NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:950
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perisai dalam Permainan

Malam harinya, setelah makan malam, Daniel meminta Revan untuk mengikutinya ke ruang kerja. Revan, yang sudah menduga ada hal serius yang akan dibicarakan, hanya menurut.

Setelah duduk, Daniel memulai percakapan.

"Revan, Papa mau tanya. Apa kamu mau belajar bisnis?"

Revan mengerutkan kening, terkejut.

"Kenapa Papa tiba-tiba menanyakan hal itu? Papa tahu Revan masih sekolah dan disibukkan dengan tugas, serta persiapan untuk kenaikan kelas."

Daniel mengangguk. "Papa tahu. Jika kamu tidak mau, tidak apa-apa. Papa tidak akan memaksa. Hanya saja..."

"Hanya saja apa, Pa?" tanya Revan, penasaran.

"Begini, Diandra—maksudnya Mama Valeria—menelepon Papa dan mengajak untuk berbisnis bersama," jelas Daniel.

"Bukankah itu bagus, Pa?" kata Revan.

"Ya, memang bagus. Jika kita bekerja sama, itu pasti akan menghasilkan dan menguntungkan. Tapi yang menjadi masalahnya, Tante Diandra mau kamu dan Valeria yang menjalankan bisnis ini."

Revan terkejut. "Apa, Pa? Tapi kan..."

"Papa tahu, Revan. Papa sudah mengatakan itu. Tapi Diandra, dia jika sudah merencanakan sesuatu, ia akan selalu memastikan rencananya itu terwujud dan tercapai. Selain itu, dia meminta Papa untuk mengatur waktu agar kalian berdua bisa belajar dan membangun bisnis bersama." jelas Daniel.

Revan menghela napas panjang.

"Jadi... gimana keputusanmu, Revan? Apa kamu mau belajar dan membangun bisnis bersama Valeria?" tanya Daniel.

"Beri Revan waktu, Pa. Revan permisi," jawab Revan, berdiri dari kursinya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Daniel.

"Rumah Valeria." kata Revan.

"Malam-malam begini lebih baik jangan ke sana. Besok saja bertemu dan bicarakan ini dengannya. Jangan sekarang. Papa khawatir jika kamu ke rumahnya dan mengatakan apa yang Papa katakan, Valeria akan mendapat masalah," ujar Daniel, mengingatkan.

"Baik, Pa," jawab Revan, mengangguk.

Daniel menatap putranya, wajahnya terlihat prihatin. "Dan sebaiknya kamu pikirkan juga, Revan, karena Tante Diandra menunggu jawabannya. Tapi ingat satu hal, Revan, Papa tidak memaksa."

Setelah Daniel keluar, Revan kembali ke kamarnya. Ia duduk di pinggir kasur, mencerna semua yang baru saja ia dengar. Jadi ini alasannya Valeria sangat tertekan. Ini bukan hanya soal pelajaran bisnis, tapi soal masa depannya yang sudah diatur oleh ibunya.

Revan tahu, jika ia menolak tawaran ini, ia mungkin akan membuat tante Diandra semakin menekan Valeria. Tapi jika ia menerima, ia akan masuk ke dalam skenario yang sudah dibuat oleh tante Diandra, yang bisa jadi akan merusak ketulusan hubungannya dengan Valeria.

Setelah berpikir panjang, Revan mengambil keputusan. Ia akan menerima tawaran itu. Bukan karena ia ingin memenuhi ambisi tante Diandra, melainkan karena ia ingin berada di sisi Valeria. Ia ingin menjadi perisai yang melindunginya dari tekanan keluarganya. Ia akan masuk ke dalam permainan itu, tapi ia akan bermain dengan caranya sendiri.

Keesokan paginya, setelah sarapan, Revan menghampiri Papanya yang sedang membaca koran di ruang keluarga. Daniel mendongak, melihat raut wajah Revan yang serius.

"Pa," kata Revan, suaranya mantap. "Revan setuju."

Daniel menurunkan korannya, menatap putranya dengan heran. "Setuju? Setuju apa?"

"Setuju untuk belajar bisnis dan bekerja sama dengan Valeria," jawab Revan.

Daniel terdiam sejenak. Ia terkejut, namun ada rasa bangga di matanya. "Papa tidak menyangka kamu akan setuju. Apa alasannya?"

"Revan sudah memikirkannya, Pa. Ini kesempatan bagus buat Revan untuk belajar. Lagipula, ini juga untuk masa depan perusahaan kita," jawab Revan, mencoba menyembunyikan alasan yang sebenarnya.

Daniel tersenyum, mengangguk. Ia meraih ponselnya. "Baiklah. Kalau begitu, Papa akan menelepon tante Diandra sekarang."

Revan hanya mengangguk, menghela napas panjang. Ia tahu, dengan jawabannya ini, ia telah resmi memasuki permainan yang dibuat oleh Diandra. Ia tidak lagi bisa mundur. Kini, ia harus memberitahu Valeria.

Revan pamit berangkat ke sekolah. Setelah kepergiannya, Daniel segera menelepon Diandra. Di sisi lain, Diandra sedang sarapan bersama Valeria di meja makan yang hening.

Ponsel Diandra bergetar. Ia melihat nama "Daniel" di layar dan segera bangkit.

"Ada apa, Ma?" tanya Valeria.

"Bukan apa-apa," jawab Diandra, suaranya dingin. "Habiskan sarapanmu, lalu langsung berangkat ke sekolah. Mama ada urusan.

Diandra berjalan menjauh, memberikan ruang untuk berbicara.

"Daniel, ada apa?" tanya Diandra, suaranya penuh antisipasi.

"Revan setuju," jawab Daniel singkat, tanpa basa-basi.

Diandra tersenyum puas, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan kepada Valeria. "Bagus. Saya akan atur semuanya. Terima kasih, Daniel."

Ia menutup telepon dan kembali ke meja makan. Valeria sudah selesai sarapan.

"Sudah selesai, Ma. Aku berangkat sekarang."

Valeria meraih tasnya dan berjalan keluar, meninggalkan ibunya yang terlihat begitu puas. Valeria merasakan firasat buruk, tapi ia tidak tahu apa penyebabnya.

Setibanya di sekolah, Valeria tiba di sekolah dengan langkah gontai. Pikirannya masih dipenuhi firasat buruk dari pagi tadi. Saat ia melewati koridor, Damian menghampirinya. Revan dan Kian melihat mereka berdua dari kejauhan, di koridor lain yang menuju kelas mereka.

Revan menatap Valeria dengan cemas, ingin sekali mendekat, tapi ia tahu Valeria butuh ruang.

"Val, ayo ke kelas bareng," ajak Damian, suaranya lembut.

Valeria hanya mengangguk pelan. Mereka berjalan bersama menuju kelas. Di dalam kelas, mereka duduk di bangku yang sama. Suasana kelas yang tadinya ramai seketika hening. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Valeria menunduk, merasa sangat tidak nyaman.

Di bangku lain, teman-teman Valeria berbisik-bisik. Mereka melihat raut wajah Valeria yang pucat dan mata yang sembab. "Valeria kenapa, ya? Kok kayaknya sedih banget," bisik salah satu temannya Keira.

Sementara itu, di kelas Revan, salah satu teman sekelas Valeria yaitu Naila mengirim pesan ke Revan.

"Valeria di kelas, dia keliatan sedih banget."

Revan membaca pesan itu, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Kian, yang duduk di sampingnya, melihat raut wajah Revan. "Ada apa?"

"Valeria... dia nggak baik-baik aja," jawab Revan.

Di kelas Revan dan Kian, guru matematika sedang menjelaskan rumus yang rumit di papan tulis. Namun, Revan tidak bisa fokus. Pikirannya melayang pada Valeria, pada pesan yang ia terima, dan pada rahasia yang ia simpan dari Papanya. Kian, yang duduk di sampingnya, melihat Revan yang terus melamun. Ia tahu, ada sesuatu yang mengganggu Revan.

Sementara itu, di kelas Valeria, suasana juga tidak jauh berbeda. Valeria menunduk, tidak memedulikan pelajaran yang sedang berlangsung. Damian duduk di sampingnya, merasakan ketegangan yang menyelimuti Valeria. Ia sesekali melirik Valeria, tapi tidak berani bertanya.

Waktu terasa berjalan begitu lambat. Valeria hanya ingin pelajaran ini cepat selesai, sementara Revan hanya bisa menunggu bel istirahat berbunyi.

Bel istirahat berbunyi nyaring. Damian menoleh ke arah Valeria. "Val, ke kantin yuk," ajaknya lembut.

Valeria menggelengkan kepala. "Nggak, Dam. Gue nggak lapar."

Saat itu, Keira dan Naila, dua sahabat Valeria, menghampiri mereka. "Val, lo harus makan," kata Keira,

suaranya penuh perhatian. "Lo nggak mau kan pingsan lagi kayak kemarin?"

Naila ikut menimpali, "Iya, ayo. Kita temani."

Mendengar bujukan itu, Valeria akhirnya mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kantin bersama Keira dan Naila. Damian mengikuti di belakang mereka, memberikan ruang tapi tetap berada di sisinya.

Dari pintu kelas, Revan, Kian, dan Liam melihat mereka berempat. "Mereka ke kantin," kata Liam.

Revan mengangguk. "Ayo, kita susul."

Mereka bertiga berjalan di belakang rombongan Valeria, menjaga jarak. Mereka semua kini berkumpul di kantin, sebuah tempat yang ramai namun bisa menjadi panggung untuk drama yang akan terjadi.

Semua murid yang berada di kantin melihat mereka. Kehadiran Revan dan Damian di satu meja yang sama dengan Valeria dan teman-temannya menjadi pusat perhatian. Mereka makan bersama dalam keheningan, meski sesekali Keira dan Naila mencoba mencairkan suasana dengan candaan ringan.

Tak jauh dari mereka, teman Fara, yang juga mantan pacar Damian, duduk di meja lain. Ia terkejut melihat Damian dan Revan duduk berdekatan. Kebingungan di wajahnya seketika berubah menjadi senyum licik. Ia mengambil ponselnya, mengarahkan kamera ke meja mereka, dan memotretnya. Dengan cepat, ia mengirimkan foto itu kepada Fara.

Di ponsel Fara, notifikasi pesan masuk. Ia melihat foto itu, matanya melebar. Wajahnya yang tadinya tenang, kini dipenuhi amarah. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Fara tahu, ia harus segera masuk ke sekolah itu.

Bel masuk berbunyi nyaring, memecah keheningan di kantin. Para murid mulai bergegas meninggalkan meja mereka. Valeria, Keira, dan Naila juga bangkit, diikuti oleh Damian. Di belakang mereka, Revan, Kian, dan Liam juga berjalan menuju kelas.

Valeria berjalan dalam diam, pikirannya kembali pada percakapannya dengan ibunya dan pada tutor bisnis yang baru. Keira dan Naila mencoba mencairkan suasana dengan candaan, tapi Valeria hanya membalas dengan senyum tipis. Damian berjalan di sampingnya, menjadi perisai yang diam-diam melindunginya.

Revan, yang berjalan di koridor berbeda, terus memikirkan Valeria. Ia tahu ia harus memberitahu Valeria tentang tawaran bisnis ibunya. Tapi bagaimana caranya? Ia tahu hal itu akan menyakitinya. Ia hanya bisa menunggu, mencari waktu yang tepat.

Jam pelajaran terakhir pun dimulai. Di setiap kelas, para guru mengumumkan hal yang sama.

"Ujian kenaikan kelas akan segera dilaksanakan," kata guru di kelas Valeria. "Diharapkan kalian semua belajar dengan giat dan mempersiapkan diri dengan baik."

Valeria menatap kosong ke papan tulis. Kata-kata itu terasa seperti beban baru yang menimpa bahunya. Bagaimana ia bisa fokus belajar jika hidupnya terasa berantakan?

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, memecah keheningan di seluruh gedung. Para siswa berhamburan keluar. Revan langsung merapikan tasnya dan bergegas keluar kelas, mencari Valeria.

Revan melihat Valeria berjalan keluar gerbang bersama Damian. Ia mempercepat langkahnya, lalu berdiri di depan mereka.

"Val, ayo pulang bareng," ajak Revan, tatapannya penuh tekad.

Valeria terkejut. "Tapi... bagaimana dengan sopirku?"

Revan tersenyum tipis, mencoba menenangkannya. "Sudah gue atur. Mama lo sudah telepon sopir lo, bilang lo pulang bareng gue. Lo nggak usah khawatir."

Valeria menoleh ke arah Damian, yang hanya mengangguk pelan, seolah memberinya lampu hijau.

"Val, kita harus bicara," kata Revan, suaranya lebih serius.

Valeria mengangguk, menyadari bahwa ini bukan sekadar ajakan pulang biasa. Ia melambaikan tangan kepada Damian, lalu mengikuti Revan menuju mobilnya.

Valeria masuk ke dalam mobil Revan dan menutup pintunya. Ia terdiam sejenak, menatap ke arah Revan.

 "Tumben bawa mobil," katanya, mencoba memecah keheningan yang canggung.

Revan tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. Ia tahu ini bukan saatnya untuk berbasa-basi. Ia menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Valeria.

"Ada yang mau gue omongin, Val," ucapnya, suaranya serius. "Ini tentang Mama lo... dan bokap gue."

Valeria mengerutkan kening. Firasat buruk yang ia rasakan sejak pagi kembali datang.

Revan melanjutkan, "Mama lo menelepon bokap gue. Dia mengajukan kerja sama bisnis. Tapi dia mau kita yang menjalankannya."

Valeria terkejut, matanya membulat. "Apa?"

"Dan... gue setuju," lanjut Revan, suaranya pelan.

Valeria menatap Revan, tidak percaya. "Kenapa? Kenapa lo setuju? Lo tahu kan gue nggak mau semua ini? Kenapa lo ambil keputusan tanpa tanya gue?" tanyanya, suaranya mulai meninggi.

Revan meraih tangan Valeria. "Dengar, Val. Gue nggak setuju karena gue pengen bisnis. Gue setuju karena ini satu-satunya cara gue bisa ada di samping lo, melindungi lo dari Mama lo."

"Gue nggak mau lo jadi mainan di antara ambisi Mama lo dan bokap gue. Gue akan ada di sana untuk lo, untuk kita. Kita hadapin ini bareng-bareng."

Valeria menatap Revan, matanya bergetar. "Nggak, Van. Lo nggak perlu setuju dengan apa yang Mama gue pengenin. Gue bisa jalani ini sendiri kok, gue udah biasa."

Revan menggelengkan kepalanya. Ia tahu, kata-kata itu bukan penolakan, melainkan ketakutan. Valeria takut ia akan terseret dalam masalahnya.

"Gue nggak akan biarin lo jalanin ini sendirian lagi, Val," kata Revan tegas. "Gue nggak peduli lo udah biasa atau enggak. Gue ada di sini, dan gue nggak akan ninggalin lo. Gue masuk ke dalam rencana busuk Mama lo, biar gue bisa ngelindungin lo. Gue di pihak lo, Val."

Valeria menunduk, air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia merasa terharu sekaligus takut.

"Dengar, kita akan hadapi ini bersama," lanjut Revan. "Gue akan jadi partner lo dalam bisnis ini, tapi gue juga akan jadi perisai lo dari Mama lo. Kita akan atur semuanya. Lo nggak akan sendiri lagi."

Valeria mengangkat kepalanya, menatap Revan yang kini memegang tangannya erat. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia tidak merasa sendirian. Ia mengangguk pelan, setuju.

Pemikiran Revan

Di dalam mobil, keheningan menyelimuti mereka. Valeria masih terdiam, mencerna semuanya. Revan memulai mobilnya, tapi pikirannya tidak bisa lepas dari perkataan Valeria.

Valeria bilang dia sudah biasa dengan tekanan dari mamanya... tapi kenapa Tante Diandra harus menekannya sampai sejauh itu? Bukankah Valeria anaknya? Kenapa dia tidak memberikan sedikit pun kebebasan? Seharusnya seorang ibu melindungi anaknya, bukan malah menjadi sumber tekanan paling besar dalam hidupnya.

Pikiran itu terus berputar di benak Revan. Ia kini mengerti mengapa Valeria sering terlihat murung. Ia tahu ia telah membuat keputusan yang benar. Ia tidak bisa membiarkan Valeria menghadapi semua ini sendirian lagi.

"Val, dengar," kata Revan, memecah keheningan. "Kita nggak bisa langsung menghadapi Mama lo. Kita harus bikin rencana yang matang."

Valeria menoleh, menatap Revan dengan mata yang masih sembab. "Rencana apa?"

"Kita mulai dengan yang paling mudah dulu," jawab Revan. "Kita cari tahu apa saja yang sudah Mama lo rencanakan, dan kita akan pikirkan cara untuk menghadapinya."

Valeria menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak perlu, Van. Gue nggak mau tambah masalah lagi," ucapnya, suaranya bergetar. "Gue mohon, jangan cari tahu apa pun."

Revan menatap Valeria, hatinya mencelos melihat ketakutan di matanya. Ia tahu, permintaan itu bukanlah penolakan, melainkan tanda bahwa Valeria sudah terlalu lelah dan hanya ingin semuanya berakhir.

"Val, kita nggak bisa diam aja," kata Revan lembut, tapi penuh keyakinan. "Kalau kita nggak tahu rencana mereka, kita nggak akan pernah bisa melawan. Kita akan selalu jadi pion dalam permainan mereka. Lo nggak mau kan?"

Valeria terdiam. Ia tahu Revan benar, tapi rasa takutnya lebih besar. Ia sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian.

"Gue janji, gue nggak akan ngelakuin apa pun yang bikin lo dalam bahaya," lanjut Revan. "Kita mulai dengan hal yang paling sederhana, ya? Kita nggak akan cari tahu apa-apa dulu. Gue cuma mau kita ngobrol, lo cerita, dan gue dengerin. Biar gue tahu apa yang lo rasain."

Valeria menatap Revan, melihat ketulusan di matanya. Ia mengangguk pelan, sebuah isyarat kecil yang penuh makna. Ia bersedia membuka diri, tapi dengan caranya sendiri.

"Tapi itu pun kalau gue udah siap cerita sama lo, Revan," ucap Valeria, suaranya pelan.

"Ya," jawab Revan, singkat namun penuh pengertian. Ia tidak bertanya lagi, membiarkan keheningan mengisi mobil.

Valeria menoleh, memandang ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi ketakutan.

Bukannya gue nggak mau lo tahu, Revan. Hanya saja... gue takut. Takut lo tahu tentang rahasia gue. Bahwa gue bukan anak kandung dari Mama Diandra. Gue hanya anak angkat, Revan.

Ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Perasaan takut dan tidak berharga itu kembali menghantuinya. Ia takut Revan, dan teman-temannya yang lain, akan meninggalkannya jika mereka tahu kebenaran ini. Ia khawatir cinta kasih yang ia dapatkan dari mereka akan menghilang, sama seperti kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari Mama Diandra.

Revan, yang duduk di sampingnya, merasakan ketegangan itu. Ia tahu Valeria sedang berjuang dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah di sekolah. Ia tetap diam, memberikan Valeria waktu dan ruang yang ia butuhkan.

Sementara itu, Aluna telah sampai di rumahnya. Ia membuka pintu kamar, melemparkan tasnya ke kursi, dan bersiap untuk beristirahat. Namun, ia terkejut melihat Fara sudah duduk di tepi tempat tidurnya, menatapnya dengan tatapan dingin.

"Fara? Lo ngapain di sini?" tanya Aluna, kaget.

Fara tidak menjawab, ia hanya menyeringai sinis. Di tangannya, ada ponsel yang menampilkan foto Revan, Damian, dan Valeria sedang duduk bersama di kantin.

"Lo tahu apa arti foto ini, Aluna?" tanya Fara, suaranya tajam. "Ini artinya mereka mengkhianati kita. Dan lo... harusnya lo tahu apa yang harus lo lakukan."

Aluna terdiam, ia melihat foto itu.

Hanya ilustrasi gambar.

Fara menatap Aluna dengan mata menyala. "Tiga hari lagi," ucapnya, suaranya pelan dan penuh ancaman. "Tiga hari lagi, gue akan masuk ke sekolah lo dan mereka."

Aluna terkejut. "Tiga hari? Kenapa harus tiga hari?"

Fara menyeringai. "Tiga hari itu cukup untuk membuat mereka terlena. Mereka pikir mereka sudah aman, Aluna. Tapi mereka salah."

Fara lalu menjelaskan rencananya kepada Aluna. Ia ingin Aluna menyebarkan gosip tentang Valeria dan hubungannya dengan Revan dan Damian. "Gue mau seluruh sekolah tahu kalau Valeria itu... cewek murahan," bisik Fara.

Aluna menelan ludah. Ia tahu betapa berbahayanya Fara. Ia tidak ingin terlibat, tapi Fara tidak memberinya pilihan. Tekanan itu terlalu besar. Dengan enggan, ia mengangguk, menyetujui rencana Fara.

"Bagus," ucap Fara, tersenyum puas. "Sekarang, lo punya waktu tiga hari."

Fara tersenyum puas. Ia berhasil membuat Aluna menyetujui rencananya. Ia bangkit dari tempat tidur Aluna dan berjalan ke pintu. "Sampai ketemu tiga hari lagi," ucap Fara, lalu meninggalkan rumah Aluna.

Tak lama setelah Fara pergi, Ellian, papa tiri Aluna, pulang dan masuk ke dalam rumah. Ia disambut oleh istrinya, Mama Aluna, dengan senyum hangat. Ellian menoleh ke arah Aluna, yang baru saja keluar dari kamar. Tatapannya dingin dan acuh tak acuh.

"Sudah pulang?" tanya Ellian, suaranya datar.

Aluna hanya mengangguk, lalu bergegas kembali ke kamarnya. Ia merasa sesak. Tekanan Fara dan tatapan dingin papa tirinya membuatnya merasa terjebak. Di dalam kamar, ia menatap ponselnya, di mana pesan dari Fara masih terpampang. Sebuah rasa bersalah dan takut mulai menghantuinya.

Setelah percakapan singkat yang tegang di dalam mobil, Revan mengemudikan mobilnya dalam diam. Valeria duduk di sampingnya, menatap ke luar jendela, pikirannya masih berkecamuk. Ia masih merasa takut dan bingung, tapi kehadiran Revan di sisinya memberinya sedikit ketenangan.

Tak lama kemudian, mereka tiba di depan rumah Valeria. Revan memarkirkan mobilnya dan menoleh ke arahnya.

"Val, gue janji," kata Revan, suaranya pelan. "Gue akan ada di sini buat lo. Lo nggak sendirian."

Valeria mengangguk, tersenyum tipis. "Makasih, Revan."

Ia membuka pintu mobil dan keluar. Revan mengawasinya sampai ia masuk ke dalam rumah. Setelah itu, Revan menyalakan mesin mobilnya dan pergi.

Malam pun tiba, Revan tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh Valeria. Ia tahu ia harus hati-hati, tapi juga harus bergerak cepat. Tante Diandra sudah menghubungi Papanya, yang artinya semuanya akan segera dimulai.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Kian.

"Di mana lo? Kita harus ngumpul."

Revan membalas, "Di kafe biasa. Gue tunggu."

Ia bergegas keluar dari kamar, hatinya penuh dengan tekad. Ia tahu ia tidak bisa menghadapi ini sendirian. Ia membutuhkan timnya.

Tak lama kemudian, Revan, Kian, dan Damian sudah duduk di kafe yang sepi. Revan menatap kedua temannya.

Hanya ilustrasi gambar.

"Ada yang mau gue omongin," katanya, suaranya pelan dan serius. "Ini tentang Mama Valeria dan bokap gue."

Revan menceritakan tentang tawaran bisnis Diandra, bahwa ia ingin Revan dan Valeria yang menjalankannya. "Dan gue... gue sudah setuju," kata Revan.

Damian dan Kian terkejut. "Lo serius? Kenapa lo nggak bilang ke kita?" tanya Damian.

"Gue setuju karena gue nggak mau Val jalanin ini sendirian," jawab Revan, tatapannya penuh tekad. "Gue mau lindungi dia. Gue mau ada di sisinya. Kita harus bikin rencana."

Kian menatap Revan dengan serius. "Oke. Jadi, apa rencana kita?"

Revan menatap kedua temannya dengan serius. "Rencana pertama kita, kita harus cari tahu lebih banyak tentang bisnis ini. Gue nggak mau kita cuma ikutin apa yang Tante Diandra mau. Kita harus punya kendali."

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Kian, yang selalu berpikir logis. "Kita nggak bisa main-main dengan tante Diandra. Dia itu licik."

Damian menyela. "Tunggu dulu. Sebelum kita mikirin bisnis, kita harus mikirin Valeria. Keadaannya sekarang lagi nggak baik. Dia takut. Kita harus yakinkan dia kalau kita ada buat dia. Dia butuh dukungan kita lebih dari apa pun."

Revan mengangguk, menyetujui ucapan Damian. "Lo bener. Tapi, Tante Diandra udah atur semuanya, termasuk tutor bisnisnya. Gue rasa kita bisa mulai dari sana. Kita cari tahu apa aja yang diajarkan, dan kita cari tahu apa aja yang Tante Diandra mau dari bisnis ini."

Kian mengangguk. "Oke. Jadi, langkah pertama kita adalah mencari tahu informasi dari dalam. Mungkin kita bisa coba cari informasi dari teman Valeria yang lain."

Revan, Kian, dan Damian terus berdiskusi dengan serius.

"Atau," Kian menyela. "Gue coba tanya kepada bokap gue. Siapa tahu dia tahu dan pernah bisnis bareng Tante Diandra."

Revan dan Damian saling pandang, lalu mengangguk. Ide Kian sangat bagus, karena ini adalah cara yang paling aman untuk mendapatkan informasi tanpa mengundang kecurigaan.

"Oke," kata Revan. "Jadi, rencananya gini. Kian, lo coba tanya bokap lo. Tapi hati-hati, jangan sampai dia curiga."

"Damian, lo tetap di sisi Valeria di sekolah. Pastikan dia baik-baik aja."

"Dan gue," lanjut Revan. "Gue akan coba cari cara lain buat ngedekatin Valeria, biar dia mau terbuka sama gue. Dan kita akan cari cara untuk cari tahu tentang bisnis ini."

Mereka bertiga mengangguk, sebuah tim yang siap bertarung.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!