NovelToon NovelToon
Rahim Untuk Balas Budi

Rahim Untuk Balas Budi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Sea

Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 – Dua Garis di Langit

Pagi itu, udara masih lembap selepas hujan semalam. Jalanan menuju klinik terasa lebih sepi dari biasanya. Rendra menjemput Nayara tepat waktu, seperti yang ia janjikan. Namun sepanjang perjalanan, keduanya jarang berbicara. Ada jarak yang makin sulit dipahami—campuran rasa yang seharusnya tidak tumbuh, namun hadir tanpa bisa dicegah.

Mobil melaju perlahan. Sesekali, Rendra melirik Nayara lewat kaca spion. Wajah perempuan itu pucat, tapi matanya jernih. Tangan kirinya memegang perut, seolah melindungi sesuatu yang sangat rapuh.

> “Kalau kamu pusing, bilang ya,” ucap Rendra pelan. “Tidak, Pak. Saya baik,” jawab Nayara sembari memandangi hujan tipis di luar jendela.

Jawaban itu tidak menenangkan Rendra sama sekali.

Ketika tiba di klinik, dokter Ardi langsung menyambut mereka. Ia sudah terbiasa dengan jadwal khusus Nayara—periksa di jam paling sepi agar tidak menarik perhatian siapa pun.

Setelah Rendra menunggu di luar, Nayara dipersilakan berbaring di ruang USG. Lampu ruangan temaram. Bau antiseptik kuat memenuhi udara.

“Tenang ya, Nay,” kata dokter Ardi lembut, mencoba meredakan kecemasan yang jelas terlihat dari gerakan tangan Nayara yang gelisah.

Gel dingin menyentuh kulit perutnya. Nayara memejamkan mata, menahan napas… sampai layar monitor mulai menampilkan bayangan samar.

Detik berikutnya, dokter Ardi terhuyung kecil.

“Dok?” tanya Nayara, jantungnya serasa berhenti.

Dokter Ardi menatap layar itu lebih lama. Bibirnya terkatup rapat sebelum perlahan ia berkata,

> “Nay… ada dua kantung. Sepertinya… ini kembar.”

Kata itu jatuh seperti petir di ruangan kecil itu.

Nayara menangis tanpa suara. Dadanya sesak—antara bahagia, takut, bingung, dan rasa beban yang tiba-tiba bertambah berkali-kali lipat.

> “Kembar…?” bisiknya hampir tak terdengar. Dokter Ardi mengangguk. “Iya. Tapi kita perlu memastikan lagi dalam beberapa minggu. Untuk saat ini, semuanya terlihat sehat.”

Air mata mengalir perlahan di pelipis Nayara. Dua garis tipis di layar itu terlihat seperti simbol takdir yang baru dituliskan Tuhan.

Namun di balik keajaiban itu, ada bayangan gelap yang langsung menghantui pikirannya: Karina.

Karina yang ingin anak. Karina yang ingin kendali penuh. Karina yang menganggapnya sebatas rahim.

Dan kini, Tuhan menitipkan dua nyawa. Dua.

“Dok…” suara Nayara pecah. “Tolong… jangan beritahu siapa pun dulu. Tolong…”

Dokter Ardi terkejut. “Nay, ini kabar bagus. Rendra dan Karina perlu tahu.”

Nayara menggeleng cepat, panik.

> “Saya mohon… beri saya waktu. Saya belum siap. Saya takut… saya tidak tahu bagaimana mereka akan bereaksi. Tolong… untuk sekarang, cuma kita berdua yang tahu.”

Ada jeda panjang. Dokter Ardi menatap Nayara dengan mata yang penuh pertimbangan. Ia mengerti gadis ini bukan sedang menyembunyikan kebahagiaan—tapi sedang menyembunyikan luka.

“Baik,” akhirnya ia berkata pelan. “Untuk sementara kita simpan dulu. Tapi nanti kamu harus bicara dengan mereka.”

Nayara mengusap air matanya. “Nanti… kalau saya sudah kuat.”

Dokter Ardi menepuk bahunya lembut. “Kamu perempuan kuat, Nay. Lebih kuat dari yang kamu kira.”

Nayara tersenyum samar. Tapi senyum itu menyembunyikan badai besar di dalam dadanya.

Setelah pemeriksaan selesai, Nayara keluar dari ruangan dengan langkah pelan. Rendra berdiri dan menghampirinya cepat.

“Kamu nggak apa-apa? Wajahmu…”

“Saya baik, Pak,” jawab Nayara sambil menunduk. “Cuma agak pusing.”

Rendra meraih lengannya untuk menstabilkan langkahnya, tapi Nayara sedikit menjauh. Sentuhan sekecil itu saja membuat dadanya kacau, mengingat percakapan mereka semalam tentang rasa takut yang sama.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Rendra.

“Dokter bilang… baik, Pak. Semua normal.”

Ia tidak berbohong. Hanya… tidak sepenuhnya bercerita.

Rendra menghela napas lega. “Syukurlah.”

Mereka berjalan ke mobil. Namun sebelum masuk, Rendra menghentikan langkah Nayara.

“Nayara… kalau ada apa-apa… tolong bilang ke aku. Jangan menanggung sendiri.”

Nayara menatapnya. Ada kilatan hangat di mata pria itu—tulus, tapi berbahaya.

> “Saya… akan berusaha, Pak.”

Itu jawaban teraman yang bisa ia berikan.

Hari itu hujan turun lebih deras. Jalanan penuh kabut. Rendra mengantar Nayara pulang dan memastikan ia masuk rumah dengan selamat, lalu pergi.

Saat pintu menutup, Nayara jatuh terduduk di lantai.

Tangannya gemetar menyentuh perutnya.

> “Dua… dua bayi kecil…” bisiknya dengan suara pecah.

“Apa yang harus Kakak lakukan, Nadim…?”

Seolah mendengar namanya, Nadim muncul dari kamar dengan wajah bingung.

“Kakak nangis?” tanyanya polos.

Nayara menghapus air mata cepat-cepat. “Enggak. Kakak cuma kaget tadi waktu diperiksa.”

“Dokternya jahat?”

Nayara menggeleng. “Enggak. Dokternya baik.”

Nadim mendekat dan memeluk kakaknya. “Aku janji bakal bantu Kakak nanti. Kalau Kakak capek, bilang ya?”

Pelukan kecil itu membuat air mata Nayara kembali mengalir, tapi kali ini ia menahannya sekuat mungkin.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidup mereka setelah ini. Dua bayi berarti dua takdir. Dan ia hanya satu orang—perempuan yang sedang berdiri di antara batas doa dan dosa.

Malamnya, hujan reda. Udara dingin masuk melalui jendela kecil kamar. Nayara duduk di meja, membuka jurnalnya. Tangan yang gemetar menulis perlahan:

> “Hari ini aku diberi dua garis di langit. Dua nyawa. Dua amanah. Tapi mungkin hanya satu yang akan dipeluk dunia. Ya Allah… jika Engkau memberiku ini bukan untuk diambil kembali, kuatkanlah aku.”

Air matanya menetes di atas tulisan itu, membuat tinta melebur.

Ia menutup buku itu perlahan dan memeluknya ke dada.

> “Aku janji… aku akan melindungi kalian,” bisiknya lirih. “Meski tubuhku kecil, hatiku akan cukup luas untuk dua.”

Di luar, langit tampak bersih untuk pertama kalinya sejak berhari-hari hujan.

Tapi hati Nayara justru mulai dipenuhi dua warna baru—harapan dan ketakutan yang sama-sama kuat.

Dan ia tahu, setelah ini… tidak akan ada jalan kembali.

***

Malam terus merambat pelan, tapi mata Nayara tidak juga terpejam. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan dua kantung kecil di layar USG itu muncul begitu jelas—seolah terpahat di balik kelopak matanya.

Ia berbaring menghadap langit-langit gelap, satu tangan memegang perut, satu lagi meremas selimut.

“Kenapa harus kembar…?” bisiknya lirih, lebih seperti pertanyaan pada diri sendiri.

Ia bukan menolak keajaiban itu tapi ia takut.

Takut tidak cukup kuat.

Takut Karina menganggap ini sebagai kesempatan untuk lebih mengekangnya.

Takut Rendra… semakin menunjukkan perhatian yang tidak seharusnya.

Teleponnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Rendra.

> “Kalau malam ini kamu merasa mual atau pusing lagi, kabari aku. Jangan dipendam.”

Nayara menatap layar itu lama.

Jantungnya berdenyut aneh—hangat tapi salah.

Ia mengetik balasan singkat:

> “Baik, Pak. Terima kasih.”

Lalu ia meletakkan ponsel kembali di meja, menjauhkan diri dari rasa nyaman yang justru menakutkan.

Di kamar sebelah, suara napas Nadim terdengar pelan dan teratur.

Nayara bangkit, menyelimuti adiknya, memastikan bocah itu tidur lelap tanpa memikirkan beban apa pun.

Sebaliknya, ia berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang mulai bersih dari awan.

“Ya Allah… tolong jagalah aku dari perasaan yang tidak seharusnya,” doanya dalam hati.

Tangannya kembali menyentuh perutnya, lebih lembut kali ini.

“Dan tolong… jagalah mereka. Dua hadiah-Mu yang datang sebelum aku siap.”

Di luar, langit tampak memunculkan dua bintang terang—seolah menegaskan apa yang sudah Tuhan titipkan padanya.

Dan Nayara, dengan tubuh kecil dan hati yang letih, hanya bisa berdiri di sana… belajar menerima bahwa takdirnya baru saja bertambah dua kali berat.

1
strawberry
Karina takut Rendra berpaling darinya karena Aru mirip Rendra, Nayara takut Aru diambil Rendra dan takut akan perasaannya. Rendra takut perasaannya jatuh hati pada Nayara dan pada Aru yg mirip dengannya.
Mommy Sea: pada takut semua mereka
total 1 replies
strawberry
Dalam rahim ibu kita...
Titiez Larasaty
ikatan batin anak kembar dan ayah
strawberry
mulai ada rasa cemburu...
Titiez Larasaty
semoga rendra gak tega ambil aru dia cm mengobati rasa penasaran selama ini kasihan nayara harus semenyakitkan seperti itukah balas budi😓😓😓
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Muhammad Fatih
Bikin nangis dan senyum sekaligus.
blue lock
Kagum banget! 😍
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Romantisnya bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!