Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 Pertemuan yang tidak diharapkan
"T-tidak, Tuan! Maafkan saya!"
Tanpa aba-aba, June mengayunkan tangannya.
BUGH!!
Tinju keras mendarat di wajah Jack. Darah muncrat dari hidungnya, membuatnya terhempas menabrak dinding.
“AARGH!!” Jeritan melengking memecah lounge, membuat dua pengawal di dekat pintu saling pandang dengan wajah kaku.
Namun June tidak berhenti. Ia maju, meraih kerah Jack, lalu menghantamkan kepalanya berulang kali ke dinding marmer.
DUG! DUG! DUG!
Setiap benturan meninggalkan bercak darah yang merembes, mengotori dinding putih yang mewah.
“BAJINGAN! SAMPAH! BRENGSEK! UNTUK APA AKU MEMBAYARMU MAHAL!!” June meraung, suaranya serak penuh amarah. Tinju dan tendangannya menghantam tanpa kendali, membuat tubuh Jack terhuyung-huyung bagai boneka kain.
Jack merintih, namun hanya darah yang keluar dari mulutnya. Matanya berkunang-kunang, tubuhnya gemetar.
BUKK! BUUUGHH!!
Sekali lagi tinju June menghantam ulu hati Jack, membuat pria malang itu terjatuh ke lantai. Darahnya menetes, membentuk genangan kecil di bawah tubuhnya.
June terengah, napasnya berat. Ia berdiri, menatap tanganya yang berlumuran darah. Dadanya naik-turun. Lalu perlahan, ia tersenyum miring—dingin, sinis, puas.
Sambil mengelap tangannya dengan sapu tangan putih yang kini ternoda merah, ia melangkah kembali ke sofa kulit hitam miliknya. Suaranya kembali tenang, seakan amarah yang tadi tidak pernah terjadi.
June lalu menjentikkan jarinya. “Panggil N'Kosi.”
Pintu ruangan terbuka, dan masuklah sosok raksasa. Pria berkulit hitam, tinggi lebih dari dua meter, dada bidang penuh otot, dan berambut gimbal.
Hanya dengan melihatnya saja semua orang sudah tahu jika inilah pria yang dijuluki sebagai Bonecrusher, bawahan terkuat milik June.
June tersenyum tipis, licik, penuh intrik. Matanya menyipit, tatapannya mengerikan. “Bawa kemari orang yang membuat menghalangi jalan kita. Aku ingin melihat… seberapa hebat dia sebenarnya.”
Pria besar itu hanya mengangguk pelan, wajahnya tanpa ekspresi, lalu berbalik menuju pintu. Suara langkahnya yang berat terdengar seperti dentuman palu perang.
June menyandarkan tubuhnya, menuangkan segelas wine baru. Senyumnya makin lebar, menyeringai puas.
“Siapa pun dia…” June menatap genangan darah Jack yang tercecer di lantai. “…sebentar lagi dia akan tahu… akibat dari menantang keluarga D’Arvenne.”
....
Sementara itu...
Sore menjelang malam, langit Lunebridge City dilapisi cahaya keemasan, sementara matahari perlahan tenggelam di balik barisan bukit jauh di sana. Angin berhembus lembut, membawa aroma rumput basah dari hujan semalam.
Di sebuah kuburan umum yang tenang, langkah kaki Leon terdengar pelan. Ia berhenti di hadapan dua batu nisan tua yang berdiri berdampingan, sedikit retak di sisi bawahnya namun tetap kokoh.
Rerumputan di sekitarnya terpangkas rapi, jelas masih ada yang merawatnya meski sudah bertahun-tahun lamanya.
Nama itu terukir jelas meski tampak usang:
Celine
Marcus Vargas
Tangan Leon terkepal tanpa sadar, mengingat jika ibunya telah dibuang oleh keluarganya sendiri, bahkan mereka enggan menampilkan nama keluarga di belakang nama ibunya.
Meskipun dianggap sebagai aib keluarga karena menikahi ayahnya, namun nyatanya Celine cukup berjasa bagi keluarga D'Arvenne. Ia adalah lulusan internasional terbaik, seorang pakar bisnis, dan salah satu orang yang berhasil membawa nama D'Arvenne sampai ke puncak dunia.
Namun apa yang dia dapatkan sebagai gantinya? Dia dibiarkan meninggal begitu saja, namanya tidak diakui, bahkan beberapa rumor buruk masih menyebar di luar sana.
Leon menatap lama, tatapannya dingin namun dalam, seolah ada ribuan kata yang tertahan di dadanya. Di tangannya ada dua rangkai bunga sederhana—iris putih dan lavender ungu. Dengan khidmat, ia meletakkannya di depan masing-masing batu nisan.
Keheningan menggantung. Hanya suara burung sore yang terdengar dari kejauhan.
Leon menarik napas panjang, lalu berbisik lirih.
“…Ayah… ibu... maafkan aku.”
Suaranya bergetar tipis, berbeda jauh dari nada dingin yang biasa ia gunakan. Ia menundukkan kepala, bahunya sedikit menegang seolah menahan sesuatu.
“Sudah terlalu lama. Belasan tahun aku tidak pernah datang. Tidak pernah menemui kalian.” Jemarinya menyusuri pahatan nama itu, kasar namun penuh rindu. “Hari ini… peringatan kematianmu, Ibu. Dan juga hari aku seharusnya ikut pergi bersamamu.”
Matanya menerawang kosong. Bayangan masa lalu melintas begitu cepat.
“Aku… sempat hilang. Terdampar di tempat yang sangat jauh. Bahkan aku kehilangan ingatanku.” Senyumnya getir, lebih mirip luka yang terbuka. “Hari-hariku… begitu berat. Gelap. Seperti hidup tanpa arah.”
Ia mengepalkan tangan, namun melanjutkan dengan suara lebih tenang. “Tapi aku beruntung. Ada seseorang yang menemukanku, Instruktur Kruger. Dia juga memberiku nama yang aku gunakan selama bertugas. Orang itu keras, dingin, tapi adil. Di bawah pengawasannya, aku belajar. Aku dilatih… untuk bertahan, untuk berdiri sendiri. Aku memilih jalanku sendiri.”
Tatapannya menajam, seolah berbicara pada roh yang bisa mendengar. “Bertahun-tahun aku mengabdi, membela negeri yang bahkan tidak mengenalku. Aku menumpahkan darah, kehilangan rekan-rekan seperjuangan, aku berdiri di garis depan. Dari seorang tentara biasa, hingga memimpin mereka semua.”
Hening sesaat. Wajah Leon redup dalam cahaya senja.
“Aku… diangkat menjadi Jenderal Tertinggi. Mendapatkan penghargaan, kehormatan, dan pengakuan.” Ia menghela napas berat, lalu menutup matanya sejenak. “Dan ketika ingatanku kembali… aku tahu, sudah waktunya aku pulang. Bukan demi medali, bukan demi gelar… tapi demi kemuliaan keluarga kecil kita yang hilang.”
Tangannya menyentuh tanah di depan nisan, meremasnya pelan seolah ingin memastikan kedua orang tuanya masih ada di sana, mendengarkannya.
“Maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku mungkin terlambat, tapi sekarang aku sudah kembali. Kalian tidak perlu mengkhawatirkanku lagi...” Ia mendongak, menatap langit jingga yang kian memudar.
Angin sore bertiup pelan, membuat helaian rambutnya bergoyang. Seolah dunia sendiri menjawab ceritanya.
Leon baru saja hendak berbalik meninggalkan pusara. Namun tiba-tiba ia berhenti. Dari sudut matanya, terlihat sosok seorang wanita berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Evelyn.
Dress sederhana membalut tubuhnya, kedua tangannya membawa dua rangkai bunga lily putih. Hembusan angin sore menerbangkan rambutnya, membuat helaian itu menari bersama desiran rumput liar di sekitar kuburan.
Keheningan jatuh. Hanya tatapan mereka yang saling bersilang, namun tanpa satu kata pun terucap.
Leon akhirnya melangkah pelan. Ia berjalan melewati Evelyn, wajahnya dingin seolah wanita itu hanyalah bayangan yang tak layak ia singgahi.
Evelyn terdiam, bibirnya terbuka sedikit—seperti ingin bicara namun tertahan oleh keraguan.
Tapi saat jarak mereka semakin jauh, ia akhirnya menggenggam kuat bunga di tangannya, memberanikan diri untuk bersuara.
“Tunggu!”
Suara itu pecah, bergetar namun penuh tekad.
Langkah Leon terhenti.
Ia berdiri memunggungi Evelyn tanpa menoleh. Angin sore kembali berdesir, membawa ketegangan yang menyesakkan dada.
Evelyn melangkah maju sedikit, matanya berkaca-kaca, suaranya lirih namun menusuk.
“Kenapa kau… mengabaikanku?”
Leon terdiam. Sesaat, napasnya terasa berat. Perasaannya campur aduk, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“…Karena kita tidak sedekat itu untuk bicara,” jawabnya dingin, tanpa menoleh.
Evelyn menggigit bibir, air matanya hampir jatuh.
“Apakah… karena aku bagian dari keluarga D’Arvenne?” suaranya pecah. “Keluarga yang sangat kau benci?”
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu