Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VII
Tengah malam sekali, Gia telah sampai di sebuah bangunan yang bertuliskan "Panti Asuhan Terkasih". Yah, entah bagaimana caranya Gia berada disini sekarang.
Gia tak mampu, mentalnya tak kuat, begitupun dengan keadaannya kini. Gia takut menyakiti, takut gagal menjadi orang tua yang baik, takut hilang kendali lagi. Gia takut..
Gia menatap kedua keranjang yang didalamnya terdapat anak-anaknya didalam. Gia sesak, sangat sesak. Tapi Gia tak tahu harus bagaimana lagi. Gia tidak memiliki pilihan.
Paling tidak Gia dapat kembali melihat anaknya, jikalau sesekali kemarin dengan beralasan ingin menyumbang. Jika Gia memberikan anak-anaknya itu pada sang mertua, jelas Gia tak akan pernah dapat menemui mereka. Bahkan dengan ketidaksengajaan manapun. Lingkup kalangan Gia dan kalangan keluarga suaminya itu berbeda, mereka berasa dijalur masing-masing, dan tak akan pernah bertemu. Apalagi jika memaksa untuk bertemu, Gia tidak akan pernah bisa melakukan hal itu. Tidak akan pernah bisa.
Gia tak mau hal itu terjadi. Gia ingin sesekali menatap anaknya, meski dari kejauhan. Gia mohon maafkan Gia yang egois. Maafkan.
Untuk Arantia Putri Utomo dan
Angkara Putra Utomo, anak-anaknya yang kini bersama sang mertua. Gia merasa sedikit lega mereka bersama keluarga suaminya, paling tidak mereka tidak mendapatkan perlakuan seperti saudara-saudarinya yang lain
Dan untuk, Ambara Putra Utomo dan
Arshila Putri Utomo. Maafkan bunda mu yah nak, Gia tak mampu namun Gia masih ingin egois. Hanya mereka yang Gia miliki, Gia ingin mereka tumbuh dengan baik tanpa kekurangan, tak seperti ketika bersamanya. Tapi Gia juga tak ingin dijauhkan dari kedua buah hatinya itu. Hanya merekalah alasan Gia hidup.
Gia akan berusaha untuk sembuh dari segala rasa sakitnya. Gia akan mencari uang lebih keras demi kedua buah hatinya. Gia janji.
Sebening air mata luruh dari pelupuk matanya, membuat Gia cepat cepat mengusap kasar air matanya.
Menaruh kedua buah hati didepan pintu panti asuhan dan langsung pergi meninggalkan tempat. Ditengah jalan menuju ke rumah, hujan deras mulai membasahi tubuh lemahnya, semakin menambah suasana mendung didalam hati Gia.
Benar-benar bodoh, miskin, dan tak tahu diri. Perkataan mertuanya benar, sangat benar. Gia bodoh, miskin, dan tak tahu diri. Malu sekali Gia sekarang. Bahkan untuk mendongakkan kepala, Gia tak mampu.
Gia terduduk ditempatnya, tak mampu berjalan. Terisak dalam kesendiriannya. Gia lelah, Gia ingin pulang. Tapi Gia tak bisa pulang.
Gia menenggelamkan kepalanya dikedua kakinya yang menekuk, menjambak rambutnya kasar. Frustasi terhadap hidup yang tak kunjung henti untuk berlaku jahat padanya.
Gia seorang diri, sebatang kara, dan tak memiliki apapun di dunia. Semuanya terenggut malam ini. Bahkan bekas jahitan yang seharusnya terasa sakit, kini tak terasa sama sekali oleh Gia, sangking sakitnya rasa sakit dibagian lainnya.
Gia jatuh, jatuh sejatuh-jatuhnya. Terperosok dalam lubang tak berujung. Ketakutan dalam kesendirian. Bingung harus meminta pertolongan kepada siapa. Gia tak memiliki pegangan dan panutan.
Tolong jangan salahkan Gia, Gia juga tak tahu harus bagaimana bertindak. Gia benar-benar tak tahu.
Dingin, dibawah hujan terasa dingin. Tubuh Gia menggigil. Namun tak ada seorangpun yang membantunya. Semuanya jahat.
" Tuhan!! " Teriak Gia ditengah malam yang teramat gelap itu.
" Mengapa kau sejahat ini pada ku?! Tolong sekali saja lihatlah ketidakberdayaan ku! Tolong sekali saja.. " Gia terisak dan tak berdaya.
Gia memukul-mukul kedua pahanya keras, meluapkan rasa kit yang tak berkesudahan.
Bermenit-menit, Gia berada dibawah guyuran air hujan. Merutuk pada semesta yang tak adil padanya. Meraung dan meminta dalam derasnya hujan. Tetapi tetap tak ada yang menolong. Tak ada.. Entah bagaimana bisa, jalanan terasa sangat sepi hingga satu pun tak ada yang lewat. Seolah-olah memberi waktu untuk Gia benar-benar sendiri.
Dingin, sangat dingin. Gia terdiam beberapa saat, setelah puas meracau tidak jelas.
Ini dingin, Gia saja tidak mampu. Bagaimana dengan kedua anaknya? Bagaimana jika orang-orang panti belum menyadari keberadaan anak-anaknya? Bukan kah mereka akan menangis kencang? Apalagi petir yang berkali-kali menyambar, tentu anak-anaknya akan merasa ketakutan. Lalu bagaimana jika Ambara kembali kehabisan napas, seperti waktu itu ketika terlalu banyak menangis?
Dada Gia berdenyut nyeri. Gia menekan dadanya kuat-kuat, berharap rasa sesaknya hilang.
Bagaimana Gia sejahat itu pada anak-anaknya? Bagaimana bisa? Menjadi sosok yang pernah merasa sakit dengan orang tua, mengapa tak membuat Gia menyadari perbuatannya kini juga menyakiti anak-anaknya? Mengapa Gia tak memikirkan mental anak-anaknya ketika mereka harus tumbuh disebuah panti asuhan, seolah mereka tak memiliki kedua orang tua?
Disini Gia masih bernapas. Bukankah seharusnya selagi napasnya masih berhembus, kedua anak-anaknya masih dapat berlindung dibaliknya punggungnya, dari kerasnya dunia. Iya, tak seharusnya mereka sebatang kara seperti itu. Gia masih hidup, masih berpijak, seharusnya Gia masih berada di samping mereka.
Dengan tergugu Gia, beranjak dari tempatnya. Dia baru saja salah mengambil langkah, tak seharusnya dia juga membawa anak-anaknya kedalam langkah yang salah itu. Tidak seharusnya.
Kaki bergetar berusaha menyeimbangkan diri, Gia berusaha menerobos dari derasnya hujan dan petir yang menyambar. Kaki-kaki yang sempat rapuh itu mencoba melangkah. Berlari sekuat tenaga untuk kembali, menghampiri alasannya untuk tetap bertahan dan melangkah maju.
Suara napas tersendat dan tangisan yang tersamarkan oleh air hujan, membuatnya tak mampu berkata-kata. Sesaknya masih terasa, bahkan kini rasa perih dari bekas jahitannya mulai terasa. Kini Gia tersadar, bahwa hartanya adalah buah hatinya. Jika sedikit saja Gia dijauhkan dari kedua buah hatinya, jiwanya akan jatuh, luruh dan tak berdaya.
Sosok wanita yang selalu menangis dan rapuh itu, kini mencoba untuk bangkit. Langkahnya berat, tapi ia mampu. Gia yakin itu.
Gia mengumpat dalam hati, kala bangunan bertulisan 'Panti Asuhan' itu tak kunjung jua terlihat. Rasanya sangat jauh, tak seperti tadi ketika waktu terasa berjalan begitu cepat mengantarnya untuk meninggalkan buah hatinya di panti asuhan itu.
Kala semesta telah berpihak padanya, bangunan itu tertangkap oleh netranya, Gia mulai menghampiri bangunan itu. Dapat Gia lihat, pintu terbuka lebar, cahaya terang menguar dari dalam. Gia lega. Anak-anaknya tak merasa kedinginan diluar, anak-anaknya berada dikehangatan. Tak apa, jika dia kedinginan, tapi jangan anaknya. Gia mohon..
Rasa yang membuncah dari lubuk hati menghiasi langkahnya memasuki bangunan itu.
" Permisi.. " Ucapnya melirih.
Dapat ia lihat, terdapat dua orang dewasa dan beberapa anak berkumpul disana. Ambara dan Arshila bahkan berada di gendongan kedua wanita dewasa itu.
" Anak ku.. " Lirih Gia, meneteskan air mata merasa terharu masih dapat menatap kedua anaknya, meski Gia telah melakukan banyak hal jahat pada kedua anaknya.
" Siapa anda? " Tanya salah satu orang terkejut mendapati keberadaan Gia.
" Saya, ibu dari kedua bayi itu. Maafkan atas tindak kecerobohan saya, tolong kembalikan bayi-bayi saya. " Gia hendak mengganti bayi dalam gendongan wanita yang menyahut tadi.
Namun belum juga dapat menyentuh, wanita itu sudah menjauhkan bayi yang berada di gendongannya dari jangkauan Gia. " Jangan mendekat. "
Sontak saja, Gia merasa tak berdaya. Air matanya semakin deras berjatuhan. " Dia bayi saya.. "
" Apa buktinya? Bagaimana jika anda orang jahat? " Serobotnya waspada.
Dunia Gia luruh.
" Dia benar-benar bayi saya. Saya berani bersumpah bayi-bayi itu adalah bayi saya. " Gia terus menerus mengatakan kalimat itu, tak berdaya.
Salah satu wanita yang sedari tadi diam saja meminta anak-anak yang lain untuk pergi ke kamar mereka. " Anak-anak masuk ke kamar kalian. "
Seolah tersadar akan tindakan impulsifnya, wanita yang sempat menjauhkan bayi Gia dari jangkauan Gia itu mulai melunakkan pandangannya.
Wanita dewasa yang telah meminta anak-anak panti untuk masuk dan memastikan mereka telah menuruti perintahnya, mulai menghampiri Gia. Mengusap bahu Gia lembut dengan salah satu tangan yang masih menggendong Arshila. " Silahkan duduk terlebih dahulu. "
Usapan lembut itu membuat Gia terenyuh dan sedikit merasa hangat.
" Baju saya basah sem- " Belum juga kalimatnya selesai di ucapkan, wanita itu menyela dengan senyuman.
" Tak apa, nanti juga garing sendiri. Sekarang silahkan duduk terlebih dahulu. "
Mau tak mau Gia menuruti perintah wanita itu dan mulai duduk berhadapan dengan wanita-wanita yang tengah menggendong bayi-bayinya itu.
" Sebelum itu, masuk ke masalah inti, mari kita berkenalan terlebih dahulu. Saya Bu Inggih selaku penjaga pintu asuhan ini. Dan partner disebalah saya adalah Bu Wina, yang merupakan satu penjaga panti asuhan ini. Kalau boleh tahu, mbaknya sendiri namanya siapa? " Buka wanita yang tengah menggendong Arshila itu, atau jika tidak salah dengar bernama Bu Inggih.
" Saya Gia Answara. " Sahut Gia cepat.
" Sebelum kami memutuskan jika anda benar-benar orang tua dari bayi-bayi ini. Anda harus memberikan kami bukti- " Ucap Bu Wina yang harus terhenti ketika tangan Bu Inggih mengusap lengan Bu Wina dan menyahuti.
" Mbak Gia, bisa tolong ceritakan bagaimana bisa anda membawa bayi-bayi ini kemarin, dan apa alasan mbak melakukan hal tersebut. " Pinta Bu Inggih dengan senyuman.
Gia mengangguk, mulai menceritakan kisahnya dari awal hingga akhir tentang mengapa dia memilih bertindak impulsif seperti ini. Bu Inggih dengan setia mendengarkan dengan senyuman tulus diwajahnya. Sedangkan Bu Wina hanya diam mendengarkan.
Setelah usai Gia menceritakan kisahnya, Bu Inggih mulai menyahut. " Jika bayi-bayi mungil ini telah kami kembalikan ke mbak Gia. Tolong jangan tinggalkan mereka lagi yah mbak. Jika dunia terasa berat, istirahat lah sebentar, lalu kembali lah kemudian, demi bayi-bayi mbak. " Ucap Bu Inggih dengan lembut sembari mengusap pipi Arshila penuh sayang.
Bu Wina sontak saja menatap Bu Inggih tidak terima. " Mbak, bagaimana bisa mbak langsung mempercayai pernyataannya itu? Bagaimana jika dia berbohong? "
Bu Inggih tersenyum penuh kehangatan. " Karena dari tatapannya sudah menjelaskan bahwa mbak Gia adalah ibu bayi-bayi ini. Bahkan lihat, bayi ini yang tadinya menangis tiada henti, ketika mbak Gia datang, tangisnya langsung terhenti dan kembali tertidur dalam lelapnya. "
Bu Wina diam, tak menyahut.
Netra Bu Inggih kembali menatap Gia, " Setelah ini, jika mbak Gia bekerja atau ada kesibukan, mbak bisa sering-sering mampir kesini yah. Anak-anak panti pasti seneng, jika bayi-bayi ini kesini. " Ucapnya penuh kehangatan.
Tanpa dapat dicegah buliran air mata mulai turun membasahi, ketika kehangatan mulai datang menyergap.