“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketiduran
Umi Shofia panik sendiri, menunggu Zayn yang tidak juga membukakan pintu. Dia berinisiatif membuka pintu dengan kunci cadangan yang tergantung di tembok, dekat pintu.
Usahanya otomatis gagal, karena kunci yang sama telah mengisi lobang kunci dari arah yang berlawanan. Apalagi Zayn menggunakan slot juga untuk mengamankan kamarnya.
“Zayn, Zayn,” panggilnya sekali lagi. Namun orang yang dipanggilnya tidak nongol-nongol juga. Membuatnya makin berang.
Apalagi saat ia dengan tanpa sengaja, melihat jam dinding. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6,50 WIB. Sepuluh menit lagi waktu ijab qobul akan dimulai.
"Zayn Zayn. Kamu kok susah dibangunkan sih," gerutu umi Shofia.
Umi Shofia tak mau mengecewakan besannya yang mungkin saat ini telah menunggu mereka di tempat ijab qobul. Dia segera mencari bantuan.
Tak sengaja dia melihat Sapri telah datang dengan mobil yang siap mereka gunakan. Dia segera menghampirinya.
“Sapri...” panggilnya dengan suara khasnya yang melengking.
Sapri pun datang dengan tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Ada apa, Umi?” kata Sapri.
Sambil berjalan, Umi Shofia pun menceritakan kekesalan hatinya.
“Zayn ini bagaimana, sih. Sempat-sempatnya dia tidur setelah subuh. Mana tidur kaya kebo lagi. Susah dibangunkan. Coba lihat tuh, sudah mau jam tujuh...” Umi terus saja bicara sambil menunjuk-nunjuk jam dinding dan juga dirinya.
Sapri dibuat bingung sendiri. Dia hanya bisa menyahuti, “nggeh, nggeh Umi.” Tanpa tahu apa maksud umi Shofia memanggilnya.
“Maaf Umi. Apa yang bisa Sapri bantu?” tanyanya dengan sopan.
Dia memberanikan diri menyela pembicaraan umi Shofia yang mulai kemana-mana.
“Kamu dobrak itu pintu!’ kata umi Shofia dengan wajah kusut. Sebuah perintah yang seketika membuat Sapri membelalakkan mata.
“Nanti pintunya rusak, Umi.” Dia tak mau jadi sasaran kemarahan umi Shofia di kemudian hari.
“Sudah lakukan saja,” kata umi Shofia dengan ringannya.
Perintah umi Shofia memang sulit untuk ditolak.
Sapri pun bersiap-siap. Dia segera mundur beberapa langkah. Mengambil ancang-ancang untuk melepaskan tendangan yang mematikan. Dan akhirnya, bruuaaakkkk....
Sapri terhenyak. Tubuhnya berhenti bergerak seketika. Dia seperti patung yang masih dengan kepalan tangan yang melemah dan kaki yang belum selesai menendang. Sesuatu yang tidak dia harapkan, telah ia lakukan tanpa sengaja.
Bersamaan kakinya bergerak, bersamaan itu pula Zayn membuka pintu. Bukannya pintu yang kena. Namun Dada Zayn yang nongol tiba-tiba menjadi sasaran tendangannya. Sontak Zayn terkejut dan tak mampu menghindar. Dia terlempar dan terkapar di lantai kamar.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sapriiii...”teriak Zayn dengan suara menggelegar. Dia tak ubahnya malaikat Malik, ganas dan menyeramkan. Umi Shofia sampai melongo dibuatnya.
Sapri pun tersadar. Dia segera lari pontang-panting, menghilang dari tempat turunnya malaikat Malik. Dia takut akan menyeretnya ke neraka.
Huah...huah...nafasnya tersengal-sengal. Dia pun berhenti di samping mobil, kendaraan yang dia bawa. Untuk mengantarkan mereka ke tempat ijab qabul.
Dia mengusap dadanya dengan istighfar berkali-kali. Menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba melesat sangat cepat. “Ya Allah, malang benar nasibku hari ini.” Niat hati datang tepat waktu, menjemput tuan dan keluarganya sesuai dengan perjanjian.
Namun mengapa terjadi hal yang tidak mengenakkan. Dimarah marahi dan diteriak-teriki, sesalnya.
Namun sebenarnya derita Sapri tidaklah separah apa yang Zayn alami. Tendangan Sapri sangat kuat, sampai menimbulkan nyeri di dada.
Sambil memegangi dadanya, dia bangkit.
“Sakit, Zayn?” tanya umi Shofia.
“Sakit banget, Umi.” Zayn mengeluh manja. Dia bersandar sejenak di dinding.
Umi Shofia tak tega. Dia menuntut Zayn ke tempat tidurnya.
“Pelan pelan,” kata umi Shofia dengan sabar.
“Makasih, Umi.” Dia duduk di pinggir ranjang. Namun rasa sesak dan nyeri tak mampu dia tahan lagi. Dia pun mengangkat kakinya ke atas tempat tidur. Dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
“Tidurlah dulu,” kata Umi dengan lembut.
Zayn pun merebahkan tubuhnya dengan patuh.
“Umi, sekarang jam berapa?” tanyanya sambil menggigit bibirnya, menahan nyeri di dadanya.
“Tujuh,” kata umi Shofia pelan.
“tujuh!?!?” Zayn sungguh-sungguh terkejut, sampai-sampai bola matanya hampir keluar.
Zayn segera bangkit. Wajahnya menegang. Dia memandang umi Shofia tanpa kata.
“Ada apa, Zayn?” tanya Umi Shofia dengan bingung.
“Waktu ijab qabul.” Jari-jarinya mengarah pada umi Shofia seolah-olah sedang menembak.
“Lho iya,” kata umi Shofia ambil menepuk jidat.
Zayn segera melompat, pergi ke tempat mandi yang ada di kamarnya. Melupakan penderitaannya saat ini. Jebrur, jebrur...dia mandi dengan cepat.
“Umi, bantu aku. Tolong ambilkan hem putih dan celana abu-abuku yang ada di lemariku.” ucap Zayn dari balik pintu kamar mandi. Memang tak sopan, tapi mau gimana lagi.
Umi Shofia ikut panik. Dia mengambil setelan baju dan celana Zayn dengan tergesa-gesa. Sehingga beberapa baju terambil juga. Dia mencoba mengembalikan. Tapi tak bisa. Bahkan membuatnya semakin berantakan. Dia menjadi kesal.
Umi Shofia segera meletakkan pakaian yang Zayn minta di atas tempat tidur begitu saja.
“Pakaianmu , Umi letakkan di kasur.”
“Terima kasih, Umi,” ucap Zayn.
Umi Shofia segera meninggalkan kamar Zayn yang masih berantakan. Bodoh amat. Biar Zain yang urus nanti atau Zara yang sebentar lagi akan menjadi menantunya. Dia juga harus menyiapkan diri untuk mendampingi Zayn ijab qabul.
Zayn mandi sesingkat mungkin, sejauh yang dia bisa. Mungkin kurang dari 3 menit. Saking singkatnya, butiran butiran air yang menempel di tubuhnya, tak tersapu bersih oleh handuk yang dia pakai. Dia keluar dengan tubuh yang masih basah.
Zayn segera mencari pakaian yang telah umi Shofia siapkan. Tak peduli lagi dengan keadaan kamar yang berantakan. Bahkan dia tak peduli juga dengan hem putih yang dia pakai yang kini basah dan tampak melekat di kulitnya. Yang penting sekarang harus segera siap hadir di tempat ijab qabul.
Dasinya mana ya?... Zayn segera menyibak-nyibak tumpukan pakaian kecilnya yang ada di lemari. Untung segera ia temukan, meski harus melempar beberapa lembar pakaian kecilnya ke lantai.
Untuk Jaz abu-abu yang akan dia pakai, alhamdulillah sudah tergantung manis di balik pintu. Dia pun segera memakainya.
Dia segera menuju halaman. Sepanjang jalan ia merapikan rambutnya yang masih berantakan. Ini bukan masalah. Dia bisa menyamarkannya, dengan menyembunyikannya semua rambutnya ke dalam kopyah yang senada dengan jaznya.
Di halaman, telah menunggu rombongan yang akan mengantarkannya ke tempat ijab qabul. Mereka tampak gelisah, menunggu dirinya yang tak kunjung datang.
“Makanya setelah subuh, janganlah tidur. Nggak nyunnah dan membuat orang susah,” tegur Khadijah, adik perempuannya yang kini sudah punya 2 anak kembar yang menggemaskan.