Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, royal, arogan, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan yang tak pernah di ketahui
Azam menghentikan mobilnya, tidak jauh dari cafe yang di datanginya kemarin. Mata elangnya tak lepas memperhatikan seorang anak kecil yang tengah sibuk membantu pengendara lain memarkirkan kendaraan.
"Kali ini lu gak akan bisa kabur lagi dari gue, tong!" gumamnya menyeringai jahat kemudian tertawa sendiri.
Ponsel di dalam kantong celana di keluarkan, lalu jarinya bermain di sana menghubungi Parjo.
"Datang kesini sekarang!" setelah mengucapkan itu sambungan telepon di putuskan. Lokasi tempat ia berada juga sudah di kirim melalui pesan.
Sepasang mata elang miliknya yang kebiruan kembali fokus memperhatikan anak kecil tadi.
Beberapa menit berselang, ia melihat Parjo di bonceng Mail dengan motor tiba di depan caffe tempat anak kecil memarkir kendaraan.
Keningnya berkerut melihat bocah yang sejak tadi di perhatikannya, mendekati Parjo dan Mail, lalu mereka saling bertos, seperti sudah saling mengenal satu sama lain.
Ponsel ditangan kembali di nyalakan layarnya, lalu menghubungi Parjo.
"Bos, dimana?Kami sudah di lokasi nih?"
"Ya, gue tahu. Gue kesana sekarang. Bocah yang bersama kalian jangan di biarkan kabur."
"Bocah? Bocah yang mana bos?"
Azam tidak membalas lagi. Malah sambungan telepon di putuskannya sepihak. Lantas ia menghidupkan mesin mobil dan melajukan ke tempat Parjo dan Mail.
Baru saja turun dari mobil, bocah laki-laki yang menggunakan rompi juru parkir itu, segera bersembunyi di belakang tubuh Parjo yang besar.
Besar, karna berat badan pemuda itu sudah mencapai 90 kilogram dengan tinggi 162cm. Berbeda dengan Mail, sohib kentalnya yang memiliki tinggi 172, tapi hanya memiliki berat badan 50 kilogram. Kerempeng. Seperti tiang listrik.
"Sekarang lu gak bisa lari lagi." Azam menyeringai jahat memandang bocah yang berdiri di belakang Parjo.
Mail dan Parjo malah saling berpandangan. Heran siapa yang di maksud sahabatnya itu.
Sedangkan bocah yang bersembunyi di belakang tubuh besar Parjo mengintip sedikit melihat Azam.
"Come here, boys!" Azam mengarahkan satu telunjuknya yang di gerak-gerakkan pada bocah itu.
"Siapa yang bos maksud?" tanya Parjo keheranan. Dia juga menoleh kebelakang, namun tidak melihat siapapun kecuali Aril. Bocah laki-laki yang memang sudah lama di kenalnya.
"Ishk, siapa lagi? Kalau bukan tuyul di belakang lu itu!" jawab Azam kesal.
Parjo kembali menoleh kebelakang. "Tuyul? Tuyul mana?"
Azam mendekat dan lansung mencengkram pergelangan tangan bocah yang bersembunyi di belakang Parjo.
"Lepasin!" teriak bocah itu sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Azam.
"No! Sekarang juga lu harus ganti kereusakan mobil gue. Atau lu gue laporin ke polisi!" ancamnya menakut-nakuti.
"Kenapa aku yang harus mengganti? Kan Abang sendiri yang gak dengar arahanku. Aku udah bilang berhenti, tapi Abang malah mundur terus," jawab bocah itu membela diri.
"Oo, lu masih belum mau mengaku. Oke. Gue laporin lu ke polisi sekarang juga!" gertak Azam, sebelah tangan mengeluarkan ponsel pura-pura menghubungi polisi.
"Laporin aja! Memangnya aku takut!" tantang bocah itu.
Semakin geram saja Azam mendengar bocah itu yang selalu saja menjawab. Sesaat dia diam sambil berpikir.
"Bos, sebenarnya ada masalah apa? Apa yang telah di lakukan Aril?" Parjo yang sejak tadi mendiamkan diri mulai bersuara.
Mail mengangguk, dia juga ingin tahu permasalahan yang terjadi antara sahabatnya itu dengan Aril.
Pandangan Azam seketika beralih pada mereka berdua. "Jadi, kalian kenal dengan bocah ini?" Azam balik bertanya untuk memastikan.
"Ke-kenal bos," jawab Mail yang memang tergagap.
Azam manggut-manggut, kemudian tersenyum sinis. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. "Pasti kalian juga tahu rumahnya kan?"
"Te-tentu ta-tahu, bos," jawab Mail cepat.
Azam memandang bocoh itu yang pergelangan tangannya masih di pegangnya.
Raut wajah Aril mulai cemas, takut saja jika pemuda di hadapannya ini membawanya ke rumah. Tentu kakaknya akan tahu pekerjaannya selama ini.
"Bawa gue sekarang ke rumahnya," pinta Azam, lalu menyeringai memandang wajah bocah yang kini telah berubah pucat.
***
Tok tok tok
Pintu rumah di ketuk berulang kali dan keras, membuat seorang gadis yang mencuci pakaian di kamar mandi segera berdiri. Tangannya meraba-raba mencari tongkat alumunium yang di sandarkannya di dinding kamar mandi sebelum melangkah menuju pintu utama rumahnya.
"Ya, cari siapa?" tanya gadis itu setelah membuka pintu. Senyum ramah di sunggingkannya pada tamunya yang berada di luar, walau ia sendiri tidak bisa melihat, tapi aroma parfum sosok yang berdiri di hadapannya sekarang, rasanya ia kenal.
"Ooh, ternyata kemarin itu lu sengaja menabrak gue, biar gue gak bisa menemukan adik lu?"
Tidak ada angin tidak ada hujan, gadis itu malah mendengar suara orang di luar yang marah-marah padanya.
"Bos." Parjo menegur sahabatnya agar tidak emosi.
"Lu diam!" bentak Azam, menuding satu jari tulunjuknya pada Parjo, membuat pemuda itu seketika terdiam.
"Gue gak mau tahu! Sekarang juga lu harus ganti kerusakan mobil gue ulah adik lu!"
Arumi tampak masih tenang, karna ia yakin semua ini hanya salah paham saja. Mana mungkin adiknya bisa merusakkan mobil orang. "Maaf, mungkin Abang salah orang," balasnya lembut, senyum manis tak lekang dari bibirnya.
"Dasar buta! Lu gak lihat siapa yang gue bawa ini!" Pergelangan tangan bocah yang sejak tadi di pegangnya, sedikit disentakkan, hingga wajah bocah itu sedikit mendongak memandang Arumi.
"Bos!" Parjo kembali menegur sahabatnya. Tidak tega melihat bocah itu yang seperti akan menangis.
Azam kembali menuding tunjuknya pada Parjo. "Lu diam! Bicara sekali lagi awas lu!" ancamnya memperingatkan Parjo. Kemudian kembali beralih pada Aril. "Eh, kenapa lu diam? Tadi bukan main berani lu menjawab omongan gue. Sekarang bicaralah! Katakan sama Kakak lu ini, kalau lu yang telah membuat mobil gue rusak!"
"Azam, cukup! Gue yang akan mengganti semua kerusakan mobil lu!" teriak Parjo dengan lantang untuk pertama kalinya pada Azam. Dia sudah tidak bisa lagi menahan diri melihat kelakuan sahabatnya yang sudah melampaui batas.
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu hening. Azam menatap Parjo dengan mata yang merah, kemudian dia tertawa besar.
Mail yang menyadari akan ada pertengkaran hebat diantara kedua sahabatnya, segera menarik tangan Parjo menjauh dari sana. "Su-sudah, Jo."
Azam yang belum puas hati mendengar ucapan Parjo barusan, melepaskan begitu saja tangan Aril, lalu berlari mengejar kedua sahabatnya yang telah menjauh. "Eh, mau kemana lu, setan! Lu bilang mau ganti mobil gue kan? Kenapa lu kabur, hah!" teriaknya sambil mengejar Parjo dan Mail.
Bugh!
Satu tendangan di lepaskannya mengenai pinggang Parjo hingga pemuda tersungkur ke tanah.
"Mau kemana lu, hah! Lu bilang mau ganti kan? Mana? Mana uang lu? Jangan bacod doang lu!"
"Bos, su-sudah, bos." Mail memeluk erat pinggang Azam yang semakin mendekati Parjo.
"Oke! Gue akan ganti semua kerusakan mobil lu itu! Gue bukan pecundang kayak lu yang bisanya hanya bersembunyi di bawah ketiak kedua orang tua. Berikan gue waktu sampai nanti malam, akan gue ganti semuanya! Termasuk uang dan barang yang pernah lu kasih!" teriak Parjo sambil memegang pinggangnya yang sakit.
Smakin panas saja Azam mendengar pemuda itu menyebutnya pecundang. Lantas tangan Mail yang memeluk pinggangnya di tepiskan paksa. "Lepasin gue, Il!"
Karna Mail tidak juga mengindahkan perintahnya, satu sikutnya di ayunkannya kuat ke belakang hingga mengenai perut Mail, membuat pemuda itu meringis dan melepaskan tangannya.
Setelah tangan Mail terlepas. Lantas dengan amarah yang membuncah dia berlari ke arah Parjo. Kerah baju pemuda dengan tubuh tambun itu di cemgkramnya kuat dan dipaksa berdiri. "Lu bilang apa tadi? Gue pecundang?"
Parjo malah menyunggingkan senyum sinis. "Ya, lu memang pecundang! Selama ini lu hanya bisa berlindung di balik nama orang tua lu! Lu bukan siapa-siapa tanpa mereka! Lu terlalu angkuh dengan apa yang lu punya. Lu hanya laki-laki pengecut! Asal lu tahu! Lu orang yang paling pengecut yang pernah gue kenal!"
"Diam!" bentak Azam keras dan lantang. Kedua tangannya yang tadi mencengkram kerah baju Parjo kini berpindah mencekik leher pemuda itu.
Mail yang masih meringkuk menahan sakit di perut segera berdiri dan melerai dua sahabatnya yang sedang berkelahi itu.
"Dan satu hal yang perlu lu ketahui, Zam. Lu adalah orang yang telah membuat perempuan tadi gak bisa melihat. Dan lu adalah orang yang membuat anak kecil tadi hilang harapannya untuk bersekolah! Dan lu juga yang telah menghilangkan nyawa adik mereka!" ucap Parjo dengan nafas tersengal.
Tangan Azam yang tadinya mencekik kuat leher Parjo seketika melemah. Kepalanya menggeleng cepat menepiskan apa yang di katakan sahabtnya barusan. "Ma-maksud lu apa?"