Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Maaf membuat kalian menunggu, Mas," ucap Tania dengan nada suara yang terkontrol, seolah kejadian barusan hanyalah insiden kecil.
Dika menatap Tania sekilas, rasa bersalah tidak ada di matanya.
"Iya, nggak apa-apa. Kamu istirahat aja kalau capek."
Tania menggeleng halus, tatapannya dingin tapi Dika tidak menyadarinya.
"Nggak, aku baik-baik aja. Aku mau menyambut tamu kita. Pasti Farah lelah setelah perjalanan jauh."
Tania melangkah melewati Dika, aroma sabun yang baru saja ia gunakan menutupi bau mualnya. Dika hanya menatap punggung istrinya sekilas sebelum mengikutinya kembali ke ruang tamu, sama sekali tidak menyadari bahwa wanita yang baru saja ia remehkan kini sedang memegang kendali penuh atas kehancurannya.
Sampai di ruang tamu Tania memasang senyum paling tulus yang ia miliki.
Dika mengikutinya dengan santai, kembali ke samping Farah. Aroma parfum manis dan suasana canggung menyambut Tania.
"Maaf ya, Farah, Ibu," ujar Tania, meletakkan tangannya dengan anggun di dada, memainkan peran istri sempurna dengan sempurna.
"Perut aku sedikit bermasalah. Sepertinya masuk angin."
Farah, wanita selingkuhan itu, terlihat jelas gugup. Matanya melirik ke arah Dika sejenak, mencari dukungan. Dia meremas ujung bajunya.
"Ah, i-iya, Kak Tania. Nggak masalah kok." Suaranya terdengar sedikit gemetar.
Ibu Dika, yang lebih pandai menyembunyikan emosi daripada Farah, segera menimpali, meskipun ada kekakuan dalam gerakannya.
"Iya, Nak. Kamu ini kecapean mungkin. Istirahat saja dulu."
Tania tersenyum lembut. "Nggak, Bu. aku baik-baik aja."
"Oh iya, Farah, Mas Dika bilang kamu dari kampung, ya? Ceritakan dong, bagaimana suasananya di sana? Pasti seru, aku udah lama nggak ke sana."
Pertanyaan Tania yang mendadak dan spesifik itu membuat Dika tersentak. Dia memelototi Tania sebentar, seolah memberi isyarat agar Tania berhenti bertanya.
Farah semakin gugup. "E-eh... iya, Kak. Suasananya... ya, begitulah. Biasa aja." Farah tergagap, bingung harus menjawab apa karena cerita "kampung" itu hanyalah karangan.
Tania menyadari kegugupan mereka. Ada kepuasan kecil di hatinya, namun ia tetap tenang. Ia melirik Dika dengan tatapan polos.
"Mas Dika, kok tegang begitu? Seperti orang mau diinterogasi, hahaha..."
Dika tersentak, cepat-cepat menormalkan ekspresinya.
"Ah, engg-gak, Sayang. Aku hanya lelah perjalanan jauh."
Tania mengangguk penuh pengertian, lalu duduk di sofa tunggal, menyilangkan kakinya dengan elegan.
"Sampai nggak tau Mas Dika punya sepupu yang cantik begini," tambah Tania dengan senyum manis, menyindir betapa jarang Dika membicarakan "keluarganya".
Dika terlihat sedikit kikuk mendengar pujian itu, tapi dengan cepat mengembang dada karena sombong.
"Ibu dan Farah pasti lelah," kata Tania.
"Lebih baik kita minum teh dulu. Biar aku buatkan. Mau teh apa, Farah?"
Farah kembali menatap Dika, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Ibu Dika yang akhirnya menjawab. "Teh manis hangat saja, Tania."
Tania tersenyum. "Baik, Bu."
Ia beranjak ke dapur, meninggalkan tiga orang yang tegang di ruang tamu, sementara ia sendiri puas dengan hasil sandiwara babak pertamanya.
Begitu punggung Tania menghilang di balik pintu dapur, suasana di ruang tamu langsung berubah tegang. Senyum palsu memudar, menyisakan kekhawatiran dan ambisi yang nyata.
Ibu Dika langsung menoleh ke arah putranya dengan tatapan tajam, suaranya direndam menjadi bisikan marah. "Dika! Kamu gila, ya? Membawa perempuan itu ke rumah kita? Ke rumah istrimu sendiri?"
Dika mendengus, duduk santai di sofa.
"Tenang, Bu. Tania tidak curiga sama sekali. Ibu lihat sendiri tadi, dia polos begitu saja percaya kalau Farah ini sepupu kita."
"Polos katamu?" Ibu Dika menggelengkan kepala, tangannya memijat pelipisnya. Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.
"Tania itu cerdas, Dika. Jangan remehkan dia. Kalau sampai dia tahu, habislah kita. Ibu tidak mau terlibat dalam kebohongan gila mu ini."
Farah, yang duduk di sebelah Dika, menyimak dengan saksama. Sebelumnya, dia hanya mendengar cerita tentang "Tania si istri rumahan yang membosankan". Tapi setelah melihat langsung Tania, dia merasakan aura yang berbeda—ketenangan dan wibawa yang membuat Farah sedikit terintimidasi.
"Mas Dika," imbuh Farah, suaranya sedikit gemetar, "Ibu benar. Istrimu... dia tidak terlihat seperti wanita yang mudah ditindas."
Dika menoleh ke Farah dengan sombong.
"Jangan takut, Sayang. Dia hanya istri rumahan biasa. Sudah lima tahun aku hidup dengannya, aku tahu luar dalamnya."
Namun, kekhawatiran Farah tidak sirna. Melihat kecantikan Tania yang alami dan tenang justru memicu sisi lain dalam dirinya—rasa ingin memiliki Dika sepenuhnya, menyingkirkan bayangan Tania.
Farah mendekat ke Dika, tatapannya berubah menjadi penuh tekad.
"Justru karena dia wanita biasa, aku jadi semakin menginginkanmu seutuhnya, Mas. Aku tidak mau sembunyi-sembunyi lagi. Aku ingin jadi satu-satunya istrimu."
Wajah Dika langsung berseri-seri mendengar pernyataan itu. Ego prianya melambung tinggi.
Kata-kata Farah terasa seperti madu di telinganya.
Dengan Tania, hubungan mereka terasa hambar dan datar karena usia pernikahan, tapi Farah memberinya gairah dan tantangan.
"Kamu serius?" tanya Dika, matanya berbinar.
"Sangat serius," jawab Farah mantap.
Dika tertawa kecil, melingkarkan tangannya di pinggang Farah, mengabaikan ibunya yang mendelik marah melihat kemesraan mereka.
"Baiklah, kalau begitu. Kita akan singkirkan Tania pelan-pelan. Aku janji, Sayang, kamu akan mendapatkan semuanya."
Mereka berdua terbuai dalam rencana jahat mereka, sama sekali tidak menyadari bahwa di dapur, Tania sedang tersenyum tipis,Tania menyalakan aplikasi di ponselnya, menghubungkan ke alat perekam kecil yang sudah ia sembunyikan di balik sofa sejak dua hari lalu. Suara Dika dan Farah memenuhi headset-nya.
Tania benar-benar menyiapkan segalanya dengan matang, di mulai saat malam itu dirinya melihat Dika berselingkuh. Sejak saat itu, Tania diam-diam memasang alat perekam di area-area umum di rumah (ruang tamu, ruang makan) sebagai bagian dari rencana pengumpulan bukti jangka panjangnya.
Tania kembali ke ruang tamu, membawa nampan berisi tiga gelas teh manis hangat. Topeng "istri sempurna" kembali terpasang erat di wajahnya.
"Maaf menunggu," ucap Tania, senyumnya selembut sutra, namun matanya setajam pisau.
Dika dan Farah buru-buru melepaskan rangkulan mereka, terlihat salah tingkah di depan Ibu Dika yang memasang ekspresi masam. Dika segera mengambil gelasnya.
"Terimakasih, Sayang... kamu memang istri terbaik."
"Tentu saja," balas Tania, ia mendekati sofa tempat farah duduk.
"Ini buat kamu, Farah. Teh ini cocok untuk menenangkan perjalanan jauh," ujar Tania.
Tangan kanannya memegang gelas, sementara tangan kirinya—dengan gerakan yang sangat halus, nyaris tak terlihat—menyenggol sedikit pinggiran nampan.
Byur! Air teh hangat itu tumpah tepat mengenai baju Farah.
Bukan siraman yang di sengaja, tapi tumpahan yang sempurna dan terlihat seperti kecelakaan canggung.
Farah terperanjat, seketika berdiri.
"Astaga! Panas!"
Bersambung...