Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 7
Sudah beberapa hari sejak kejadian di mobil itu, dan sejak saat itu hubungan Galih dan Lauren mulai berubah. Lauren sekarang lebih terbuka pada Galih
Mereka kini lebih sering terlihat duduk bersama saat di kantin. Mereka ngobrol tentang kuliah, film, kadang hal-hal sepele yang membuat mereka tertawa. Galih merasa... nyaman. Aneh, karena biasanya ia selalu menjaga jarak. Tapi Lauren punya sesuatu yang membuatnya merasa ringan, seolah dunia yang gelap yang selama ini ia tinggali perlahan jadi punya cahaya.
Sementara itu, Tante Jesika, Tante Liana dan Tante-tante lainya tak berhenti menghubunginya. Chat demi chat masuk ke ponsel Galih. Isinya campur aduk—ajakan, rayuan, bahkan kadang foto-foto yang tidak pantas. Tapi semua hanya dibaca sekilas lalu diabaikan. Galih bahkan sudah menonaktifkan notifikasi chat darinya.
Ia tak mau gangguan apa pun merusak waktu damainya dengan Lauren.
Hari itu, mereka duduk di bawah pohon besar di taman kampus. Lauren membawa dua cup kopi dan menyerahkannya pada Galih.
“Cappuccino, favorit kamu kan?” ucap Lauren.
Galih tersenyum sambil menerimanya. “Kok tahu?”
"Ya tahulah orang setiap hari kamu belinya itu.” jawab Lauren ringan.
Sebelum Galih sempat membalas, ponselnya berdering. Kontak bernama RS Jiwa muncul di layar. Hati Galih langsung terhentak. Ia mengangkat telepon dengan cepat.
" Halo apa benar ini Mas Galih"
“Halo? Iya, saya Galih.”
Suara suster di ujung telepon terdengar cemas.
“Mas Galih, ayah Anda kembali mengalami episode psikotik. Beliau terus memanggil-manggil nama Anda. Kami harap Anda secepatnya datang kesini. Kami sudah tidak sanggup menangi ayah anda.”
“Baik, saya segera ke sana.”
Galih menutup telepon dengan napas memburu. Wajahnya berubah drastis—panik, khawatir, gelisah terpancar dari wajahnya.
Lauren yang melihat perubahan itu langsung bertanya. “Ada apa?”
Galih menunduk sejenak, lalu berkata pelan, “Ayah gue… dia dirawat di rumah sakit jiwa. Dia kambuh lagi.”
Lauren terdiam, tak menyangka. Lalu, dengan tenang tapi tegas, dia berkata, “Aku ikut.”
“Enggak, kamu nggak usah repot. Ini bukan—”
“Aku mau ikut, Galih.” ucap Lauren sambil berdiri, menatap matanya dengan ketegasan yang jarang Galih lihat dari siapa pun.
Galih sempat ingin menolak, tapi entah kenapa, kali ini ia tidak sanggup. Mungkin karena di mata Lauren hanya terlihat ketulusan didalamnya, Lauren benar-benar ingin hadir, bukan karena kasihan… tapi karena peduli.
---
Di dalam mobil, suasana sempat hening. Lauren tidak bertanya apa-apa, membiarkan Galih berkendara dalam diam. Tapi tatapan Lauren terus terarah ke Galih yang terlihat tenang namun terlihat jelas mencoba menyembunyikan rasa gelisahnya.
Setelah beberapa saat, Galih akhirnya bicara.
“Waktu gue masih kelas 3 smp, ibu gue ninggalin kami. Dia pergi sama laki-laki lain. Setelah itu, ayah gue... hancur. Sehari-hari cuma melamun, ngomong sendiri. Dan pada akhirnya, dia harus dirawat. Gue cuma punya dia.”
Lauren mendengarkan dengan seksama, tanpa menginterupsi.
“Makanya... gue lakuin apa aja buat biayain pengobatan ayah gue.” lanjut Galih. Tapi ia berhenti, seolah sadar hampir mengungkap sesuatu yang tidak boleh dia ungkapkan ke siapa pun.
Lauren hanya menjawab pelan "Kamu hebat Galih, Ayahmu pasti bangga sama kamu"
Galih terkejut mendengar perkataan Lauren. Ia menoleh sebentar ke arah Lauren, Dalam hatinya Galih menyangkal perkataan Lauren, Mungkin Lauren tidak akan bilang dirinya hebat kalo tahu apa yang dia kerjakan untuk mendapatkan uang. Galih lalu kembali fokus ke jalan. Tapi hatinya terasa aneh. Seolah kata-kata sederhana itu... menyentuh luka yang selama ini ia tutupi rapat-rapat.
---
Setibanya di rumah sakit jiwa, Lauren melihat sisi lain dunia—koridor terasa begitu dingin, aroma antiseptik tercium dari berbagai arah dan suara-suara lirih dari pasien yang tak dikenalnya menggema diseluruh rumah sakit. Namun itu tak menggoyahkannya ia tetap berdiri di samping Galih.
Dari balik jendela kaca, mereka melihat seorang pria paruh baya yang kurus, berdiri di sudut ruangan, memeluk jaket seolah itu anaknya.
“Galih... Galih... Dimana anakku Galih... Galih putraku dimana kamu?”gumam sang ayah sambil memandang kosong ke dinding.
Galih masuk dan memeluk ayahnya erat. Tangisnya tak bisa dibendung.
Lauren hanya berdiri di luar ruangan, melihat semuanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat siapa Galih... bukan versi yang dikenal kampus, bukan pria tampan yang digilai wanita, bukan ‘sugar baby’ seperti gosip yang ia dengar dari kejauhan. Tapi seorang anak laki-laki... yang terluka, tapi tetap bertahan demi menghidupi ayahnya.
---