Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 7
Di kamar itu, Dila dan Arga berbaring berdekapan. Dalam remang lampu tidur, Dila menatap wajah Arga dengan mata sendu.
“Mas, aku sedih. Kak Lara masih belum mau menerima pernikahan kita,” bisiknya, suaranya bergetar menahan gelisah.
Arga mengusap rambut Dila perlahan, bibirnya tersenyum tenang.
“Kamu sabar, ya. Nanti juga Lara akan luluh. Dia cuma butuh waktu untuk menerima semuanya,” ucapnya, lalu mengecup dahi Dila lembut.
Keduanya larut dalam kehangatan yang mereka anggap cinta, seolah tak ada dosa yang bersembunyi di baliknya. Tak ada rasa bersalah tersisa, hanya keyakinan bahwa Lara memang harus belajar menerima takdir.
Namun di kamar lain, Lara berbaring dengan hati yang retak. Tatapannya kosong menembus langit-langit, tapi pikirannya dipenuhi kenangan, genggaman tangan Arga, tawa lembutnya, janji manis yang dulu terasa begitu nyata.
Kini semua itu berubah jadi luka yang tak berhenti berdarah.
Air matanya menetes.
“Kenapa, Mas, kenapa harus Dila?” bisiknya lirih.
Kenangan masa bahagia mereka berputar seperti film usang yang tak mau berhenti. Semakin ia mencoba melupakan, semakin tajam rasa sakitnya.
Ia bangkit perlahan, melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka, berharap air dingin bisa menenangkan hatinya yang berantakan.
Namun langkahnya terhenti.
Dari arah ruang keluarga terdengar suara Bu Liana dan Pak Rahman berbicara.
“Kita sepertinya harus jujur pada Lara, Pak,” suara Ibu terdengar pelan namun tegas. “Biar dia tidak salah paham, menganggap pernikahan Arga dan Dila itu dosa.”
“Biarkan saja dia,” sahut Ayah datar. “Lagian cuma dia di rumah ini yang belum tahu, kalau sebenarnya dia anak pungut.”
Lara terpaku.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
“Justru karena itu kita harus jujur, Pak,” lanjut Ibu. “Setidaknya dia tidak akan menyalahkan Dila. Mungkin dia bisa menerima semuanya, mengikhlaskan, sebagai cara untuk membalas budi.”
Kalimat itu menghantam Lara lebih keras dari apa pun.
Tangannya gemetar. Dunia di sekitarnya terasa runtuh tanpa suara.
Ternyata bukan hanya cintanya yang palsu.
Seluruh hidupnya pun kebohongan.
Lara masih bersandar di dinding, tubuhnya bergetar. Kata-kata itu bergaung di kepalanya tanpa henti:
“Dia hanya anak pungut.”
Air matanya jatuh tanpa suara, membasahi lantai yang dingin.
Dan tiba-tiba, semuanya terasa masuk akal.
Sikap dingin Ibu. Tatapan datar Ayah. Segala perbedaan perlakuan antara dirinya dan Dila.
Semua puzzle yang selama ini tak ia pahami, kini tersusun jelas di benaknya.
“Jadi selama ini, aku cuma tamu di rumah sendiri,” gumamnya lirih.
Ia tersenyum pahit di tengah air mata yang tak lagi bisa ia bendung.
Sejak kecil, ia selalu diminta mengalah.
Saat Dila memecahkan barang, ia yang dimarahi.
Saat Lara sakit, Ibu hanya berkata “Jangan manja.”
Tapi ketika Dila demam sedikit, semua orang panik.
Dan setiap kali ia mencoba melawan, Ayah menatapnya tajam, berkata, “Kamu itu harus ngerti posisi, Lara.”
Semua pengorbanan yang ia lakukan kini terasa sia-sia.
Nilainya yang selalu baik, usahanya untuk membuat mereka bangga, semuanya tak pernah cukup. Karena ternyata, darahnya berbeda. Ia tak pernah benar-benar menjadi “anak” bagi mereka.
Ia teringat satu momen yang paling menyesakkan: saat diterima di universitas impiannya.
Ia hampir melompat kegirangan waktu itu, tapi hanya sampai Ibu berkata pelan,
“Kamu tunggu dulu, Nak. Dila butuh biaya kuliah lebih dulu. Kamu kan kakaknya, harus ngerti.”
Dan Ayah menimpali, “Kamu anak pertama, Lara. Harus belajar berkorban.”
Kini Lara menutup matanya rapat. Semua kenangan itu terasa seperti luka lama yang kembali disayat.
Ternyata bukan karena ia anak pertama.
Bukan karena mereka ingin mendidiknya.
Tapi karena sejak awal, ia bukan siapa-siapa.
Senyum getir muncul di bibirnya.
“Ternyata aku cuma pelengkap,” ucapnya lirih. “Bukan anak, bukan keluarga. Hanya seseorang yang kebetulan mereka pungut.”
Langit malam tampak muram di balik jendela.
Lara melangkah kembali ke kamarnya, langkahnya berat seakan setiap ubin menolak menahannya lebih lama.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong.
Air mata mengalir lagi, membasahi senyum pahit yang sudah kehilangan makna.
Kini semuanya jelas.
Mengapa Arga berpaling.
Mengapa Dila selalu dijaga.
Mengapa kasih sayang terasa timpang.
Karena sejak awal, tak ada yang benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga itu.
Malam berjalan perlahan.
Suara tawa samar dari kamar Dila terdengar menembus dinding tipis, suara Arga.
Dada Lara mencengkeras.
Suara itu seperti pisau tumpul yang menggores jantungnya berulang-ulang.
Ia memeluk lututnya erat, tubuhnya bergetar.
“Kenapa aku masih di sini?” bisiknya, nyaris seperti doa yang hancur.
Angin malam berhembus lewat jendela, menggoyangkan tirai lembap.
Dan di bawah cahaya redup itu, Lara menatap bayangan dirinya sendiri, seseorang yang bahkan tak punya tempat untuk disebut “rumah.”
Malam semakin larut.
Jarum jam berdetak pelan, seolah menertawakan sunyi yang menelan seluruh rumah.
Lara masih duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Udara dingin menelusup ke kulit, tapi yang lebih menusuk adalah perasaan hampa di dadanya.
Ia sudah tidak menangis lagi.
Tangisnya telah kering, menyisakan keheningan yang mencekam.
Di luar, suara tawa dari kamar Dila perlahan mereda. Mungkin mereka sudah tertidur, dibungkus cinta yang lahir dari pengkhianatan.
Sementara dirinya, hanya duduk di kegelapan, ditemani rasa kehilangan yang tak punya nama.
Lara menarik napas panjang, matanya menatap lemari kayu di sudut kamar, lemari yang dulu dibelikan Ayah ketika ia baru masuk SMP. Saat itu, Lara mengira hadiah itu bentuk kasih sayang. Tapi kini, semua kenangan terasa palsu.
Ia membuka lemari itu pelan.
Di dalamnya, tersimpan rapi beberapa buku, tumpukan kertas, dan sebuah foto keluarga dalam bingkai.
Foto itu diambil saat Dila ulang tahun yang ke-10.
Lara masih ingat, hari itu ia yang menyiapkan kue, meniup balon, dan mencuci semua piring setelah pesta usai.
Namun di foto itu, hanya Dila yang berdiri di tengah, tersenyum lebar diapit Ayah dan Ibu.
Lara berdiri di pinggir, setengah tubuhnya bahkan terpotong dari bingkai.
Ia memandangi foto itu lama sekali, sebelum akhirnya bibirnya bergetar.
“Dari dulu pun, aku memang tidak pernah di tengah,” katanya pelan.
Tangannya terulur, meraih buku catatan tua di bawah tumpukan. Halaman depannya penuh coretan mimpi, tentang kuliah, tentang pekerjaan, tentang rumah kecil yang ingin ia bangun suatu hari nanti.
Semua terasa jauh sekarang.
Hidup yang ia rancang dengan penuh harapan ternyata dibangun di atas kebohongan.
Lara menutup buku itu dan menatap langit-langit.
“Tuhan, kenapa saat sakit menghujamku, kau justru menyiramnya dengan air garam?” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Kenapa Kau biarkan aku mencintai mereka yang bahkan tak pernah menginginkan aku ada?”
******
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian