Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi itu, rumah besar milik Dr. Tristan Aurelio Mahesa sunyi seperti biasa. Langit Jakarta baru saja merekah, cahaya matahari masuk lewat jendela kaca tinggi yang menjulang ke langit-langit. Semua terasa tenang, dingin, dan… monoton.
Namun, ada satu hal baru yang perlahan mengubah rutinitas rumah ini: sticky note kecil warna-warni yang ditempelkan Tiwi di berbagai sudut.
Tristan baru saja turun dari kamar, kemeja putihnya rapi, jas abu-abu muda sudah melekat di tubuhnya. Seperti biasa, ekspresinya datar dan tenang, tanpa senyum. Ia menuju meja makan, berniat meneguk kopi hitam yang sudah disiapkan di mesin otomatis.
Begitu matanya menyapu meja, ia menghela napas tipis. Satu sticky note kuning menempel di cangkir kopinya.
“Dok, jangan minum kopi doang. Sarapan penting biar nggak jadi pasien di RS sendiri. Oh iya aku pergi ke supermarket dulu karena bahan masakan habis.”
Tristan menatap tulisan itu lama. Hurufnya mungil tapi lincah, ada gambar emotikon wajah senyum di pojok kanan bawah. Ia mendengus pelan.
“Dia lagi…,” gumamnya datar.
Tangannya hendak menyingkirkan sticky note itu, tapi entah kenapa ia malah menaruhnya di samping, tidak membuangnya. Bahkan, ia membaca ulang sebelum akhirnya menyeruput kopi.
-----
Ketika hendak mengambil jas panjangnya di gantungan dekat pintu, ia mendapati sticky note hijau neon menempel di kaca cermin.
“Dok, wajahmu udah ganteng sih, tapi jangan manyun mulu. Senyum dikit kek. Nanti pasien kabur kira kamu vampir. 🤭”
Alis Tristan terangkat sedikit. Ia menatap bayangannya di kaca memang wajahnya selalu terlihat serius, kaku, seakan tanpa emosi.
Ia mendekat, menatap sticky note itu lama, lalu tanpa sadar bibirnya menegang. Bukan senyum penuh, hanya sedikit melengkung. Tapi itu sudah lebih dari biasanya.
“Bocah menyebalkan…” katanya lirih, lalu memasukkan sticky note itu ke dalam saku jasnya sebelum melangkah keluar.
Di mobil, saat sopir pribadi mulai melajukan sedan hitamnya, Tristan merogoh saku dan kembali menatap sticky note hijau itu. Ia membaca ulang kalimatnya sambil menutup mata sebentar. Entah kenapa, ada rasa asing menyelinap di dadanya.
Ia, yang biasanya benci gangguan kecil di rumahnya, kini justru menanti sticky note berikutnya setiap hari.
Dan anehnya, ia tidak pernah membuang satu pun. Semua sticky note yang ditemuinya di dapur, meja kerja, bahkan kadang di kulkas dan bekal siangnya, ia simpan. Tumpukan kertas warna-warni itu kini sudah penuh satu map.
“Kenapa aku… membiarkan ini?” pikirnya sambil mengetukkan jari ke map tipis yang disembunyikan di lemari.
-----
malam harinya Tristan baru pulang. Langkahnya berat, tubuhnya lelah setelah menghadiri rapat dengan direksi rumah sakit dan perusahaan farmasi. Begitu membuka pintu, rumahnya gelap dan sunyi.
Namun, saat ia menyalakan lampu dapur, ada sticky note oranye menempel di kulkas.
“Kerja boleh keras, tapi jangan lupa istirahat. Badanmu bukan robot, Dok. Kalau kamu tumbang, siapa yang nolong pasien? —T”
Tristan terdiam. Ia berdiri lama di depan kulkas, menatap tulisan itu. Ada rasa hangat yang aneh, seolah seseorang benar-benar peduli padanya, lebih dari sekadar “kerja bagus”.
Tangannya menyentuh kertas kecil itu. Bibirnya menegang, lalu sedikit melunak.
“Kenapa aku… mendengarkan kata-katanya?”
Ia akhirnya mengambil sticky note itu, menempelnya di papan kecil di ruang kerja pribadinya, tepat di samping meja. Itu papan yang dulu hanya berisi jadwal operasi, catatan pasien, dan target perusahaan. Kini ada satu sticky note oranye yang berbeda.
...----------------...
Sementara itu, di rumah keluarga Wiranto, suasana jauh berbeda. Tidak ada dingin dan sunyi yang ada justru tawa, aroma masakan Nusantara, dan obrolan hangat.
Tiwi baru saja pulang, menenteng tote bag berisi celemek bergambar kelinci kesayangannya. Ia langsung menjatuhkan diri ke sofa dengan gaya lebay.
“Alhamdulillah, misi hari ini sukses!” serunya sambil mengangkat tangan seperti pahlawan super.
Mama Rani, yang sedang membaca laporan cabang restoran di tablet, langsung menoleh. “Misi apalagi, Wi? Jangan bilang nempelin kertas-kertas itu lagi?”
Tiwi cengar-cengir. “Sticky note, Ma. Bukan sembarang kertas. Itu doa plus semangat, paket lengkap. Aku yakin, tanpa sticky note-ku, si Dokter Es Batu itu udah beku permanen.”
Papa Tian, yang baru masuk dengan koran, mendengus. “Astaga… jadi benar kamu setiap hari nempelin itu di rumahnya? Kalau ketahuan, bisa-bisa kamu diusir.”
“Pa, itu kan strategi! Aku ini ART limited edition, harus punya ciri khas. Kalau cuma masak dan bersih-bersih doang, itu standar. Aku kasih nilai tambah: sticky note penuh cinta kasih.”
“Cinta kasih apanya!?” sahut Papa Tian setengah sebal, setengah geli.
Tante Anggun yang duduk di kursi tamu langsung ngakak. “Aku dukung, Wi. Teruskan! Itu trik jitu. Siapa tahu lama-lama Tristan luluh.”
Tiwi mengedip nakal. “Amin! Tapi bukan luluh jatuh cinta ya, Tante. Aku nggak ada niat cari jodoh di rumah itu. Aku cuma mau bikin suasana adem, nggak kaku. Udah kayak rumah vampir soalnya.”
"Nanti ke bablasan" ujar papa Tian
Tiwi terkekeh. “Aman, Pa. Nggak ada masalah kok. Justru, aku yakin sticky note-ku itu bikin dia semangat.”
Mama Rani menggeleng sambil tersenyum pahit. “Anak ini memang aneh. Sudah dibilang kerja yang biasa saja, dia malah tambah macam-macam.”
Tiwi menatap Mama dan Papa dengan serius. “Ma, Pa… aku tahu kalian nggak rela aku jadi ART. Aku paham banget. Tapi aku janji, ini cuma setahun. Dan aku nggak main-main. Aku benar-benar serius ngelakuin ini, dengan caraku sendiri. Sticky note itu cuma bonus. Aku cuma pengen dia nggak hidup sendirian kayak robot.”
Tante Anggun menepuk tangan Tiwi. “Aku percaya sama kamu, Wi. Kadang hal kecil bisa bikin perubahan besar. Jangan diremehkan.”
Tiwi tersenyum lebar. “Betul, Tante! Sticky note itu senjata rahasia. Tunggu aja, rumah itu bakal penuh warna gara-gara aku.”
---++
Beberapa minggu berlalu. Sticky note Tiwi semakin beragam: ada yang berisi lelucon receh, ada yang penuh semangat, ada juga yang isinya nasihat serius.
“Dok, kalau lapar tengah malam, jangan makan mie instan. Itu racun kecil. Besok saya bikinin bubur sehat, janji.”
“Hari ini target senyum: 3x. Jangan bohongin catatan ini ya!”
“Jangan lupa doa sebelum tidur. Dokter juga butuh doa, bukan cuma pasien.”
Setiap kali menemukan sticky note, Tristan selalu berhenti sejenak. Awalnya ia hanya membaca sambil menghela napas. Lama-lama, ia mulai menunggu-nunggu pesan baru.
Bahkan, beberapa kali di ruang kerjanya, ia membuka map berisi sticky note lama hanya untuk membacanya kembali.
Namun, ada satu hal yang membuatnya gelisah. “Kenapa aku… ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu?”
Ia tahu nama gadis itu Tiwi Putri Wiranto. Tapi ia belum pernah benar-benar kenal, apa lagi pertemuan pertama kemarin Tiwi sangat cerewet. Tristan ingin bertemu blagi dengan Tiwi tapi sepertinya waktu belum bisa pas.
Tristan, sang dokter perfeksionis yang selalu rasional, kini malah penasaran pada hal sekecil kertas tempel.
---
Malam itu, setelah selesai operasi panjang, Tristan pulang larut. Tubuhnya letih, matanya berat. Tapi begitu membuka pintu, ia mendapati sticky note biru muda menempel di meja makan.
“Dok, jangan lupa: hidup ini bukan cuma kerja. Sesekali coba ketawa. Itu gratis, lho! —T”
Tristan terdiam lama. Lalu untuk pertama kalinya sejak lama, ia tertawa kecil. Bukan tawa lepas, hanya suara samar, tapi cukup untuk membuat hatinya terasa hangat.
Sementara itu, di rumah keluarga Wiranto, Tiwi sedang sibuk menggambar sticky note baru untuk besok. Ia menulis sambil nyengir sendiri.
“Aku penasaran… dia baca nggak ya?” gumamnya pelan.
Dua dunia berbeda rumah dingin seorang dokter perfeksionis, dan keluarga hangat seorang gadis barbar nan ceria perlahan mulai terhubung lewat sticky note kecil yang penuh warna.
Dan Tristan, yang dulu hanya hidup untuk pekerjaan, mulai memiliki perasaan lain
Bersambung
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥