Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya di Ujung Lorong Gelap
Sebulan sudah berlalu sejak hari wisuda Wina atau hari kekasihnya itu memutuskan hubungan di antara keduanya. Dion berusaha tegar menjalani hari-hari yang berat. Selain menelan pahitnya kekecewaan, ia juga dihantui kecemasan akan masa depannya.
Musim ujian sudah di depan mata. Meskipun berusaha tetap semangat, ia sadar kemungkinan besar harus merelakan pendidikannya kandas di tengah jalan.
Sore itu, seperti biasa di awal bulan, Dion mengunjungi Oppung untuk mengantarkan madu hutan. Kali ini, mereka berbincang di teras belakang rumah, menikmati semilir angin sore yang menenangkan.
“Si Sari bikin kolak tadi pagi. Dion mau coba?” tawar Oppung.
Dion menerima mangkuk kolak dari Oppung. Meski tak lapar, ia tetap menyendok kuah manisnya yang harum beraroma pandan. Dion menikmati rasa sederhana yang menghangatkan hati.
“Bagaimana kuliahmu?” Oppung yang kembali duduk di sampingnya membuka obrolan.
“Baik-baik saja, Oppung. Minggu depan ujian. Tapi kalau dalam dua bulan belum juga dapat pekerjaan, sepertinya harus berhenti di semester ini,” jawab Dion, mencurahkan kekhawatirannya.
“Ah, sayang sekali. Terbuang sia-sia uang dan waktumu setahun ini.”
“Aku berencana mengajukan cuti dulu, Oppung. Mudah-mudahan bisa. Kalau tidak, ya harus diterima dengan lapang dada. Bukankah itu yang selalu Oppung nasihatkan?”
“Kau ini masih bisa bercanda,” sahut wanita tua itu.
“Molo ndang tartangishon, ni ekkel hon ma, Oppung. Unang gabe panolsolion tu joloan ari,” ujar Dion dalam bahasa Tapanuli.
(“Kalau tak bisa ditangisi, ya ditertawai saja, Oppung. Supaya tak jadi penyesalan yang terbawa-bawa ke masa depan.”)
Oppung mengangguk pelan, seakan mengamini ujaran itu.
“Betul juga katamu. Berapa rupanya biaya kuliahmu?”
Dion terdiam berpikir sambil menyendok sisa kolak dalam mangkuknya. Ia tahu arah pertanyaan itu, Oppung sedang menawarkan bantuan finansial.
“Ah, Oppung terlalu baik. Kemarin dulu Oppung sudah keluar banyak biaya untuk perobatanku. Dion masih bisa bertahan, kok,” sahutnya, berusaha menepis kekhawatiran Oppung.
Wanita tua itu hanya menatapnya dengan sorot mata sendu.
“Aku masih punya waktu dua bulan untuk mencari pekerjaan. Kalau pun belum dapat, pasti akan ada kesempatan lain untuk melanjutkan kuliah,” lanjut Dion, mencoba meyakinkan Oppung dan dirinya sendiri.
“Tapi kalau tidak bekerja, bagaimana dengan biaya hidupmu?”
“Aku masih punya sedikit tabungan. Kalau berhemat, cukup untuk setahun ini.”
Oppung kembali menatapnya dalam-dalam, lalu bertanya dengan nada lebih lembut, “Kalau setahun berlalu dan kau tetap tak mendapat pekerjaan?”
Dion tertawa kecil, coba mencairkan suasana. “Ya, pulang kampung lah. Jadi buruh tani dulu. Nabung. Kalau sudah cukup, baru kuliah lagi.”
Oppung kembali tersenyum kecil. “Yah, harus begitu. Tidak boleh menyerah.”
“Aku masih muda. Masih banyak waktu,” ujar Dion, seolah meminta Oppung berhenti mengkhawatirkannya.
Aku sudah menunggumu dua minggu ini, tapi kau tak kunjung datang,” Oppung mengalihkan pembicaraan dari perkuliahan.
“Bukannya lupa pesan Oppung bulan lalu, hanya saja aku tak mau Oppung ikut terbebani dengan urusan hubunganku dan Wina. Biarlah itu jadi masalah kami yang muda-muda,” sahut Dion.
Oppung menghela napas pelan dan menatap penuh rasa iba. “Apalah yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan hubungan kalian, Amang?”
Dion mengalihkan pandangan, mencoba merangkai jawaban agar Oppung berhenti mencemaskan dirinya.
“Janganlah, Oppung. Kalau aku yang selamat, nanti Wina yang tersiksa.”
“Mengapa Wina tersiksa?” tanya Oppung sambil mengerutkan kening.
“Kami tidak bertengkar. Wina hanya memilih jalan yang menurutnya lebih baik. Dia telah menetapkan hatinya pada pemuda lain yang pasti lebih disukainya. Jika aku memaksakan sesuatu, nanti Wina justru sedih karena kehilangan pilihannya,” jelas Dion, berusaha terdengar tegar meski ada kepedihan yang terselip.
Oppung terdiam, sorot matanya lembut namun penuh pertimbangan. Ia mengenal cucunya, dan ia juga mengenal Dion.
“Tapi bagaimana jika Wina tak benar-benar menyukainya?” suara Oppung terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Bagaimana kalau ia memilih pemuda itu hanya demi menyenangkan mamanya?”
Dion tertegun. Kemungkinan itu memang ada. “Kita tak akan pernah tahu, Oppung,” jawabnya lirih.
Oppung menatapnya dengan penuh keyakinan sebelum berkata, “Aku ingin kau menemuinya di Jakarta.”
“Benar. Salah satu cara untuk mengetahui kebenarannya adalah dengan menemui Wina secara langsung. Tapi…” Ia menggantungkan kalimatnya, pikirannya berkecamuk.
“Biarlah Dion pikirkan lebih dahulu. Lagipula, aku harus mencari waktu yang tepat,” lanjut Dion.
“Kau ragu?” Oppung seakan bisa membaca pikiran Dion.
“Aku hanya tak ingin mengganggu kebahagiaan Wina,” jelas Dion dengan senyum pahit.
Jawaban itu membuat Oppung kembali terdiam. Ia tahu, pemuda di hadapannya sedang menahan luka yang tak mudah disembuhkan.
Hari hampir gelap ketika Dion berpamitan.
Dalam perjalanan pulang, ia menimbang saran Oppung—saran yang sama seperti yang pernah dikatakan Andi, sahabat lamanya.
“Janjiku padanya adalah untuk tidak menghubungi. Aku tak pernah berjanji untuk tidak menemuinya, bukan?” pikir Dion.
Harapan samar menyelinap ke benaknya.
...***...
Seminggu berikutnya, kabar baik akhirnya menghampiri Dion.
Malam itu, Sugiharto datang menemuinya dengan wajah penuh semangat. Ia menawarkan tak hanya satu, melainkan dua pekerjaan sekaligus.
“Dion tinggal pilih. Keduanya perusahaan pers baru. Yang pertama, bersamaku, tapi di posisi yang sama seperti pekerjaan sebelumnya,” papar Sugiharto, membuat wajah Dion berseri-seri. Ia sangat mendambakan kabar baik semacam ini.
“Pilihan kedua juga sama. Perusahaan baru juga, tapi di sana kau akan mengisi posisi Kepala Produksi. Dion harus membentuk tim sendiri karena tak ada aku ataupun teman-teman lama,” lanjutnya.
Sugiharto menjelaskan bahwa mantan rekan-rekan mereka kini terbagi dua. Mayoritas memilih bergabung dengan perusahaan pertama, yang juga menjadi pilihannya. Sementara para jurnalis muda lebih tertarik ke perusahaan kedua karena peluang karier yang lebih menjanjikan.
“Aku sarankan kau pilih yang kedua. Ini kesempatan emas untuk kariermu,” imbuhnya penuh keyakinan.
Dion terdiam sejenak, mencerna saran tersebut.
“Tapi Bang, kalau begitu kita berpisah? Rasanya kurang setia kawan,” katanya dengan ragu membuat Sugiharto tertawa kecil.
“Dion, memilih jalan yang terbaik untuk dirimu sendiri bukan berarti mengkhianati siapa pun. Kita tetap berkawan. Kau tahu sendiri, dunia pers selalu bergerak, perusahaan datang dan pergi. Siapa tahu suatu saat nanti kita kembali bekerja di tim yang sama.”
Ia menepuk bahu Dion, menatapnya penuh dorongan. “Jangan ragu! Aku percaya kemampuanmu. Lagipula, perusahaan kedua itu lebih kuat dari segi finansial karena didukung investor besar. Sejujurnya, aku pun lebih tertarik ke sana. Tapi, setelah belasan tahun bersama kawan-kawan lama, rasanya berat menolak ajakan mereka.”
Dion masih bimbang. “Tapi Bang, bukankah untuk posisi Kepala Produksi harus lulusan S1?” tanyanya.
“Minimal D3. Aku sudah mendiskusikannya dengan Amri, karena dialah Pemimpin Redaksi di perusahaan kedua itu,” jawab Sugiharto.
Dion mengenal Amri. Pria berusia 30-an itu dulunya menjabat Redaktur Eksekutif di kantor lama mereka. Kariernya meroket berkat pengalamannya sebagai koresponden surat kabar Inggris, reporter salah satu kantor berita Amerika Serikat, hingga jurnalis surat kabar terkemuka di ibu kota.
Amri adalah penerima banyak penghargaan jurnalistik berskala regional, bahkan beberapa berskala internasional.
“Secara spesifik Amri menginginkanmu untuk posisi Kepala Produksi. Ayolah, kesempatan seperti ini tak selalu datang dua kali!” Sugiharto kembali berusaha meyakinkan Dion.
Dion mengangguk mantap. “Baiklah, Bang. Aku mau.”
Sugiharto tersenyum puas. Ia segera menyerahkan alamat kantor perusahaan tersebut dan menyuruh Dion menemui Amri secepatnya.
Hati Dion dipenuhi kegembiraan. Ia merasa melihat secercah harapan di ujung perjalanan yang beberapa bulan ini sangat gelap. Setidaknya kini ia tahu ke mana harus melangkah.
...***...
Keesokan harinya, Dion menemui Amri usai kuliah. Kedatangannya disambut hangat, bukan hanya oleh Amri, tetapi juga beberapa wartawan yang sudah dikenalnya, termasuk Felix, jurnalis kriminal yang pernah membantunya beberapa waktu lalu.
“Investor awalnya bersikeras bahwa posisi manajerial harus diisi oleh lulusan S1,” Amri menanggapi kekhawatiran Dion tentang syarat pendidikan untuk jabatan yang akan ia tempati.
“Tapi aku berargumen, sulit mencari lulusan S1 di bidang komputer yang mau bekerja di perusahaan pers baru. Mereka pasti lebih memilih perusahaan mapan dengan gaji sepuluh kali lipat lebih besar.”
“Akhirnya mereka setuju menurunkan syaratnya menjadi D3.”
“Tapi, Bang, aku kan belum tamat. Aku masih punya tiga semester lagi,” timpal Dion ragu.
“Ambil semester pendek. Kebut! Tapi janji, dalam setahun harus selesai. Bisa?” Amri menatap Dion tajam, seolah menantangnya.
Dion merenung sejenak sebelum menjawab, “Aku yakin bisa. Tapi, soal semester pendek itu..,”
“Kenapa? Begini saja, biayanya kita bagi dua. Aku tanggung setengah, Dion tanggung setengah lagi. Bagaimana?” cetus Amri lagi. Dion tentu saja tak bisa menolak tawaran Amri.
“Kenapa ada waktu setahun, Bang? Apa pengangkatan karyawan hanya bisa dilakukan setelah setahun bekerja?” tanya Dion.
“Tiga bulan untuk karyawan biasa, 6 bulan untuk level supervisor dan manajer,” jelas Amri.
“Begini, enam bulan pertama kau berstatus trainee sebagai calon manajer Pproduksi. Selama itu, kau akan ikut pelatihan khusus untuk level manajerial. Setelah itu, aku ajukan statusmu menjadi pending.”
“Pending?” Dion mengulang kata itu dengan bingung.
“Iya. Dalam masa itu, kau menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Produksi. Nah, setelah D3-mu selesai dan semua syarat administrasi terpenuhi, statusmu resmi menjadi Manajer Produksi definitif,” jelas Amri.
“Kedengarannya seperti taktik seorang politisi,” celetuk Dion sambil tersenyum.
“Jangan dianggap seperti itu. Anggap saja sebagai kebijaksanaan. Makanya Dion harus serius bekerja dan menyelesaikan kuliah. Kalau tidak aku yang akan malu,” jelas Amri sambil mewanti-wanti.
“Dion janji serius, Bang!” seru Dion tersenyum menyambut salaman tangan Amri pertanda kesepakatan di antara mereka.
“Besok sore, kita sudah mulai rapat. Terutama dengan Dion karena kita akan membahas perekrutan karyawan unit produksi. Dalam sebulan sudah harus terpenuhi.”
“Di bulan kedua, Juli, kita mengadakan simulasi selama sebulan penuh. Agustus kita launching. Jadi masih ada waktu dua bulan. Jangan takut, mulai besok gajimu sudah mulai dihitung, kok,” jelas Amri membuat Dion tersenyum semringah.
Sore itu Dion kembali ke rumahnya dengan riang. Beban seolah terangkat dari punggungnya. Kepercayaan diri yang sempat runtuh mulai terbangun secara perlahan.