Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 7
Cinta di Bawah Hujan
Hari berikutnya, kota kembali diselimuti mendung. Awan kelabu menggantung berat, seolah enggan beranjak. Nayla melangkah keluar dari rumah dengan hati yang masih diliputi campuran rasa: gundah, penasaran, dan entah sedikit harapan. Ia membawa buku di tangannya, berniat pergi ke kafe langganannya—tempat ia sering menghabiskan waktu membaca.
Namun begitu ia sampai, kejutan sudah menunggunya. Di meja dekat jendela, Arka duduk sambil menatap ke luar. Seolah takdir sengaja mengatur semuanya, mereka kembali dipertemukan, kali ini bukan oleh kebetulan hujan, melainkan oleh pilihan.
Nayla terdiam sebentar sebelum menghampiri. Arka menoleh, senyumnya langsung merekah. “Kamu datang.”
“Aku biasa ke sini,” jawab Nayla singkat sambil duduk di seberang. Ia membuka bukunya, berusaha terlihat tenang, meski jantungnya berdetak kencang.
Mereka memesan minuman, lalu suasana menjadi canggung beberapa saat. Arka yang biasanya penuh kata, kali ini justru memilih diam. Sesekali ia menatap Nayla, lalu kembali ke cangkir kopinya. Hingga akhirnya, Nayla yang membuka percakapan.
“Kenapa kamu pilih balik ke kota ini, Ark? Bukannya di luar sana kamu punya lebih banyak peluang?”
Arka menatapnya, lama. “Karena aku sadar, sebesar apa pun peluang di luar sana, kalau aku nggak bisa berbagi dengan orang yang paling berarti, semuanya sia-sia.”
Nayla mengernyit. “Dan orang itu… aku?”
“Ya,” jawab Arka tanpa ragu.
Jawaban itu membuat Nayla tercekat. Ia mencoba menyembunyikan keterkejutan dengan menunduk, pura-pura membaca bukunya. Tapi dalam hati, ia tahu kalimat itu menyentuh bagian terdalam yang selama ini ia tutup rapat.
Kafe perlahan dipenuhi pengunjung lain. Hujan akhirnya benar-benar turun, membasahi kaca jendela besar di samping meja mereka. Suara rintiknya seperti pengiring percakapan yang belum selesai. Nayla menatap ke luar, lalu bergumam, “Kenapa harus hujan lagi?”
Arka tersenyum kecil. “Mungkin karena hujan tahu, kita cuma bisa jujur saat dia turun.”
Hening sejenak. Nayla menatap Arka, dan kali ini ia tidak bisa menghindar. Ada keberanian baru yang tumbuh dalam dirinya. “Ark, kamu bilang masih sayang sama aku. Tapi apa kamu yakin? Kita udah beda. Aku bukan gadis SMP dulu yang cuma tahu tertawa di balik payung kecilmu.”
Arka mencondongkan tubuh, suaranya mantap. “Aku tahu. Kamu sudah berubah. Aku juga. Tapi perasaan ini… nggak pernah berubah. Aku nggak minta kamu langsung percaya. Aku cuma minta kesempatan buat buktiin.”
Kata-kata itu menembus dinding hati Nayla. Ada bagian dirinya yang ingin menyerah pada kejujuran itu. Namun ada pula bagian lain yang masih penuh ragu. Ia takut semua ini hanya nostalgia yang cepat pudar.
“Aku takut, Ark,” akhirnya ia mengaku. “Takut kalau aku jatuh lagi, aku akan lebih sakit daripada sebelumnya.”
Arka menatapnya dengan lembut, lalu berkata, “Kalau kamu jatuh lagi, biar aku yang nangkap. Aku janji nggak akan pergi lagi.”
Air mata hampir menetes di mata Nayla, tapi ia cepat mengedip, menahannya. Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menegaskan janji Arka. Di dalam kafe yang hangat itu, dua hati yang lama terpisah kini mulai berhadapan dengan pilihan: terus bertahan dalam keraguan, atau berani melangkah menuju sesuatu yang baru.
Nayla hanya mampu menahan air matanya agar tidak jatuh. Sedangkan Arka terus menatap ke arah Nayla tanpa henti.