matanya membelalak.
"Itu berarti Vivian Thorne bukan satu-satunya pemain," sela Gavin, rahangnya mengeras. "Dan Julian tidak bekerja sendirian. Ada seseorang di dalam OmniCorp atau mungkin kekuatan yang lebih besar di atas Vivian yang masih mendanai Julian."
Kenjiro mendekat. "Jika Julian Adhitama masih aktif dan didanai oleh musuh kita, maka posisi Anda sebagai Pewaris Utama belum aman, Gavin. Aliansi baru saja menerima Anda, tetapi jika sepupu Anda kembali dengan kekuatan baru, perang saudara Adhitama akan menyeret kita semua. Bereskan sampah keluarga Anda, atau Aliansi akan membereskannya untuk Anda dengan cara kami."
Kenjiro menghilang ke dalam kegelapan hutan bambu.
Gavin berdiri diam di bawah sinar bulan, menggenggam tangan Karina begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Mereka mengira perang sudah selesai, tetapi ternyata mereka baru saja memotong satu kepala dari hydra. Kepala yang lain Julian kini tumbuh kembali, lebih berbahaya dan misterius dari sebelumnya.
"Julian tidak mungkin melakukan ini sendirian," kata Gavin pelan. "Siapa pun yang mendanainya sekarang... mereka menginginkan kehancuran total kita."