NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6. Perundungan Itu Harus Dilawan

Maharani mengerang pelan, masih setengah tertidur. Matanya belum sepenuhnya terbuka, tapi suara Sastrawira yang tiada henti mengetuk pintu membuatnya kesal.

"Ya ampun, Sas, subuh-subuh begini udah ribut aja," gumamnya, setengah bangun, setengah masih ingin terlelap. Suara gedoran pintu makin keras.

"Saya bangunkan kamu untuk sholat subuh, Maha. Waktunya menghadap Tuhan," suara Sastra terdengar tegas dari balik pintu.

Maharani menarik selimut lebih erat, "Iya-iya, bentar lagi," katanya sambil menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengabaikan ajakan Sastra. Tapi tahu Sastra takkan berhenti, dia pun akhirnya menghela napas panjang, bangkit dengan malas, dan berjalan menuju pintu kamar. "Oke, oke, gue bangun."

Dengan wajah bantalnya, Maha membuka pintu dan mendapati wajah segar Sastra yang sudah siap untuk menjadi imam sholat, koko dan samping sarung sudah terpakai rapi di tubuh tingginya.

Maha terdiam cukup lama, sungguh dia sangat dibuat berpikir keras. Biasanya anak konglomerat tidak seperti ini, tapi Sastrawira memang berbeda. Semacam anak lulusan pondok, apalagi berpakaian bak ustadz seperti ini membuat Maha semakin pening dibuatnya.

"Saya tunggu kamu di ruang utama, nanti kita sholat berjamaah."

"Serius lo, Sas? Lo tuh bener-bener buat gue bingung ya," gumam Maha pelan, masih terlalu mengantuk untuk berpikir jernih.

Sastra hanya tersenyum tipis. "Ingat, saya tunggu kamu di ruang utama. Nanti kita sholat berjamaah."

Maha menghela napas panjang, mengangkat bahu dan menyerah. "Oke, oke, gue siap-siap dulu," katanya, lalu menutup pintu perlahan.

•••

Usapan lembut terasa sangat halus menyentuh kulit wajahnya, sadar akan kehadiran Sastra, Maha segera beranjak dari tidurnya diatas sajadah. Ternyata dia ketiduran setelah selesai sholat, menunggu Sastra berdoa yang terasa lama sekali.

"Jangan pegang-pegang gue!"

Sastra segera menarik tangannya, meski usapan tadi sebenarnya hanya berniat membangunkan Maha dengan lembut.

"Maaf," ucap Sastra tenang, mencoba menahan senyum kecil di bibirnya. "Saya cuma mau bangunin kamu, bukan maksud apa-apa."

Maha, masih setengah mengantuk dan sedikit kesal, langsung duduk tegak, menatap Sastra dengan sorot mata tajam. "Lo tau kan gue gak suka disentuh sembarangan?"

Sastra mengangguk pelan. "Iya, saya paham. Saya engga akan sentuh kamu lagi tanpa izin, tenang aja."

Maha mendengus pelan, masih merasa jengah. "Gue masih ngantuk nih, gue mau lanjut tidur—"

Ucapan Maha segera dipotong Sastra. "Sudah pukul enam pagi, kamu harus siap-siap untuk berangkat sekolah, ayok cepat sana siap-siap, nanti saya antarkan kamu."

Maha menggeleng cepat, tidak ingin dirinya jadi pusat perhatian lantaran datang bersama putra tertua Hardjo dan pastinya mobil Lamborghini yang dikenakan Sastra akan menarik perhatian semua orang disekolah, pikirnya pasti tentang hal buruk, semacam Maha menikmati fasilitas hasil korupsi papanya. Membayangkannya saja Maha sudah kesal sekali.

"Gak usah, gue bisa pesen ojol," tolaknya mentah-mentah, dia tidak mau risih karena Sastra.

"Saya tau apa yang kamu pikirkan Maha, karena itu saya akan antarkan kamu pakai motor saja, bagaimana?"

Maha menatap Sastra dengan kening berkerut, "Motor? Lo mau nganter gue naik motor?"

Sastra mengangguk pelan, senyum tipis masih terukir di wajahnya. "Iya, biar ngga menarik perhatian. Kamu ngga mau naik mobil, kan? Jadi ini solusinya."

Maha terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. Namun tak lama itu akhirnya dia setuju atas penawaran yang diberikan Sastra, Maha harus memanfaatkan putra tertua Hardjo ini dengan sebaik-baiknya.

Maha akhirnya mengangguk, setuju dengan rencana Sastra. "Yaudah, gue ikut naik motor sama lo. Tapi ingat, gue cuma mau sampai sekolah tanpa ribut-ribut," ujarnya dengan nada tegas.

Sastra tersenyum, puas dengan keputusan Maha. "Tentu, kamu ngga perlu khawatir."

•••

"Lo dianterin Mas Sastra?" Tanya Keana penasaran, namun wajahnya terlihat seperti menggoda sahabatnya itu yang tampak sedang kesal.

"Gila ngga sih tuh orang, gue bilang turunin nya sedikit jauh dari sekolah eh dia malah nurunin gue di deket gerbang dong. Lo tau gak gimana tatapan orang-orang sama gue? Gue baru ngerasain atmosfer kebencian dari mereka semua. Gak tau deh setelah ini gimana, kayaknya gue bakal di rundung habis-habisan!"

Keana menghela nafas panjang, sangat berat juga masalah yang dihadapi sahabatnya ini. Keana dapat menangkap ekspresi wajah Maha yang sangat frustasi, dia tengah bersikap baik-baik saja dan sedang memangku masalahnya seorang diri padahal wanita ini sebenarnya ingin meledak juga.

"Gue ngga akan biarin itu terjadi Maha. Ini bukan salah lo, dan mereka gak berhak jahatin lo."

Maha mengangguk lemah, meski hatinya masih berat. "Tapi lo tau kan gimana sekolah ini, Keana? Begitu ada gosip, apalagi soal korupsi, langsung nyebar kayak api. Papa gue mungkin salah, tapi gue ngga ada hubungannya sama semua itu." Suaranya bergetar, menahan emosi yang bergejolak.

Keana menatap Maha dengan penuh simpati. "Gue tau, dan temen-temen deket lo tau. Tapi orang-orang suka nyari alasan buat nyakitin orang lain, Maha. Dan lo tau mereka suka ngelakuin itu karena mereka gak punya hal lain buat dibahas."

Maha mendesah lagi, kepalanya terasa berat. "Lo pikir gue gak capek? Sejak berita tentang Papa gue keluar, gue udah dijauhin banyak orang. Mereka liat gue kayak penyakit menular."

Keana meraih tangan Maha, menggenggamnya erat. "Jangan dengerin apa yang mereka bilang, Maha. Gue di sini buat lo. Kita hadapi bareng-bareng, oke?"

Namun, kata-kata Keana tak cukup untuk menenangkan hati Maha. Saat mereka berjalan melewati koridor sekolah, bisikan-bisikan mulai terdengar. Bisikan yang tak terlalu halus, dan sengaja dibuat untuk memastikan Maha mendengarnya.

"Eh, itu kan anaknya yang katanya Papanya korupsi uang perusahaan di tempatnya kerja, denger-denger perusahaan Hardjo juga jadi korban, gila gak sih keluarga ningrat yang se kuat itu di jahatin?"

"Gila ya, tega banget sih keluarganya. Pantesan sombong, duitnya hasil ngerugiin orang kaya!"

Maha berusaha menegakkan kepala, tapi bisikan itu terasa seperti duri yang menusuk-nusuk. Rasanya seperti setiap mata di sekolah ini memandangnya dengan jijik. Langkahnya terasa berat, dan detak jantungnya semakin cepat.

Keana meremas tangannya lebih kuat, seolah mengirimkan kekuatan. "Lo ngga sendirian, Maha. Kita di sini bareng-bareng."

Tapi Maha tahu, bahkan Keana pun tak bisa mengubah kenyataan pahit ini. Nama keluarganya sudah tercoreng, dan dia yang harus menanggung beban ini sendirian.

Sampai di dalam kelas, Maha merasakan tatapan tajam yang penuh kebencian dari teman-teman sekelasnya. Maha merasa seperti ditelanjangi, seolah setiap gerakannya diawasi dan dihakimi.

Bisikan-bisikan di belakangnya semakin jelas.  "Dia pasti bakal kayak bapaknya, gak lama lagi nyolong juga."

"Makanya, gak usah deket-deket dia. Takut ketularan."

Maha berusaha untuk tidak peduli, tapi rasa sesak di dadanya semakin kuat. Bahkan beberapa teman yang dulu dekat dengannya tak lagi mau menatapnya, apalagi berbicara. Keana, yang masih setia di sampingnya, merasakan tekanan yang sama.

Tetapi, ketika Maha melihat bangku serta mejanya dicoret-coret dengan tulisan yang mengejek keluarganya, kemarahan yang dia pendam tiba-tiba meledak. Tulisan-tulisan seperti, 'Orang tuanya dungu', 'Bibit koruptor', 'Anak maling' dan lain-lainnya tergores kasar dengan spidol hitam di permukaan mejanya. Darahnya mendidih, dan tanpa bisa menahan diri, dia menggebrak meja dengan keras, membuat seluruh kelas terdiam.

"Siapa yang ngelakuin ini?!" teriak Maha, suaranya menggema di ruang kelas. Wajahnya memerah, matanya memandang tajam ke arah semua orang yang kini memandangnya dengan berbagai ekspresi—ada yang pura-pura tak peduli, ada yang tertawa kecil, dan ada yang tampak takut.

Keana segera berdiri di sampingnya, mencoba menenangkan, tapi Maha sudah kehilangan kendali atas emosinya.

"Beraninya kalian cuma bisa main di belakang kayak pengecut!" Maha melanjutkan dengan suara bergetar karena marah. "Sini hadepin gue sekarang, bilang di depan gue, maki-maki gue kalau kalian berani di depan wajah gue!"

Namun semuanya diam, mereka tau seperti apa Maharani dan itu yang membuat Kepengecutan mereka membuat Maha tertawan kencang.

"Yang dungu itu kalian! Gak punya otak, dan bisanya cuma nyinyiran kehidupan orang, fuck kalian semua!" Maha melanjutkan dengan penuh emosi. Dia menatap tajam setiap orang di kelas, berharap ada yang cukup berani untuk melawan balik, tapi tidak ada satu pun yang berani menatapnya langsung.

"Lo semua gak tahu apa-apa tentang keluarga gue!" teriak Maha lagi. "Papa gue emang salah, tapi itu bukan berarti gue jadi target kebencian kalian! Kalian pikir gue juga mau ada di posisi ini? Mikir kalau punya otak, gunain jangan bisanya cuma koar-koar tapi sekarang aja ngga berani ngomong langsung di depan gue. Bajingan lo semua!" Umpat Maha saking dongkolnya dengan mereka semua.

Keheningan yang menggantung di ruangan semakin menekan. Semua mata tertuju padanya, namun tak ada yang bergerak atau berkata-kata. Sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan guru masuk ke dalam kelas. Suara langkah kaki guru terdengar jelas di tengah keheningan yang mencekam. Semua siswa tiba-tiba diam dan berpura-pura sibuk dengan buku mereka, seolah tak ada yang terjadi. Maha masih berdiri di depan kelas, napasnya berat dan emosinya belum mereda.

Guru tersebut, Bu Ratna, menatap Maha dengan ekspresi tenang namun penuh perhatian. "Maha, duduklah di tempatmu," katanya lembut, namun bukannya melangkah menuju mejanya dia keluar begitu saja dari kelas, tak Sudi melihat orang-orang munafik didalam sana.

•••

"Di makan, Maha. Ini bakso kesukaan Lo juga, sayang kalau dianggurin," kata Keana sambil mendorong mangkuk bakso ke depan Maha. Sudah beberapa kali Keana mencoba membujuknya, tapi Maha hanya menatap makanan itu dengan tatapan kosong.

Maha diam saja, menatap mangkuk bakso di depannya tanpa minat. Biasanya, aroma bakso selalu bisa membangkitkan seleranya, tapi kali ini, tidak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang terjadi di sekolah.

Keana menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. "Gue tahu lo lagi kesal dan sedih, tapi Lo harus tetap makan. Jangan biarin masalah ini ngerusak semuanya."

Maha mendesah pelan, kemudian meraih sendoknya. "Gue bukan engga mau makan, Kea. Gue cuma lagi... capek aja," gumamnya, sambil mengaduk-aduk kuah baksonya tanpa semangat.

Keana tersenyum kecil, tahu bahwa ini mungkin langkah kecil, tapi setidaknya Maha mulai merespon. "Ya udah, makan sedikit dulu. Gue ngga bakal berhenti sampai lo makan," ucapnya, mencoba memecah suasana dengan candaan ringan.

Baru saja mood Maha kembali untuk menyantap bakso di hadapannya, suara nyaring yang sangat familiar memecahkan suasana ramai di kantin. Suara itu milik Karin, dan gengnya, segerombolan cewek yang Maha benci sekali. Mereka tertawa keras, sengaja menarik perhatian, dan berjalan dengan angkuhnya ke arah meja di seberang Maha dan Keana.

"Eh, lihat siapa yang ada di sini. Anak koruptor lagi makan bakso!" ujar Karin dengan suara yang sengaja dibuat keras, cukup nyaring untuk seluruh kantin mendengar.

Keana langsung melirik ke arah Maha, khawatir temannya akan kehilangan kontrol lagi. Namun, kali ini Maha menahan diri. Napasnya mulai memburu, tapi dia tidak ingin memberi Karin kepuasan melihatnya meledak.

"Udah, Maha. Jangan dihirauin," bisik Keana, berusaha menenangkan.

Maha mencoba tetap tenang, tapi ucapan Karin berikutnya membuat tangannya yang memegang sendok bergetar. "Hati-hati, jangan-jangan baksonya dibayar pake uang hasil korupsi papanya."

Tawa dari geng Karin terdengar menggema, dan Maha tahu kalau semua mata di kantin kini tertuju padanya. Suara cemoohan kembali di layangkan untuk Maharani, semuanya membicarakan, menghina, menatapnya sinis, tajam dan mengejek habis-habisan.

Maha meletakkan sendoknya dengan kasar dan berdiri tiba-tiba. Matanya menatap tajam ke arah Karin dan gengnya, yang masih tertawa. Keheningan mulai melingkupi kantin, seolah semua orang menunggu apa yang akan terjadi.

"Lo pikir lo siapa, Karin?" Maha berjalan cepat ke arah Karin, suaranya dingin dan penuh amarah yang tertahan.

Keana yang melihat situasi semakin memanas, segera bangkit dan berlari untuk menghentikan temannya sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. "Maha, tunggu!"

Namun, Maha sudah berdiri di depan Karin. "Lo suka banget ngehina keluarga gue, ya? Lo Pikir lo hebat? Lo Pikir lo lebih baik dari gue?"

Karin menyeringai, tidak menunjukkan sedikit pun tanda ketakutan. "Kenapa? Sakit hati? Ya, gimana lagi, kan semua orang tahu siapa keluarga lo sekarang."

Maha mengepalkan tangannya, tubuhnya gemetar karena marah. "Satu lagi kata keluar dari mulut lo soal keluarga gue, gue gak peduli apa yang terjadi—"

Karin memotong ucapan Maha dengan tatapan meremehkan. "Apa? Mau mukul gue? Mau nunjukin kalau anak koruptor juga bisa jadi preman?"

Suasana di kantin semakin tegang. Semua mata terarah pada mereka. Namun Maha yang memang bukan wanita lemah lembut mendorong Karin hingga membuatnya jatuh kelantai dengan cukup keras, menimbulkan bunyi yang membuat semua orang di kantin terdiam sejenak. Wajahnya berubah marah, sementara gengnya yang biasanya sok berani, hanya terpaku melihat kejadian itu.

"Dasar anak koruptor!" teriak Karin sambil bangkit, mencoba menjaga harga dirinya di depan semua orang. "Buah jatuh ngga jauh dari pohonnya, lo paham kan maksud gue?" Karin semakin memanas-manasi Maha. Maha mengepalkan tangannya kuat-kuat, merasa amarahnya semakin mendidih. Ucapan Karin seperti bara yang terus dilemparkan ke dalam api yang sudah berkobar dalam dirinya.

"Sialan lo Karin!" Maha bergerak maju mendorong kembali tubuh Karin, dan mereka pun terlibat perkelahian khas wanita dengan saling menjambak dan mencakar.

Keributan langsung pecah. Suara kursi dan meja yang tergeser keras terdengar memenuhi kantin ketika Maha dan Karin saling menjambak dan mencakar tanpa ampun. Keana dan teman-teman Karin segera berusaha memisahkan mereka, tapi dua perempuan yang dipenuhi amarah itu tak mau melepaskan satu sama lain.

"Karin, stop!" teriak salah satu temannya, tapi Karin tak mendengarnya. Sementara Maha terus menyerang, didorong oleh rasa dendam yang sudah lama terpendam pada Karin. Rambut mereka saling terjambak, dan suara teriakan mereka membuat suasana semakin mencekam. Beberapa siswa di kantin mulai merekam kejadian itu dengan ponsel mereka.

Akhirnya, beberapa guru datang dengan tergesa-gesa, mencoba memisahkan mereka berdua. "Cukup! Lepaskan!" suara Bu Ratna terdengar lantang, dan para guru berhasil menarik kedua perempuan itu terpisah dengan susah payah. Maha terengah-engah, rambutnya berantakan, sementara Karin menatapnya dengan penuh kebencian, wajahnya merah dan tergores.

"Kalian berdua ikut saya ke ruang kepala sekolah, sekarang!" kata Bu Ratna dengan nada penuh peringatan.

Berita ini akhirnya sampai di telinga Sastrawira dari Keana. Sebelumnya, Sastra memang pernah memberikan kartu namanya pada Keana, dengan pesan bahwa ia bisa dihubungi kapan saja terkait dengan Maharani, jika terjadi sesuatu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!