Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 > Makan Malam Yang Menentukan Segalanya
Langit malam di atas kediaman Varendra tampak terlalu tenang untuk sebuah keputusan besar yang akan diambil. Lampu-lampu kristal di ruang makan utama menyala terang, memantulkan kilau di meja panjang berlapis marmer putih. Hidangan mewah tersusun rapi. Namun tak satu pun dari keindahan itu mampu mengusir ketegangan yang menggantung di udara.
Serene Avila berdiri di depan cermin kamarnya. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua. Tidak terlalu mencolok, tidak pula terlalu polos. Rambutnya ia ikat setengah, membiarkan sebagian terurai lembut di bahunya. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, namun matanya menyimpan keteguhan yang bahkan ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya.
Di perutnya, dua kehidupan kecil seakan ikut menahan napas. “Apapun yang terjadi malam ini,” bisiknya pelan, “ibu akan tetap berdiri.”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu terdengar... Raiden. Mendengar itu, Serene membuka pintu perlahan. Pria itu berdiri di sana dengan setelan jas hitam sempurna. Wajahnya dingin, namun sorot matanya bergejolak. Sesuatu yang hanya Serene yang bisa melihatnya.
“Kau siap?” tanya Raiden.
Serene mengangguk. “Aku tidak punya pilihan, bukan?”
Raiden tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya. Bukan untuk menggenggam, melainkan memberi isyarat. Serene ragu sejenak sebelum melangkah di sampingnya.
***
Ruang makan sudah dipenuhi orang ketika mereka masuk. Nyonya Elviera Varendra duduk di ujung meja dengan sikap anggun dan tatapan tajam. Di sisi berseberangan, sepasang suami istri paruh baya duduk tersenyum sopan. Di antara mereka, seorang wanita muda bergaun merah anggur duduk tegak, wajahnya cantik dengan riasan sempurna. Dialah calon istri itu.
“Raiden,” sapa Elviera dingin. “Akhirnya kau datang.”
Pandangan wanita itu beralih ke Serene, senyum tipis menghiasi bibirnya. Senyum yang sama sekali tidak hangat. “Dan ini…” lanjut Elviera, “… gadis itu.”
Serene merasakan semua mata tertuju padanya. Raiden menarik sebuah kursi untuk Serene. Sebuah tindakan kecil, namun cukup membuat suasana berubah. Wanita bergaun merah anggur itu mengangkat alis tipis.
“Silakan duduk,” kata Elviera. “Kita mulai.”
Makan malam berlangsung dengan percakapan formal. Tentang bisnis. Tentang saham. Tentang kerja sama antar keluarga. Serene duduk diam, sesekali menunduk, merasa seperti penonton dalam drama yang menentukan nasibnya sendiri.
“Aku dengar Nona Serene masih mahasiswa,” ujar wanita bergaun merah anggur itu tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh selidik.
“Ya,” jawab Serene singkat.
“Hebat sekali,” lanjut wanita itu. “Bisa masuk ke lingkungan seperti ini dalam usia muda.”
Serene tahu itu bukan pujian. Raiden melirik wanita itu tajam. “Aurelia, bukan?”
Wanita itu tersenyum manis. “Benar. Aurelia Adrian.”
Nama itu menggema di kepala Serene. Aurelia? Calon istri resmi.
“Aku harap Nona Serene merasa nyaman,” lanjut Aurelia. “Tidak semua orang bisa menyesuaikan diri dengan dunia kami.”
Serene mengangkat wajahnya, menatap Aurelia langsung. “Aku juga berharap begitu.”
Jawaban itu membuat senyum Aurelia mengeras sepersekian detik. Elviera meletakkan sendoknya. “Baik. Kita tidak perlu bertele-tele.”
Semua percakapan terhenti.
“Raiden,” lanjut Elviera. “Keluarga Adrian telah menunjukkan itikad baik. Pernikahan ini akan menguntungkan semua pihak.”
Serene mengepalkan jemarinya di bawah meja.
“Aku belum menyetujui apa pun,” jawab Raiden tenang.
Elviera tersenyum tipis. “Tentu. Karena itu kami menunggu jawabanmu malam ini.”
Serene menoleh ke Raiden. Inilah saatnya. Raiden menghela napas pelan. “Sebelum itu, ada satu hal yang perlu semua orang ketahui.”
Jantung Serene berdetak kencang. Raiden berdiri. “Aku tidak akan menikah demi kepentingan bisnis semata,” katanya tegas. “Dan aku tidak akan meninggalkan tanggung jawabku.”
Elviera menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”
Raiden menoleh ke Serene. Tatapan itu membuat dadanya bergetar hebat. “Serene mengandung anak-anakku.”
Keheningan memekakkan telinga. Sendok jatuh. Nafas tertahan. Tatapan terkejut memenuhi ruangan. Aurelia membeku, lalu tertawa kecil tidak percaya. “Itu lelucon?”
“Tidak,” jawab Raiden dingin.
Elviera berdiri perlahan. “Kau memalukan keluarga ini.”
“Anak-anak itu darah Varendra,” balas Raiden. “Dan aku tidak akan menyangkal mereka.”
Serene berdiri, suaranya bergetar namun jelas. “Aku tidak datang untuk merebut apa pun. Aku hanya ingin anak-anakku lahir dengan martabat.”
Aurelia akhirnya berdiri juga. Wajahnya tak lagi tersenyum. “Jadi begitu,” katanya pelan. “Kau ingin menjadi istri Raiden?”
Serene menatapnya lurus. “Aku ingin Raiden memilih. Itu saja.”
Semua mata kembali tertuju pada Raiden. Keputusan itu kini benar-benar nyata. Raiden menatap Serene... wajahnya penuh konflik. Lalu ia menoleh ke Aurelia, ke neneknya. Ke seluruh dunia yang membesarkannya.
“Aku—”
Tiba-tiba, ponsel Raiden bergetar keras. Ia menatap layar. Wajahnya berubah. “Permisi,” katanya singkat, lalu melangkah menjauh.
Serene menatap punggung Raiden dengan jantung nyaris meloncat keluar. Beberapa detik kemudian, Raiden kembali. Wajahnya dingin, namun matanya… terguncang. “Ada apa?” tanya Elviera curiga.
Raiden menatap Serene. Tatapan itu membuat Serene merasa tidak enak. “Ada masalah di perusahaan,” kata Raiden akhirnya. “Masalah besar.”
“Apa hubungannya dengan ini?” tanya Elviera tajam.
“Semua,” jawab Raiden singkat. “Jika aku mengambil keputusan malam ini… Varendra Corp bisa runtuh.”
Serene merasa lututnya melemah. Aurelia tersenyum kecil, penuh kemenangan. “Sepertinya dunia memaksamu memilih dengan bijak, Raiden.”
Raiden mengepalkan tangan. Ia menatap Serene sekali lagi. Tatapan itu penuh permintaan maaf… dan sesuatu yang lebih dalam. “Aku butuh waktu,” katanya akhirnya. “Makan malam ini selesai.”
“Aku tidak memberi waktu,” bentak Elviera.
Raiden menoleh dingin. “Aku pemegang kendali. Aku yang memutuskan.”
Ia berjalan menuju Serene, lalu berkata pelan, hanya untuknya: “Jangan pergi. Tunggu aku.”
Serene mengangguk, meski hatinya kacau. Raiden pergi meninggalkan ruang makan. Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Aurelia menoleh pada Serene, tersenyum tipis.
“Hati-hati, Nona Serene. Pria seperti Raiden… tidak pernah memilih yang lemah.”
Kata-kata itu menancap dalam. Serene berdiri kaku. Dan di dalam perutnya, dua kehidupan kecil seakan bergerak, seolah merasakan ketegangan yang sama. Malam ini, di rumah megah penuh rahasia itu, Serene sadar satu hal.
Jawaban Raiden tidak hanya akan menentukan masa depannya. Tetapi juga menentukan siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus disingkirkan. Dan jauh di dalam bayangan kekuasaan Varendra, sebuah permainan yang jauh lebih besar baru saja dimulai.
***
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Stay tune