NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 / THTM

Nayara terbangun di tengah malam.

Udara terasa pengap, jantungnya berdegup cepat. Dalam mimpinya, ia mendengar suara langkah kaki—berat, lambat, namun pasti mendekat.

Dan suara itu... sama seperti di hotel malam itu.

Ia memegangi dada, menatap langit-langit kamar Elara. Di sampingnya, Elara tidur pulas. Nayara menelan ludah, berusaha menenangkan diri.

Namun ketika ia menatap ke arah jendela, ia hampir menjerit—bayangan seseorang terlihat berdiri di luar sana, samar di balik tirai.

Ia berkedip.

Bayangan itu menghilang.

“Itu… cuma pohon…” gumamnya pada diri sendiri. Tapi suaranya bergetar.

Ia menarik selimut, berusaha tidur kembali, namun tatapan Alaric terus menghantui pikirannya.

Tatapan itu… seolah menembus segalanya, seolah pria itu tahu bahkan isi mimpinya.

Keesokan paginya, Nayara terlihat lesu.

“Nay, kamu sakit?” tanya Elara khawatir.

“Gak, cuma kurang tidur aja,” jawabnya singkat.

Namun Elara bukan gadis bodoh. Ia bisa membaca perubahan sahabatnya. Sejak kakaknya pulang ke rumah, Nayara sering gugup, sulit fokus, dan menghindari ruang tengah—tempat Alaric sering duduk membaca koran.

“Kamu takut sama kakakku, ya?”

Pertanyaan itu membuat jantung Nayara berhenti sejenak.

“Enggak kok… cuma… dia agak menyeramkan aja.”

“Hahaha, memang dari dulu gitu. Tapi kak Alaric orangnya baik, Nay. Dia cuma gak banyak bicara.”

Nayara hanya tersenyum tipis, menahan napas. Ia tidak sanggup menjawab.

Bagaimana ia harus menjelaskan bahwa “tidak banyak bicara” itu justru membuat pria itu lebih berbahaya?

Sore harinya, saat Elara pergi mandi, Nayara berdiri di taman belakang. Ia menatap bunga mawar putih yang baru mekar, mencoba menenangkan diri.

Namun begitu menoleh ke arah balkon lantai dua, jantungnya serasa berhenti lagi.

Di sana—Alaric berdiri.

Menyandarkan tubuh di pagar besi, menatapnya dalam diam.

Mata mereka bertemu.

Tak ada kata, tapi ada sesuatu yang melintas di antara mereka.

Ketakutan. Kenangan. Rahasia.

Nayara menunduk cepat, pura-pura merapikan tanaman, namun ia tahu tatapan itu masih menusuk dari atas.

Dan tanpa sadar, air matanya mengalir pelan.

“Tuhan… kenapa harus dia…”

Sementara dari balkon, Alaric hanya berbisik lirih,

“Kau boleh lari sejauh apa pun, Nayara… tapi kau tetap akan kulihat.”

—————————

Udara malam di kamar Elara begitu sunyi.

Jam di dinding berdetak pelan, memecah hening dalam ritme yang terasa menusuk telinga.

Nayara terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya berkeringat dingin meski cuaca tak panas. Dadanya naik turun cepat. Ia memejamkan mata beberapa kali, mencoba memastikan bahwa ia telah benar-benar terbangun dari mimpi yang sama—mimpi yang terus berulang setiap malam sejak Alaric kembali ke rumah itu.

Dalam mimpi itu, suara langkah kaki terdengar samar di belakangnya, seperti hentakan sepatu kulit di lantai marmer yang dingin.

Suara itu perlahan mendekat, disertai aroma parfum yang familiar—aroma kayu dan sesuatu yang hangat, seperti ingatan yang enggan mati.

Dan saat ia menoleh dalam mimpi itu, selalu ada sosok yang berdiri di ambang pintu. Tak bergerak. Tak bersuara.

Tatapan itu menusuk hingga ke dalam jantungnya.

Sekarang, terjaga di dunia nyata, ia masih bisa mendengarnya.

Suara langkah kaki itu.

Tidak… itu cuma mimpi lagi… cuma mimpi…

Namun ketika ia membuka mata, samar-samar ia melihat bayangan di balik tirai jendela.

Seseorang berdiri di luar sana, tegap, menatap ke dalam kamar.

Nayara menahan napas. Tangannya bergetar.

Ia memejamkan mata, lalu membukanya lagi.

Bayangan itu sudah lenyap.

“Itu cuma pohon…” gumamnya, berusaha meyakinkan diri. Tapi hatinya tak percaya.

Ia menatap ke arah Elara yang masih tidur pulas di sisi ranjang, wajahnya tenang tanpa beban.

Sungguh beruntung, pikir Nayara.

Gadis itu tidak tahu apa pun tentang malam di hotel itu, tentang luka yang terus menggerogoti batin Nayara sejak hari itu.

Nayara menarik selimut hingga ke dada. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menghangatkan tubuh yang menggigil.

Namun semakin ia mencoba tidur, semakin jelas bayangan masa lalu itu menari di dalam pikirannya—senyum Alaric yang tenang namun tajam, suara baritonnya yang dingin, dan sentuhan yang membuat darahnya berhenti mengalir.

Air mata menetes pelan, menembus bantal yang sudah lembap.

“ Diantara kemungkinan yang ada, kenapa harus dia yang menjadi kakak Elara.... Tuhan? ”

Ia memejamkan mata, tapi tatapan itu masih di sana.

Tatapan yang membuat jantungnya serasa terkunci.

—————————

Nayara sudah berusaha untuk menutup matanya namun hasilnya nihil matanya terasa tidak mengantuk karna bayangan wajah dari Alaric.

Wanita itu memutuskan keluar, ingin mencari ibunya tapi sepertinya ibunya sudah istirahat di kamar para pembantu.

Udara malam di teras belakang terasa dingin, menusuk kulit.

Nayara berdiri di sana, mengenakan sweater abu yang agak kebesaran. Rambutnya berantakan, mata sembab, dan tangannya memegang pagar besi yang dingin. Ia butuh udara, butuh ruang buat tenangin diri—buat berhenti mikirin hal yang terus menghantuinya.

Tapi ternyata, dunia nggak kasih dia waktu.

Ada langkah kaki yang mendekat. Berat, pelan, tapi pasti.

Dan entah kenapa, hanya dari nadanya saja Nayara udah tahu siapa.

“Belum tidur?”

Suara itu dalam, berat, dan entah kenapa bikin jantungnya langsung melonjak ke tenggorokan.

Nayara menelan ludah. “Aku cuma... pengin ambil udara aja,” jawabnya pelan tanpa berani menoleh.

“Udara segar di jam segini?” Alaric mendekat, langkahnya tenang tapi penuh kendali. “Kau bisa masuk angin.”

Nada suaranya terdengar biasa, tapi di baliknya ada sesuatu yang bikin Nayara gelisah.

Ia mundur satu langkah, tapi pagar di belakang sudah tidak memberi ruang lagi.

“Aku nggak bakal lama kok,” bisiknya, menatap lantai.

Alaric berhenti tepat di hadapannya.

Bau parfumnya menyeruak—aroma khas pria dewasa, lembut tapi menusuk.

Ia menatap Nayara lama, terlalu lama, sampai gadis itu mulai kehilangan napas.

“Kau kelihatan gugup,” katanya pelan. “Masih takut?”

Nayara tidak menjawab. Matanya tetap ke bawah. Tapi napasnya udah mulai cepat.

Alaric mengangkat tangan, jarinya menyentuh dagu Nayara, memaksanya mendongak.

Tatapan mereka bertemu—gelap bertemu terang, dan waktu seperti berhenti sesaat.

“Kau tahu, aku nggak berhenti mikirin kamu sejak malam itu.”

Nayara kaku. Ia ingin mundur, tapi nggak bisa. Ingin bicara, tapi lidahnya kaku.

Udara di antara mereka jadi berat, terlalu sunyi.

Alaric menunduk sedikit, jarak mereka cuma tinggal sehelai napas—dan saat itu juga, jantung Nayara benar-benar nggak karuan.

Tapi sebelum apa pun terjadi, suara dari arah pintu membuat mereka berdua membeku.

“Kak? Lagi ngapain di luar?”

Suara Elara—masih serak karena ngantuk.

Alaric cepat mundur selangkah, sementara Nayara langsung pura-pura sibuk, membenarkan sweater-nya yang sedikit miring.

Elara jalan ke arah mereka, matanya setengah terbuka.

“Aku denger suara, kirain maling.”

Alaric menoleh santai, wajahnya tenang banget, seperti nggak terjadi apa-apa.

“Hanya butuh udara segar. Nayara juga katanya nggak bisa tidur.”

Elara mengangguk pelan. “Oh, yaudah deh. Jangan lama-lama, Nay. Dingin banget, nanti masuk angin.”

“Iya,” jawab Nayara lirih.

Begitu Elara balik ke kamar, Alaric sempat menatap Nayara sekali lagi. Tatapan itu bukan marah, bukan juga lembut — lebih seperti sesuatu yang berbahaya: yakin, tenang, dan mematikan.

“Besok pagi, aku mau bicara sama kamu.”

Ia berbalik, masuk ke dalam rumah, meninggalkan Nayara yang masih berdiri diam dengan jantung yang berdebar kacau.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!