keluarga yang awal nya harmonis berubah karena istri yang egois dan suami yang menuntut kesempurnaan dari istri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chelchel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Sesampainya di rumah, aku mulai merenung. Entah kenapa hatiku sangat sedih mendengar Aulia akan dijodohkan. Padahal di sisi lain, aku bukan siapa-siapa Aulia, tapi aku sedih dia akan jadi milik orang lain.
Di tengah lamunanku, Latifah, istriku, menelepon. Dia memintaku pulang besok karena Zio, anak pertama kami, sakit dan ingin bertemu denganku. Khawatir dengan kondisi Zio, aku segera bergegas pulang ke Tangerang.
Tiga jam kemudian, aku sampai di rumah. Aku langsung membersihkan diri agar bisa tidur dengan Zio. Aku teringat belum mengabari Aulia bahwa toko libur besok. Karena belum sempat meminta nomor ponselnya, aku menghubungi Pak Tono untuk menyampaikan pesan bahwa toko libur dari besok sampai Senin.
Aku pun tidur di sebelah Zio karena dia memintaku menemaninya.
Keesokan harinya, aku terbangun pukul 8 pagi. Aku tidur pulas sampai-sampai lupa shalat Subuh.
"Ayah, bangun, Yah! Aku lapar, belum makan," kata Zio.
"Astaghfirullah, masa Ibu belum kasih kamu makan?" tanyaku kaget.
"Iya, Ayah. Ibu tidak sempat karena ada panggilan darurat yang mau melahirkan," jawab Zio.
"Emangnya Ibu berangkat jam berapa?" tanyaku lagi.
"Enggak tahu, Yah. Aku tahunya lewat chat. Kata Ibu, kalau lapar bilang Ayah. Kalau Ayah susah bangun, bisa chat Ibu lagi, nanti Ibu beliin lewat G*Food. Nenek nganterin adik ke Kober dulu, jadi nanti pulangnya jam 10," jelas Zio.
"Ya sudah, Ayah beli bubur dulu ke depan. Zio enggak apa-apa di sini sendiri?"Tanya ku sambil siap-siap
"Enggak apa-apa, Yah. Agak cepetan aja," balas Zio.
Aku pun pergi ke depan membeli bubur untuk Zio. Sambil berjalan, aku mengirim pesan ke Latifah, istriku, agar segera pulang setelah urusannya selesai. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya.
Singkat cerita, istriku pulang saat waktu dzuhur.
"Apa yang mau diomongin, Yah?" tanya Latifah
"Bisa enggak, kalau anak sakit, kamu prioritaskan anak dulu?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi
"Ya, tadi ada panggilan darurat, Yah, ada yang mau melahirkan. Tadi juga aku udah chat Zio, tapi Ayah belum bangun. Kalau ada apa-apa, chat aku!" Jawab Latifah lesu
"Bisa kan beli makanan dulu buat Zio? Kasihan dia lagi sakit terus nahan lapar!" seruku sedikit kesal.
"Bukan begitu, Yah. Aku baru pulang udah dimarahin. Aku ke klinik jam 4 subuh, belum istirahat, belum apa-apa, udah dimarahin!" kata Latifah ketus.
"Bisa kan kamu nyuruh asisten bidan kamu untuk menggantikan kamu sebentar, sementara kamu bikin makanan dulu buat anak kamu yang lagi sakit? Segitu pentingnya orang lain buat kamu, sampai-sampai lalai sama anak kamu sendiri?" seruku sambil berteriak
"Orang yang melahirkan itu darurat, sudah tanggung jawab aku untuk membantunya melahirkan! Kamu tahu itu, kan? Bukannya aku lalai, aku tidak sempat apa-apa karena sudah ditelepon sama asisten di klinik!" Jawab Latifah berteriak
"Penting orang lain atau penting anak kamu?Sudah aku bilang kamu berhenti dari pekerjaan kamu, apakah uang yang aku berikan kurang banyak? Penghasilanku sudah stabil sekarang, malahan lebih dari kata cukup. Kenapa kamu tidak berhenti bekerja saja?" tanyaku sambil berteriak.
"Jadi bidan itu cita-cita aku. Orang tuaku susah-susah menyekolahkanku bisa sampai sejauh ini. Kalau aku berhenti, apakah itu akan sia-sia?" tanya Latifah.
"Kamu itu seorang istri, tidak seharusnya istri tidak mendengarkan perkataan suami kamu. Demi cita-cita kamu itu, sampai-sampai kamu tidak peduli sama anak kamu, apalagi sama suami kamu. Sedikit pun perkataanku enggak kamu dengar," Kataku sambil berteriak.
"Aku tahu mana yang terbaik untuk anakku! Kamu enggak di rumah mana tahu kamu yang terbaik untuk anak-anak yang kayak gimana? Yang kamu tahu kamu hanya cari uang!" seru Latifah.
"Kamu tahu aku mencari uang untuk mencukupi kalian, untuk menafkahi keluarga kita, bukan untuk aku foya-foya, Latifah!" Kataku tegas
BRAK (suara memukul meja)
"Oh, sejak kapan kamu kayak gini, hah? Enggak biasanya kamu marah sambil begini!" tanya Latifah dengan nada menantang
"Kamu tanya sejak kapan? Sejak kamu enggak mendengarkan kata-kataku untuk fokus mengurus keluarga dan aku suami kamu . Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu enggak hanya enggak berhenti jadi bidan, bahkan kamu enggak peduli dengan anakmu yang lagi sakit sekarang. Apakah itu tugas dari seorang istri sekaligus ibu?" jawabku sambil berteriak
"Aku belum berhenti saja sikap kamu sudah kayak gini ke aku, apalagi kalau aku berhenti, mungkin bakalan ditindas!" Seru Latifah.
"Apakah berlebihan jika aku meminta istri aku untuk berhenti bekerja dan fokus untuk mengurus keluarga? Apakah itu salah, LATIFAH NURFAUZIAH!" Tanyaku tegas
"Jadi bidan itu cita-citaku, tidak mudah untuk berhenti dari pekerjaan ini. Sudah deh, jangan lebay. Orang lain juga banyak kok, istrinya yang bekerja, tapi suaminya enggak seberisik kamu!" jawab Latifah sambil memalingkan muka.
"Mereka bekerja juga karena terpaksa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Coba lihat kamu, kamu bekerja untuk siapa? Untuk yang terbaik untuk anak yang kayak gimana? Tanya ku (dengan nada menantang)
Anak-anak itu butuh sosok ibu di sampingnya untuk mendampingi mereka tumbuh," seruku.
"Sudahlah, jadi mau kamu apa?" Tanya Latifah dengan nada tinggi.
"Mau aku, kamu berhenti dari pekerjaan kamu. Kamu urus anak-anak, urus suami. Udah gitu aja, masa gitu aja enggak bisa," Jawab ku dengan
tegas.
"Maaf, aku enggak bisa! Bisa enggak sih kamu coba ngertiin aku sedikit saja? Aku capek, dari jam 4 aku belum tidur, datang ke rumah harus dengerin ocehan kamu. Coba pikir, kalau kamu di posisi aku, kamu marah enggak?" tanya Latifah.
"Secapek-capeknya aku, aku lebih muak lihat tingkah kamu yang kayak gini. Yang egois, enggak mau kalah, pembangkang ke suami? Coba pikir, apakah aku bakal ngehargain kamu jika sikap kamu kayak gini? Jangan anggap beban kamu lebih besar dari pada aku, karena kamu sendiri yang memilih beban kamu sendiri!" seruku.
"Beban? Aku tidak sedikit pun menganggap profesiku beban! Malahan sikap kamu yang kayak gini yang ngebebanin aku, kamu nuntut ini itu dari aku!" seru Latifah.
"Jadi kamu anggap aku beban?"
PRAK (Suara menampar)
"Aku sudah muak dengan sikap kamu yang melawan kata-kataku, tidak mau menerima masukan dari orang lain, kamu egois! Nyesel aku sudah nikah sama kamu. Semoga tamparan ini akan menyadarkanmu!" seruku.
DAG (Suara membanting pintu)
Aku pergi ke kamar anak-anak untuk melihat apakah mereka masih tertidur. Ternyata mereka masih pulas. "Untung mereka masih tertidur," ucapku dalam hati.
Aku pun pergi dari rumah, mencari ketenangan di luar.
....HALLO.....
Terima kasih bagi yang sudah membaca maaf jika penulisan nya belum rapih karena saya masih pemula
Untuk kritik dan saran silahkan tinggal komen di kolom komentar dan jangan lupa like ☺