NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Harapan Yang Menguat

Malam telah larut. Di dalam kamar kecilnya, Maya sudah selesai dengan rutinitas malamnya. Dia duduk di tepian kasur, menatapi ponselnya dengan cemas. Hatinya berdebar-debar menunggu balasan dari Wawa setelah foto dirinya dikirimkan sore tadi.

Bersamaan dengan desahan napasnya yang lelah, notifikasi pesan dari Wawa masuk. Maya segera membuka pesan tersebut.

[Dari Kak Wawa]:

Assalamualaikum Maya, Alhamdulillah. Suami Ummu Fatimah mau melanjutkan prosesnya sama kamu. Ummu Fatimah sudah memperlihatkan foto kamu ke suaminya.

Suaminya nggak bilang apa-apa, cuma bilang dia mau melanjutkan saja. Tapi Ummu Fatimah bilang wajah kamu sesuai dengan usia kamu yang masih muda, katanya kamu cantik dan manis, kelihatan dari wajahnya kamu katanya orangnya lemah lembut, penyayang. Saya juga mikir yang sama seperti Ummu Fatimah, May. InsyaaAllah dia akan sayang kamu seperti kakak yang sayang sama adiknya, nggak ada alasan untuk dia membenci kamu, atau memusuhi kamu, kan dia sendiri yang mencari kamu untuk suaminya, bukan kamu yang datang, dan merusak rumah tangga mereka.

Jadi mulai sekarang kamu nggak perlu khawatirkan pandangan orang lain.

Maya membaca pesan itu dengan senyum tipis, rasa lega menjalar di hatinya. Pujian dari Ummu Fatimah—wanita yang sebentar lagi akan menjadi kakak madunya—terasa tulus dan menenangkan. Dipuji cantik dan manis oleh wanita lain, apalagi oleh calon istri pertama suaminya, membuat hatinya menghangat. Keraguan tentang rasa cemburu yang fitrah itu sejenak sirna, digantikan oleh keyakinan bahwa Ummu Fatimah benar-benar berhati besar dan akan menyayanginya seperti adik sendiri.

Tapi pesan selanjutnya dari Wawa membuatnya terkejut.

Saya juga sudah menambahkan syarat untuk menikahi kamu: resmi secara negara.

Maya terkejut. Ia tidak pernah terpikirkan hal itu. Lebih tepatnya, ia sama sekali tidak tahu bahwa pernikahan kedua (poligami) bisa dilangsungkan secara resmi, bisa mendapatkan buku nikah untuk memperkuat hubungan tersebut. Pengetahuannya soal pernikahan poligami hanya sebatas pernikahan siri.

Maya: "Apa itu bisa dilakukan, Kak? Menikah resmi secara negara?" Maya membalas pesan itu dengan cepat.

[Dari Kak Wawa]:

Bisa, Maya. Melalui sidang nikah poligami di pengadilan agama. Memang prosesnya sedikit lebih panjang, tapi sah di mata hukum dan agama.

Saya sudah memikirkan segalanya, May, apalagi saya yang menjadi wasilah antara kamu dan Ummu Fatimah juga suaminya. Saya tidak ingin ke depannya mereka berdua berbuat zalim terhadap kamu.

Maya kembali terharu membaca niat tulus dari Wawa. Di tengah ketidakpastian ini, ada sosok-sosok yang peduli dan ingin memastikan hak-haknya sebagai seorang istri tetap terjaga. Harapannya akan kehidupan yang baik kembali menguat, mengusir keraguan yang sempat menghampiri.

Setelah mengakhiri komunikasi dengan Wawa, hati Maya masih diliputi rasa haru dan harapan yang menguat. Dia segera menghubungi Hana untuk menceritakan segalanya secara ringkas. Panggilan terhubung dengan cepat.

Hana: "Wah, cepat sekali prosesnya! Jadi Umma Fatimah suka wajahmu ya? Suaminya juga lanjut?"

Maya: "Iya, Kak. Alhamdulillah. Oh iya, Kak, katanya aku cantik dan manis, emang bener ya?" tanya Maya, tersipu malu.

Hana: "Emang cantik kok kamu, May! Terus, gimana? Calon suamimu tampan nggak?" goda Hana.

Maya tertawa kecil, "Belum ada balasan kiriman foto, Kak Hana, jadi aku mana tahu dia seperti apa. Tapi yang terpenting adalah dia bisa membimbing aku, itu aja sih."

Hana: "Kamu hebat, May. Fokus mu luar biasa. Semoga tetap Istiqomah ya," puji Hana tulus.

Maya tersenyum, lalu teringat rencana kepulangannya dari rumah Kak Laila. "Oh iya, Kak, apa aku bisa kembali tinggal di rumah Kakak sementara waktu? Maksudku, sebelum proses ini selesai, kan belum memungkinkan untuk pulang ke rumah orang tua."

Hana: "Oh, tentu saja bisa, May. Kamu datang saja," jawab Hana cepat.

Maya: "Gimana dengan suami Kakak? Apakah mengizinkan?" tanya Maya hati-hati.

Terdengar keheningan sesaat dari ujung telepon sana, yang membuat Maya heran. Biasanya Hana selalu terbuka dan ceria.

Hana: "Emm, Maya... sebenarnya, saya dan suami sedang dalam masalah rumah tangga," jawab Hana, suaranya terdengar berat dan lirih. "Suamiku memilih untuk keluar dari rumah kami dan kembali ke rumah orang tuanya."

Maya terkejut, napasnya tertahan. Ironis sekali, di saat Maya akan memasuki pernikahan yang rumit namun penuh harapan, pernikahan Kak Hana yang terlihat normal justru sedang di ambang kehancuran.

"Ya ampun, Kak... aku turut sedih mendengarnya. Aku yakin Kakak wanita kuat, hadapi dengan sabar ya, Kak," Maya memberikan dukungan terbaik yang bisa ia berikan.

Panggilan berakhir, menyisakan Maya dalam renungan. Kehidupan pernikahan memang misteri, penuh lika-liku yang tak terduga. Babak baru dalam hidupnya akan segera dimulai, namun ia tak pernah menyangka bahwa tantangan terbesarnya justru akan datang dari tempat yang paling tidak terduga, dari orang-orang yang paling ia percayai.

...----------------...

Malam semakin larut. Maya sudah membaringkan tubuhnya di kasur, siap untuk memejamkan mata dan melepaskan lelah setelah hari yang panjang dan penuh emosi. Tepat saat matanya akan terpejam, notifikasi pesan terdengar di ponselnya.

Dengan sedikit malas, Maya meraih ponselnya. Awalnya ia mengira pesan itu dari Hana atau Wawa lagi. Namun, setelah melihat nama pengirimnya, jantung Maya berdesir.

Heddy.

Heddy adalah bagian dari masa lalunya, pria yang sudah lama tidak menghubunginya secara pribadi. Dengan rasa penasaran yang aneh, Maya membuka pesan tersebut.

[Dari Heddy]:

Assalamu'alaikum, Maya. Apa kabar? Saya mau nanya kabar kamu. Apa kamu masih sering merasakan sakit setelah tumornya diangkat?

Maya terdiam sejenak. Pesan itu terasa begitu personal, menyentuh titik kerentanan fisik dan emosionalnya. Di lubuk hatinya yang lain, sebuah kerinduan halus muncul—kerinduan pada perhatian tulus yang dulu pernah ada.

Dia menatap layar ponselnya, hatinya campur aduk. Heddy menanyakan kondisinya, sementara dia sendiri sedang dalam proses serius untuk menjadi istri kedua dari pria lain. Sebuah rahasia besar yang belum berani ia ceritakan kepada Heddy.

Maya hanya bisa menatap pesan itu tanpa bisa membalasnya segera. Pikirannya melayang, bertanya-tanya mengapa Heddy menghubunginya sekarang, tepat ketika hidupnya berada di persimpangan jalan terbesar.

Maya menarik napas panjang, kerinduan yang sempat muncul segera ditepis oleh realitas rumit yang sedang ia hadapi. Dia tidak bisa terlalu larut dalam perhatian Heddy saat ini.

Dia mulai mengetik balasan, memilih kata-kata dengan hati-hati.

[Ke Heddy]:

Waalaikumsalam. Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik, Hed. Terima kasih banyak sudah perhatian dan mendoakan kesembuhanku.

Singkat, padat, dan netral. Maya sengaja menghindari detail lebih lanjut tentang kondisinya atau kehidupannya saat ini. Dia belum berani menceritakan kepada Heddy tentang tawaran menikah sebagai istri kedua, atau nazarnya, atau proses yang sedang berjalan. Ada bagian dari dirinya yang takut akan penghakiman Heddy, atau mungkin takut bahwa perhatian ini akan meruntuhkan tekadnya.

Dia menekan tombol kirim. Pesan itu terkirim, mengakhiri komunikasi mereka, setidaknya untuk malam ini.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!