“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
“Iya, Nak. Anggap saja kerja ringan. Daripada kamu bengong di sini. Sekalian juga saya ingin kamu dan Darrel ngobrol santai. Bolehlah kalian berteman baik-baik.”
Deg
Fio tersentak. Tapi besok dia memang libur dan gak ada kerjaan. "Apa gak papa kalau gue cuma minta makan? Setidaknya uang makan gue utuh." gumam Fio di dalam hatinya. "Tapi ibu ini kayaknya ada niat buat ngedeketin gue sama tuh es balok."
"Gak usah ragu, Nak. Setidaknya kamu kenal dulu sama Darrel. Sebenarnya dia baik. Cuma karena suatu hal jadi kayak kanebo kering..."
"What...?" Fio terbelalak sambil menutup mulutnya. "Ibunya sendiri aja bilang dia kanebo kering..." Fio terkikik geli.
"Mau ya." Bu Rania memohon. "Suami ibu lagi di luar. Kadang ibu merasa kesepian. Anak kecil gak ada, rumah besar. Kadang ingin segera punya cucu biar rame."
“Hmm… ya, boleh deh, Bu. Kalau memang saya bisa bantu,” jawab Fio akhirnya, meski dalam hati ada rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Tapi melihat wajah memelas Bu Rania Fio merasa terenyuh teringat dengan sang ibu.
“Bagus! Saya tunggu ya besok jam sembilan pagi. Besok ada supir yang jemput,” kata Bu Rania sambil menepuk pelan tangan Fio dengan penuh keakraban.
***
Pagi ini, udara masih sejuk ketika Fio berdiri di depan gerbang besar rumah keluarga Darrel. Ia mengenakan blouse putih sederhana yang dipadukan dengan celana kulot hitam longgar agar tetap nyaman bergerak. Rambutnya diikat setengah ke belakang, memberi kesan rapi tapi tidak terlalu kaku. Ia menarik napas dalam-dalam.
“Aku ke sini untuk bekerja, bukan yang lain,” gumamnya meyakinkan diri sendiri.
Ia turun dari mobil, dan tak lama kemudian, Mbak Sari, asisten rumah tangga, membukakan pintu.
“Fio? Wah, Ibu sudah menunggu dari tadi. Masuk, ayo.”
Begitu melangkah ke dalam, aroma bumbu dapur langsung menyambutnya. Bu Rania tampak sibuk di dapur dengan celemek bunga-bunga, tangannya cekatan mengiris bawang.
“Pagi, Fio! Wah, kamu datang tepat waktu, saya suka anak rajin begini.”
“Pagi, Bu. Fio bantu yang mana dulu?” tanyanya dengan senyum sopan.
“Cuci ayam sama sayuran di sana ya, sayang. Nanti saya yang buat bumbu. Kita mau masak agak banyak, kita makan-makan bareng.”
Fio langsung menggulung lengan bajunya dan mulai bekerja. Ia mencuci bahan-bahan, memotong sayur, dan sesekali ikut mengaduk masakan di wajan besar. Dalam hatinya, ia benar-benar fokus agar pekerjaannya rapi, tidak ingin ada kesan bahwa ia datang karena urusan pribadi.
Namun, saat ia sedang mencincang wortel, suara langkah berat terdengar dari arah tangga.
Darrel baru saja turun, masih mengenakan kaus hitam dan celana santai abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan, tanda baru bangun tidur. Matanya langsung terpaku pada sosok Fio yang berdiri di dapur, sesuatu yang tidak pernah lihat sebelumnya.
Fio berpura-pura tidak menyadari kehadirannya dan terus memotong wortel dengan tenang. Tapi jantungnya sempat berdegup lebih cepat.
“Darrel, sarapan dulu. Mama udah siapin,” panggil Bu Rania.
Darrel hanya mengangguk, tapi pandangannya masih belum lepas dari Fio.
“Kamu,” ucapnya akhirnya.
Fio menoleh sekilas, memberi senyum tipis sedikit meledek.
“Saya Fio,” jawabnya singkat, lalu kembali ke wortel. Ia tak ingin memberikan celah untuk pembicaraan yang tak perlu.
Darrel kembali lagi ke lantai atas saat suara ponselnya bunyi.
Bu Rania hanya tersenyum dalam hati, puas melihat keduanya berada di ruangan yang sama lagi.
Siang harinya, aroma masakan dari dapur keluarga Darrel menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Meja panjang di ruang makan sudah ditata rapi, ada ayam bakar madu, sayur asem, sambal terasi, tempe goreng, dan berbagai lauk sederhana tapi menggugah selera.
“Yuk, semua ke meja makan. Makan bareng-bareng, seperti biasa,” seru Bu Rania dengan suara hangat.
Fio, yang baru saja selesai membersihkan piring-piring kotor, kaget saat Mbak Sari menarik tangannya.
“Ayo Fio, ikut makan. Ini udah jadi kebiasaan di sini. Kalo siang suka makan bareng semuanya.”
“Eh, tapi aku kan cuma bantu masak, Mbak. Gak enak, nanti malah—”
“Udah, gak usah sungkan. Bu Rania yang ajak,” potong Mbak Sari sambil tersenyum.
Akhirnya, Fio pun duduk di kursi paling ujung, bersebelahan dengan Bi Nani pekerja dapur yang sudah lama bekerja di rumah itu. Para pekerja rumah lainnya duduk dengan rapi, sementara Bu Rania duduk di ujung meja seperti seorang ratu keluarga besar.
“Alhamdulillah, semua udah siap. Yuk, kita baca doa dulu,” ucap Bu Rania.
Mereka mulai makan bersama. Suasana awalnya hangat dan ramai — para pekerja saling bercanda, suara sendok dan piring terdengar bersahutan.
Namun, keheningan mendadak muncul ketika langkah kaki Darrel terdengar dari arah tangga. Ia baru saja selesai menerima panggilan penting dan kini berjalan santai ke ruang makan. Pandangannya langsung menangkap sosok Fio yang duduk di meja makan bersama pekerja lain.
“Mama…” gumamnya pelan dengan nada bertanya-tanya.
“Oh, kamu pas banget, Rel. Sini duduk,” ajak Bu Rania dengan nada dibuat-buat santai tapi matanya menyiratkan “kesengajaan”.
Darrel menatap ibunya sekilas, lalu menarik kursi dan duduk, tepat di seberang Fio.
Fio pura-pura fokus dengan piringnya. Tapi jantungnya jelas berdetak lebih cepat. Ia tak menyangka Bu Rania akan mengajaknya makan bersama seperti ini.
“Fio bantu Mama masak dari pagi, lho,” kata Bu Rania, seolah ingin membuka percakapan.
“Oh, gitu,” jawab Darrel singkat sambil menyendok nasi.
“Dan hasil masakannya enak banget,” tambah Mbak Sari, ikut nimbrung.
Fio hanya tersenyum malu. “Saya cuma bantu potong-potong, kok.”
“Bantu atau gak, hasilnya tetep kerasa,” sahut Bi Nani menggoda.
Bu Rania memperhatikan keduanya bergantian, senyum kecil muncul di wajahnya. Ia tahu ini bukan momen romantis — tapi setidaknya, Darrel dan Fio kini duduk satu meja, makan bersama, seperti keluarga kecil yang belum mereka sadari.
Darrel sendiri tak banyak bicara. Tapi beberapa kali, tanpa sadar, matanya melirik ke arah Fio. Ia seperti tak menyangka gadis yang kemarin-kemarin membuat repot dalam hidupnya kini ada lagi di sini… di rumahnya… di mejanya.
Sementara Fio, diam-diam meneguk air lebih sering dari biasanya. “Tolong, ya Allah… ini makan bareng atau interogasi batin,” batinnya gelisah.
Makan siang berakhir, Fio ikut membereskan meja dan mencuci piring di dapur. Begitu pun dengan yang lainnya, mereka bekerja sama. Setelah semua pekerjaan selesai, Fio diajak istirahat oleh Bi Nani dan yang lainnya. Mereka istirahat di ruangan khusus para pekerja di rumah itu.
***
Sore harinya. Langit mulai berwarna keemasan, cahaya matahari memantul indah di permukaan kolam ikan koi di taman belakang rumah keluarga Darrel. Angin berhembus pelan, membuat dedaunan bergerak seperti menari.
Fio melangkah pelan membawa wadah kecil berisi pakan ikan. Ia tadi baru saja diminta oleh Bu Rania, “Fio, tolong kasih makan ikan ya. Mereka biasa sore-sore dikasih.”
Begitu sampai di tepi kolam, ia berjongkok perlahan. Matanya berbinar kecil melihat ikan-ikan berwarna oranye dan putih berenang mendekat, seolah tahu jam makan mereka telah tiba.
“Halo ikan-ikan… sabar ya, satu-satu,” gumam Fio pelan sambil menaburkan sedikit demi sedikit pakan ke air.
Beberapa ekor koi meloncat pelan, cipratan air membasahi tangannya. Ia malah tertawa kecil.
“Ih, nakal banget si kamu. Nih… jangan rebutan ya. Semua kebagian, kok.”
Suara tawa lembutnya menggema samar di taman yang tenang.
Tak jauh dari situ, di kursi taman dekat kolam, Darrel sedang fokus mengetik di laptopnya. Rambutnya agak berantakan, kemeja santainya sedikit tergulung di siku. Ia awalnya tidak terlalu memperhatikan kehadiran Fio. Tapi suara gumaman gadis itu pelan-pelan menarik perhatiannya.
Ia mengangkat pandangan sejenak—dan tertegun.
Fio tampak begitu alami dan ceria, berbicara dengan ikan seperti sedang mengobrol dengan teman lama. Matanya jernih, ekspresinya polos, dan senyumnya muncul tanpa dibuat-buat.
"Dia... Bicara sama ikan? batin Darrel, keningnya sedikit berkerut. Tapi entah kenapa, pemandangan itu terasa… menyenangkan.
Ia kembali berpura-pura mengetik, padahal matanya sesekali mencuri pandang ke arah Fio.
Anak ini... Aneh. Tapi... Lucu juga, pikirnya tanpa sadar.
Fio, tentu saja, tidak menyadari kalau dirinya sedang diamati. Ia terus menabur pakan sambil mengomel kecil ke ikan-ikan yang berebut.
“Tuh kan, kamu curang lagi! Nih, yang kecil-kecil sini… jangan mau kalah ya…”
Bersambung