Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Genep
Tidak terasa, hampir dua bulan Jenara berada di London. Ibukota Inggris yang dingin dan sibuk itu menjadi tempat pelarian yang sempurna. Dikelilingi oleh jadwal pertemuan yang padat, negosiasi yang rumit, dan informasi tentang perkembangan bisnis dunia, Jenara hampir berhasil melupakan satu malam gila yang ia sebut sebagai ‘kesalahan fatal.’ Ia berhasil menenggelamkan rasa malu dan penyesalan di balik tumpukan berkas dan rencana investasi.
Namun, ketenangan itu seolah mulai retak pagi ini.
Sejak semalam, ada sesuatu yang terasa salah. Jenara merasa seluruh hal di sekitarnya terasa sangat menyebalkan. Setiap detail kecil, yang biasanya ia abaikan, kini memicu amarah yang eksplosif. Emosinya bergejolak, seolah mencari tempat untuk dilampiaskan.
Di meja rias, Jenara mengerutkan kening, menatap gelas air mineral di samping vas bunga. Gelas itu berwarna merah.
“Alexa!” panggil Jenara, suaranya tajam dan dingin, membuat Alexa yang sedang menyusun jadwal pertemuan di laptop segera terlonjak.
“Ya, Bu?”
“Gelas ini. Kenapa warnanya merah?” tanya Jenara, menunjuk gelas itu dengan ujung pulpen emasnya.
Alexa menatap gelas itu. Itu adalah gelas kristal mewah dari hotel bintang tujuh, dan memang berwarna merah marun.
“Itu… gelas dari hotel, Bu. Desain interiornya mungkin menyesuaikan warna karpet,” jawab Alexa hati-hati.
“Aku tahu itu gelas dari hotel, Alexa! Tapi kenapa harus merah? Aku benci warna merah di pagi hari. Itu terlalu… mengganggu. Ganti dengan warna biru atau bening. Aku tidak mau melihat warna ini lagi,” perintah Jenara.
“Baik, Bu. Saya akan segera meminta housekeeping menggantinya,” jawab Alexa sambil mencatat. Ia merasa heran. Bosnya yang paling anti-drama kini mempermasalahkan warna gelas.
Di restoran hotel, suasana hati Jenara tidak membaik, justru memburuk drastis. Menu sarapan yang disajikan, yang seharusnya berkelas dan lezat, di mata Jenara terasa biasa saja.
“Penyajiannya terlalu biasa. Lihat, Alexa. Mereka meletakkan telur orak-arik di sebelah smoked salmon. Rasa gurih telur akan membunuh keaslian rasa salmon. Mereka tidak tahu cara memadukan rasa,” keluh Jenara, menggeser piringnya menjauh.
“Tapi Bu, Anda memesan itu sendiri,” bisik Alexa.
“Aku tahu aku yang memesan. Tapi mereka seharusnya menawarkan saran, bukan? Mereka ini hotel bintang tujuh, bukan warung kopi!” Jenara menghela napas kasar. “Dan lihat sayuran ini. Kubis Brussel? Di sarapan? Ini tidak cocok sama sekali!”
Jenara kemudian mengingat masalah lain dari pagi itu.
“Lalu handuk itu. Aku yakin sekali handuk yang kau berikan semalam sedikit berbau apek. Dan air mandiku tadi pagi terlalu panas. Apakah kau mengatur suhunya, Alexa? Kau tahu kulitku sensitif!”
Alexa hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia pusing sendiri. Selama lima tahun bekerja untuk Jenara, ia belum pernah melihat Jenara se-emosi dan semarah ini hanya karena hal-hal sepele. Jenara biasanya seperti robot yang hanya peduli pada margin keuntungan dan laporan kuartalan.
Saat sedang menunggu di restoran, Jenara tampak gelisah. Jam tangannya menunjukkan pukul 09:00:30 tepat.
“Kemana Mr. Hans? Dia sudah telat tiga puluh detik,” tanya Jenara, nadanya sudah penuh tuduhan.
“Bu, baru tiga puluh detik. Tadi pagi, saya melihat berita, ada sedikit kemacetan di jalan menuju sini. Mungkin macet di jalan. Jangan dipikirkan,” bujuk Alexa, berusaha menenangkan bosnya yang kini seperti bom waktu.
“Tiga puluh detik adalah waktu yang sangat berharga dalam bisnis, Alexa. Kau tidak mengerti!” Jenara mendesis, melipat tangannya di dada dengan raut wajah jengkel.
Mr. Hans, seorang Managing Director dari Bentley Group perusahaan arsitektur terkemuka di London, akhirnya tiba, sepuluh menit kemudian. Jenara menyambutnya dengan tatapan tajam yang tidak ramah, membuat Mr. Hans merasa bersalah, meskipun ia sudah meminta maaf.
Pertemuan itu berlangsung di ruang private dining hotel. Sepanjang diskusi, Jenara tampak kesal dan menolak hampir semua usulan yang diberikan Mr. Hans.
Mr. Hans berbicara dalam Bahasa Inggris, yang Jenara pahami dengan sempurna, namun tetap membuatnya kesal.
“Mr. Hans, the layout of this new branch looks... pedestrian. I specifically asked for a concept that is both modern and timeless, not something that looks like an upscale version of a coffee shop chain!” Jenara mengeluh. (Tuan Hans, tata letak kantor cabang baru ini terlihat... biasa saja. Saya secara spesifik meminta konsep modern dan abadi, bukan sesuatu yang terlihat seperti versi mahal dari rantai kedai kopi!)
Mr. Hans, seorang pria paruh baya yang ramah dan berpengalaman, hanya tersenyum maklum. Ia tidak marah atau kesal, justru melihat tingkah Jenara dengan rasa ingin tahu.
Mr. Hans membetulkan letak kacamatanya. “Ms. Jenara, I appreciate your passion for perfection, but these are minor details. We can adjust the layout. But, if you don't mind me asking, are you alright, Ms. Jenara?”
Jenara terkejut dengan pertanyaan itu. “Of course, I am alright! What kind of ridiculous question is that?” (Tentu saja saya baik-baik saja! Pertanyaan konyol macam apa itu?)
Mr. Hans tersenyum lembut. “I mean, physically. Is there something bothering you physically? Is there any part that is uncomfortable? Your mood is quite... unpredictable this morning.” (Maksud saya, secara fisik. Apakah ada masalah dengan tubuh Anda? Ada bagian yang tidak nyaman? Suasana hati Anda cukup... tidak terduga pagi ini.)
Jenara merasa terpojok dan sangat terhina. “I am perfectly fine, Mr. Hans. Perhaps it is your proposal that is lacking, not my mood,” jawab Jenara tajam. (Saya baik-baik saja, Tuan Hans. Mungkin proposal Anda yang kurang, bukan suasana hati saya.)
Mr. Hans hanya terkekeh pelan. Ia tidak tersinggung. Ia justru menatap Jenara dengan pandangan kasihan.
“I see. Well, your attitude is exactly like my wife's when she’s facing her menstrual period. She tends to find faults in everything I do, even the air she breathes. Don’t worry, it happens. We can continue the meeting tomorrow,” ujar Mr. Hans, mengakhiri pertemuan dengan bijaksana. (Oh, begitu. Yah, sikap Anda persis seperti istri saya saat menghadapi masa menstruasi. Dia cenderung mencari kesalahan dalam semua yang saya lakukan, bahkan udara yang dia hirup. Jangan khawatir, itu biasa terjadi. Kita bisa melanjutkan pertemuan besok.)
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌