Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Mata Air
Kota Mata Air ternyata lebih luas dari yang terlihat dari bukit. Suara gemericik air yang awalnya menenangkan, setelah berjam-jam berjalan, mulai terasa seperti desisan latar belakang yang konstan. Mereka bertiga, Su Yue, Lanxi, dan Xuqin, berkeliling menyusuri jalan-jalan batu yang lembap, mata mereka awas mencari penginapan. Wajah mereka mulai menunjukkan kelelahan.
"Penginapan 'Pelangi Terjun'? Wah, kayaknya mahal," keluh Lanxi, menatap papan nama penginapan dua lantai yang tampak bersih dan dicat cerah.
Xuqin menarik lengan Lanxi. "Lihat yang itu. 'Pondok Beringin'. Lebih sederhana. Mari kita tanya."
Mereka mendekati sebuah bangunan kayu tua namun terawat baik, dibayangi oleh pohon beringin besar yang akarnya menjalar di tembok samping. Sebuah papan kayu sederhana bertuliskan nama itu tergantung di pintu.
Xuqin, sebagai yang paling tegas, memimpin. Di dalam, ruang resepsionis kecil disinari matahari dari jendela kisi-kisi. Seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi sedang menghitung sesuatu di atas meja.
"Permisi, Bibi," sapa Xuqin dengan sopan. "Apakah ada kamar kosong? Kami bertiga."
Wanita itu, yang memperkenalkan diri sebagai Nyonya Wei, mengangkat mata. Dia memandangi mereka satu per satu, dari Xuqin yang rapi, Lanxi yang lincah, hingga Su Yue yang compang-camping dan pucat. Matanya yang sipit menyempit sedikit saat melihat kondisi Su Yue, tetapi tidak dengan celaan, lebih dengan pengamatan.
"Kalian calon murid Sekte Qingyun?" tanya Nyonya Wei, suaranya serak namun ramah.
"Benar, Bibi," jawab Lanxi cepat, dengan senyum manisnya.
Nyonya Wei manggut-manggut. "Biasanya begitu. Musim penerimaan murid baru. Aku punya satu kamar di belakang, ada tiga tempat tidur papan sederhana. Kamar mandi umum di ujung koridor. Lima koin emas semalam, sudah termasuk sarapan sederhana."
Xuqin mengerutkan kening, menghitung cepat isi kantongnya. Dia dan Lanxi saling pandang. "Bibi, apakah bisa kurang? Kami dari desa, perjalanan jauh..."
Nyonya Wei menghela napas. "Nona, lihat kondisi pondokku. Bersih, aman, jauh dari keramaian pasar. Lima koin itu sudah murah. Lihat penginapan lain, paling tidak delapan." Matanya kembali ke Su Yue. "Gadis itu... kelihatan lelah. Aku bisa kasih selimut ekstra. Tapi harga tetap."
Su Yue merasa darahnya mengalir dingin. Lima koin emas. Dia tidak memiliki satu koin pun. Rasa malu dan tidak berdaya mulai menyergap. Tangannya mengepal di samping tubuh, menyentuh kain robek di pinggir jubahnya.
Xuqin melihat ekspresi Su Yue. Dia menarik napas. "Baik, Bibi. Kami ambil kamarnya."
"Xuqin, aku..." Su Yue ingin bicara, suaranya hampir tak terdengar.
"Sudah," potong Xuqin lembut sambil mengeluarkan koin dari kantong dalam jubahnya. "Kita teman seperjalanan. Urusan biaya nanti kita bicarakan di kamar."
Lanxi langsung menangkap maksudnya. "Iya, Su Yue! Jangan khawatir! Aku bawa banyak pakaian, nanti aku pinjamkan yang nyaman untukmu. Lihat bajumu sudah seperti jaring ikan!"
Su Yue ingin menolak, ingin bersikeras bahwa dia tidak bisa menerima begitu saja. Tapi kenyataan berkata lain. Dia tidak punya apa-apa. Dia mengangguk pelan, rasa haru yang pahit menyumbat kerongkongannya.
"Terima kasih," bisiknya.
Mereka dibawa ke kamar di belakang. Kamarnya sederhana namun bersih, dengan tiga tempat tidur papan beralas jerami dan kasok tipis. Ada sebuah jendela kecil yang menghadap ke halaman dalam dengan sumur. Sinar matahari masuk, menerangi partikel debu yang menari.
Begitu pintu tertutup, Su Yue langsung berbicara, matanya menatap lantai kayu. "Aku... aku tidak punya uang. Aku tidak bisa membayar bagianku. Kalian seharusnya tidak perlu..."
"Su Yue," panggil Xuqin, suaranya tegas namun tidak keras. "Kita sudah sepakat berjalan bersama. Jika salah satu terjatuh, yang lain membantu. Karena itu yang benar. Sekarang, kau dalam kesulitan. Apa kami harus meninggalkanmu?"
"Tentu tidak!" protes Lanxi, duduk di tepi tempat tidur. "Su Yue, jangan berpikir seperti itu. Uang bisa dicari nanti. Yang penting kita aman dan punya tempat istirahat dulu. Lagipula," dia menurunkan suaranya, berbisik, "Xuqin sebenarnya agak pelit, tapi dia pasti sudah memperhitungkan semuanya. Percayalah padanya."
Xuqin mendengus, tapi tidak menyangkal. "Dia benar. Aku membawa cukup tabungan dari rumah. Untuk sementara, aku yang menanggung. Kau bisa menggantinya nanti, setelah kau diterima di sekte atau setelah mendapat pekerjaan. Tidak perlu malu. Setiap orang pernah di titik terendah."
Kata-kata itu, meski pragmatis, terasa tulus. Su Yue mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan Xuqin yang tenang dan Lanxi yang bersemangat. Dia melihat tidak ada kepalsuan, tidak ada pamrih tersembunyi. Hanya solidaritas sederhana dari sesama anak desa yang berusaha bertahan di dunia yang lebih besar.
"Baik," Su Yue akhirnya mengalah, suaranya serak. "Aku akan berusaha membayar kalian kembali. Aku janji."
"Bagus!" seru Lanxi. "Sekarang, hal pertama! Mandi! Aku bisa mencium aroma hutan dan keringat kita dari sini!" Dia mengendus-endus dengan lucu.
Mereka pun bergantian menggunakan kamar mandi umum. Airnya dingin, berasal dari sumur, tapi setelah berhari-hari di jalan, itu adalah kemewahan. Su Yue mandi terakhir. Saat dia kembali ke kamar, sudah mengenakan pakaian sederhana berwarna biru muda yang dipinjamkan Lanxi. Pakaian itu agak longgar di tubuhnya yang kurus, tapi bersih dan wangi. Rambut hitamnya yang panjang basah terurai di punggungnya.
"Wah, cocok sekali!" puji Lanxi, yang sedang menyisir rambutnya. "Kau cantik, Su Yue. Hanya saja terlalu pucat."
Xuqin, yang sedang merapikan tasnya, mengamati. "Kau terlihat lebih baik. Istirahatlah sebentar. Nanti malam kita cari makan."
Mereka berbaring di tempat tidur masing-masing. Keheningan yang nyaman menyelimuti kamar. Su Yue memandang langit-langit kayu, mendengar napas tenang Lanxi dan Xuqin. Untuk pertama kalinya sejak desanya, dia berbaring di tempat tidur, di bawah atap, dengan perut yang tidak terlalu lapar dan tubuh yang bersih. Rasanya hampir seperti... normal. Sebuah normalitas yang rapuh, tetapi nyata.
"Xuqin," bisik Lanxi tiba-tiba di keheningan. "Apa kau takut besok? Ujiannya?"
"Takut adalah hal yang wajar," jawab Xuqin, masih dengan mata tertutup. "Tapi lebih takut jika kita tidak mencoba. Kita sudah sampai sejauh ini."
"Su Yue, kau takut tidak?" tanya Lanxi.
Su Yue memikirkan pertanyaan itu. Takut? Dia telah menghadapi kematian, kehilangan, dan kebangkitan yang menyakitkan. Ujian masuk sekte terasa seperti masalah yang lebih kecil. "Aku... lebih cemas," jawabnya jujur. "Aku tidak tahu apa yang akan diuji."
"Sama," keluh Lanxi. "Ayah bilang biasanya menguji bakat spiritual, keteguhan hati, dan mungkin dasar-dasar seni bela diri. Aku lumayan bisa main pentungan!"
Xuqin membuka satu matanya. "Jangan terlalu percaya diri. Dunia kultivasi berbeda dengan berkelahi di desa."
Mereka terus mengobrol dengan suara rendah, berbagi spekulasi dan harapan. Su Yue lebih banyak mendengarkan, tetapi kadang menyelipkan pertanyaan. Percakapan itu dangkal, tentang makanan, tentang cuaca, tentang impian sederhana mendapat jubah resmi sekte. Tapi bagi Su Yue, setiap kata, setiap tawa kecil Lanxi, setiap nasihat bijak Xuqin, adalah jangkar yang menariknya perlahan dari isolasi dirinya.
Malam harinya, mereka keluar mencari makan. Mereka menemukan sebuah warung sederhana di tepi kanal yang menjual mi kuah dengan sayuran dan potongan daging. Harganya murah. Mereka duduk di bangku panjang, menikmati makanan panas sambil menonton perahu-perahu kecil melintas dengan lentera.
"Ini enak sekali setelah makan kelinci panggang terus," komentar Lanxi, menyeruput mi-nya dengan lahap.
"Kau selalu lapar," goda Xuqin ringan.
Su Yue makan pelan-pelan, menikmati setiap suap. Kehangatan kuahnya menyebar di perutnya. Dia melihat kedua teman barunya, wajah mereka diterangi cahaya lentera dari warung dan pantulan air. Sebuah keinginan aneh muncul: semoga momen sederhana ini bisa bertahan lebih lama.
Kembali ke pondok, mereka langsung tertidur lelap, kelelahan oleh perjalanan dan kelegaan telah tiba.
Pagi harinya, sinar matahari menyelinap melalui jendela. Mereka sarapan bubur dan acar yang disediakan Nyonya Wei, lalu mulai misi mereka: mencari informasi tentang ujian penerimaan murid Sekte Qingyun.
"Mari kita tanya pada orang-orang di pasar," usul Xuqin. "Atau mungkin ada papan pengumuman resmi."
Mereka pun menyusuri jalan lagi, kali ini dengan tujuan yang jelas. Kota yang damai mulai menunjukkan sisi sibuknya. Su Yue berjalan di antara mereka, hati berdebar-debar campur antisipasi.