JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20. UMPAN
Sadewa menoleh, tubuhnya seketika kaku. Dari kegelapan lorong kamar, muncul sosok yang selama ini ia rindukan. Ibunya. Namun bukan lagi seperti yang ia kenal.
Wajah Ibu Sadewa tampak pucat pasi, matanya hitam pekat dengan kilatan merah menyala di dalamnya. Bibirnya mengukir senyum menyeringai yang sama sekali bukan milik manusia. Rambutnya tergerai berantakan, dan langkahnya terhuyung namun penuh daya mengancam.
"Sadewa ..." suara itu berat, bergema seperti keluar dari lebih dari satu mulut. "Anakku, ikutlah dengan kami atau ibumu akan kami bawa selamanya."
Sadewa merasa seluruh darahnya tersedot ke bumi. "Ibu? Apa yang mereka lakukan padamu?"
Sosok itu tertawa, suara parau dan menggema. "Kami mau menjemputmu. Raganya lemah, mudah kami kuasai. Jika kau menyerahkan dirimu, kami akan pergi. Jika tidak ... ibumu akan menjadi korban."
Arsel maju selangkah, melindungi Sadewa dengan tubuhnya. "Makhluk terkutuk! Tinggalkan tubuh perempuan ini! Jangan kau gunakan tubuh seorang ibu untuk mengancam anaknya."
Namun suara itu hanya tertawa. "Kalian tidak tahu ... sukma ini akan kami renggut, dan tubuhnya hanyalah wadah kosong."
Sadewa menjerit, "Jangan! Ambil aku, jangan ambil Ibu!"
Tama menahan bahunya, "Sadewa! Jangan terjebak! Itu hanya tipu daya mereka. Jika kamu menyerahkan diri, mereka benar-benar akan membawamu ke dunia mereka dan ibumu tetap binasa."
Arsel mengangkat tangannya, memusatkan tenaga. Cahaya samar muncul dari jemarinya, membentuk lingkaran kecil di udara. "Tama, kita harus segera mengusirnya sebelum sukma ibunya terlepas."
Tama mengangguk, wajahnya tegang. "Sadewa, mundurlah. Biarkan kami yang menangani ini."
Namun Sadewa hanya berdiri membeku, air mata menuruni pipinya. Matanya tak lepas dari sosok ibunya yang kini berdiri dengan gerakan kaku, kepalanya menoleh tidak wajar, seakan tulangnya dipaksa oleh kekuatan asing.
"Sadewa ..." suara itu kembali, lebih berat dan menakutkan. "Jika kau menolak ... lihatlah."
Sekejap kemudian tubuh Ibu Sadewa terhentak, tangan dan kakinya kejang-kejang. Dari mulutnya keluar suara pekikan melengking yang tak mungkin dihasilkan manusia. Seluruh ruangan bergetar, kaca jendela pecah berhamburan. Dian berteriak histeris, bersembunyi kembali di belakang lemari. Naras dan Mbok Sukma mengerang pelan meski masih tak sadarkan diri, seolah terpengaruh aura mengerikan itu.
Sadewa hampir berlari ke arah ibunya, tapi Arsel menahan keras. "Jangan! Dia bukan ibumu sekarang!"
Mata Sadewa membelalak. Air matanya jatuh deras, tak kuasa melihat keadaan sang ibu. "Kalau begitu, siapa dia?"
Arsel menatap lurus ke sosok kerasukan itu, suaranya dingin. "Salah satu dari mereka. Makhluk yang mengincarmu, Sadewa. Dan sekarang mereka menggunakan ibumu sebagai umpan."
Suasana rumah yang tadinya penuh kekacauan kini semakin sesak oleh hawa gelap yang menekan dari segala arah. Lampu minyak yang tersisa bergetar, nyalanya seolah berperang melawan kekuatan tak kasat mata. Udara menjadi berat, dingin, dan menyesakkan dada.
Sosok Ibu Sadewa yang telah dikuasai makhluk itu melangkah maju, matanya yang menyala merah pekat menyorot langsung ke arah putranya.
"Sadewa jangan dengarkan mereka. Aku ... ibumu ... aku merindukanmu. Kau ingin aku tetap hidup, bukan? Maka datanglah padaku. Serahkan dirimu."
Nada suara itu naik turun, kadang lembut seperti suara ibunya, kadang berat dan menyeramkan seperti dari kedalaman gua.
Sadewa terisak, tubuhnya maju setapak. "Ibu ..."
Namun Tama dengan cepat menarik lengannya. "Sadewa! Itu bukan ibumu yang bicara! Itu tipu daya! Mereka ingin melemahkanmu!"
Makhluk itu menyeringai, wajah ibunya meregang aneh seolah kulitnya hendak sobek. "Anak durhaka ... kau tega melihat ibumu menderita?!"
Arsel tak menunggu lagi. Ia menepuk lantai dengan telapak tangan, membentuk lingkaran cahaya samar berwarna biru. "Tama, kita harus mulai sekarang. Semakin lama kita menunda, semakin dalam makhluk itu menancapkan cengkeramannya.”
Tama mengangguk tegas. Ia meraih kantong kain kecil dari pinggangnya, mengeluarkan segenggam garam dan serbuk kunyit kering yang telah didoakan. Ia menaburkannya membentuk garis di lantai, membuat lingkaran perlindungan di sekitar Sadewa dan Dian. "Jangan keluar dari lingkaran ini," peringatnya pada Sadewa, $apa pun yang terjadi."
Sadewa menatap dengan mata berkaca-kaca. "Tapi ... Ibu ...."
"Percayalah pada kami!" bentak Tama, kali ini lebih keras dari biasanya. "Kalau kamu maju, semua akan sia-sia!"
Sosok kerasukan itu tertawa, suara menggema memenuhi ruangan. Tiba-tiba, lampu rumah padam serentak, menyisakan kegelapan pekat. Hanya cahaya lingkaran perlindungan Arsel yang berpendar samar, bagai lilin terakhir di tengah malam.
Dari kegelapan itu, mata merah sang makhluk berkilat, menatap penuh amarah. "Kalian berani menantang kami? Bodoh! Sukma ini akan kami bawa, dan kalian hanya akan menyaksikan tubuh kosong merana!"
Arsel memejamkan mata, bibirnya melantunkan doa kuno. Lingkaran cahaya biru di lantai semakin terang, memancarkan kilatan yang memaksa sosok itu menjerit. Tubuh Ibu Sadewa terguncang hebat, seperti dua kekuatan berebut kendali di dalam dirinya.
Sadewa menutup telinga, air mata mengalir deras mendengar jeritan itu. Suara itu tak lagi jelas, kadang suara ibunya, kadang suara berat tak wajar.
"Sadewa ... tolong ibu! Mereka menyakitiku!"
Hati Sadewa remuk. Ia meronta ingin keluar dari lingkaran, namun Tama menahan bahunya erat. "Jangan terjebak! Itu bukan ibumu yang bicara! Itu hanya pantulan dari makhluk itu!"
Namun, siapa yang bisa membedakan ketika suara itu persis milik ibu kandungnya? Sadewa meraung, tubuhnya gemetar. "Ibu! Bertahanlah! Dewa ada di sini!"
Sementara itu, Arsel dan Tama terus bekerja. Arsel mengangkat kedua tangannya, cahaya biru di telapak tangannya menjelma menjadi pusaran kecil yang diarahkan ke sosok kerasukan itu.
"Keluarlah! Jangan jadikan tubuh seorang ibu sebagai wadah kotoranmu!" seru Arsel.
Pusaran cahaya melesat, mengenai dada Ibu Sadewa. Seketika tubuhnya terhempas ke belakang, menabrak dinding. Jeritan melengking terdengar, telinga Sadewa hampir pecah mendengarnya. Dari tubuh itu, muncul bayangan hitam menyerupai kabut, melayang-layang dengan bentuk tak menentu.
"Arsel! Itu dia!" teriak Tama. Ia segera melempar segenggam garam ke arah kabut hitam itu. Garam itu berubah menjadi api yang menyala seketika, menimbulkan desisan tajam. Kabut itu meraung, berusaha bertahan, lalu menyelusup kembali ke tubuh Ibu Sadewa yang terkulai.
"Nggak!" Arsel berseru, "Dia mencoba bersembunyi lagi!"
Ibu Sadewa bangkit, matanya semakin merah menyala. Tubuhnya kini digerakkan secara brutal, tangan-tangannya berayun liar seperti hendak merobek siapa pun yang mendekat. Dia melompat ke arah lingkaran perlindungan, menghantamkan tangan ke batas cahaya.
Benturan keras terdengar, seolah dinding tak kasat mata memukul balik. Sosok itu terhempas, namun tertawa bengis.
"Kalian pikir lingkaran rapuh itu bisa menahan kami selamanya?"
Tama mendesah, keringat bercucuran di wajahnya. "Arsel, kekuatannya terlalu kuat. Jika kita hanya bertahan, kita yang akan kalah."
Arsel menggertakkan gigi. "Maka kita harus merebut sukma ibunya kembali, sebelum benar-benar terlepas."
Sementara itu, Sadewa terus meronta di dalam lingkaran. Melihat ibunya menjerit dan tubuhnya dipaksa oleh makhluk itu membuat hatinya hancur. "Aku nggak tahan! Aku harus menolong Ibu!"
Tama menahan lagi, namun kali ini Sadewa memohon dengan suara pecah. "Biarkan aku bicara padanya! Mungkin ... mungkin Ibu masih bisa mendengarku!"
Arsel menoleh cepat. Matanya tajam menatap Sadewa. "Kalau kamu melangkah keluar, mereka langsung menangkapmu. Tapi kalau kamu bicara dari sini ... mungkin masih ada jalan."
Sadewa terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia menatap ibunya yang kini meronta, mulutnya mengeluarkan pekikan campuran antara manusia dan monster.
"Ibu?!" Sadewa berseru, suaranya lantang. "Aku ini anakmu! Sadewa! Ingat aku, Bu! Jangan biarkan mereka mengambilmu! Lawan mereka! Tolong ... lawan!"
Untuk sejenak, gerakan tubuh ibunya terhenti. Mata merah menyala itu bergetar, seolah ada cahaya samar yang berusaha menembus. Dari bibirnya keluar suara lirih, lemah dan nyaris hilang.
"Sa ... de ... wa ...."
Sadewa menjerit penuh harap. "Ibu! Ini aku! Dewa ada di sini! Kembali, Bu! Jangan biarkan mereka membawamu!"
Namun suara itu seketika tenggelam, digantikan pekikan parau. "Diam! Dia milik kami! Sukmanya akan jadi persembahan! Kalian semua tidak akan bisa lari dari Kanjeng."
Tubuh ibunya terhentak, lalu kejang hebat. Kabut hitam kembali menyembur keluar, kali ini lebih pekat, lebih kuat. Ia melayang ke langit-langit rumah, membentuk wajah mengerikan dengan taring panjang dan mata menyala.
Arsel menjerit, "Sekarang, Tama!"
Tama segera melemparkan kembali garam dan kunyit dalam genggamannya ke arah kabut hitam itu. Api menyala terang, kabut itu meraung, tubuhnya meletup kecil seperti terbakar. Namun, alih-alih lenyap, ia kembali melesat ke arah tubuh Ibu Sadewa, menembus dadanya dengan keras.
Tubuh itu jatuh terkulai. Sunyi sesaat.
Sadewa menahan napas, matanya membelalak. "Ibu?"
Kemudian, perlahan, kepalanya terangkat. Namun kali ini matanya tidak lagi merah, melainkan kosong, tanpa cahaya, tanpa jiwa.
Arsel terperanjat. "Oh, tidak. Kita terlambat."
Tama menutup mulutnya, wajahnya pucat pasi. "Sukmanya ... sudah dibawa ...."
Sadewa menjerit, suaranya parau memecah malam. "TIDAKKKK!!!"
Mereka gagal.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???