NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

06. Runtuh oleh Godaan

Elena berdiri cukup lama di depan cermin meja rias kamarnya. Matanya meneliti setiap detail penampilannya. Jemarinya merapikan kerah kemeja, lalu menyusuri garis pinggang rok pensil yang membentuk tubuhnya dengan sempurna. Ia memiringkan tubuh, menatap pantulan sisi lain dirinya, memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal.

Senyum tipis terukir di bibirnya. Ia tahu pakaian itu pas, seolah memang dirancang hanya untuk dirinya. Dengan sengaja, ia membiarkan satu kancing bagian atas terbuka, menciptakan kesan elegan sekaligus sensual yang ia inginkan. Cukup untuk membuat seseorang sulit berpaling darinya.

Tangannya lalu meraih tas kerja hitam di atas meja. Satu tarikan napas dalam ia hembuskan perlahan, seolah tengah menyiapkan diri untuk sebuah panggung. Bagi Elena, hari ini bukan sekadar hari kerja biasa. Hari ini adalah bagian dari rencana besar yang perlahan mulai ia jalankan.

Elena segera keluar dari kamar, kemudian mengganti sandal rumah dengan high heels-nya yang tertata rapi di rak sepatu samping pintu. Setelah selesai, ia pun melangkah keluar dari apartemennya. Tumit sepatunya beradu dengan lantai koridor hingga akhirnya ia tiba di depan lift. Ia menekan tombol lantai dasar, dan lift pun mulai bergerak.

Begitu keluar dari lift, ia berhenti sejenak, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya. Dengan senyum percaya diri, ia berjalan menuju pinggir jalan. Tangannya terangkat tinggi ketika sebuah taksi melintas. Mobil itu berhenti, dan tanpa ragu Elena membuka pintu, lalu masuk ke dalam.

Sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia tersenyum kecil. Bus? Tentu saja ia masih menyimpan kartu langganannya sejak masa sekolah dulu. Tapi bukan berarti ia benar-benar akan kembali menggunakan kendaraan umum itu. Mobilnya memang sudah ia jual demi menutupi biaya sewa apartemen, namun perkataannya kepada Damian kemarin hanya untuk mempermainkannya. Agar pria itu percaya bahwa ia sedang berjuang sendirian. Dengan begitu, Damian akan semakin bersimpati dan semakin sulit melepaskannya.

......................

Di kantor, Damian keluar dari lift setelah ia memarkirkan mobilnya di basement. Ia kemudian berjalan menuju meja resepsionis.

“Selamat pagi, Tuan Damian.”

Damian mengangguk sekilas, lalu memberikan sebuah ID card yang dikemas menggunakan lanyard khas perusahaan miliknya.

“Jika wanita kemarin datang, panggil dia dan berikan ini padanya untuk akses masuk ke dalam.”

Pegawai resepsionis menerima ID card itu, menatap foto Elena di sana, dan mengangguk patuh tanpa bertanya lagi.

“Terima kasih,” ucap Damian lalu pergi dari sana.

Kemarin, setelah mengantar Elena, ia sudah menyelesaikan administrasi kerja wanita itu sebagai sekretarisnya. Hanya saja, karena belum sempat mengantarnya langsung, ia memutuskan untuk menitipkannya di meja resepsionis pagi ini. Dengan begitu, Elena tidak akan kebingungan saat datang.

Damian melangkah menjauh, menyelipkan satu tangannya ke dalam saku celana. Suasana lobi sudah mulai sibuk dengan karyawan yang berlalu-lalang, namun aura kharismatiknya mampu membuat mereka menundukkan kepala dan memberi salam saat ia lewat. Ia hanya membalas dengan anggukan singkat, lalu menekan tombol lift eksekutif dan melangkah masuk. Pintu tertutup dan membawanya naik menuju ruangannya di lantai atas.

Tidak lama, Elena sampai di gedung perusahaan. Ia menapaki lantai lobi dengan langkah ringan, rambutnya bergoyang setiap kali hak sepatunya mengetuk lantai. Setelah melihat kedatangannya, petugas resepsionis segera memanggil namanya.

“Nona Elena?”

Elena menghentikan langkah, menoleh ke arah resepsionis. Tatapannya yang sebelumnya tajam, kemudian berubah ramah saat ia berjalan kesana.

“Ya, aku Elena.”

Resepsionis itu menyodorkan ID card yang berfungi sebagai kartu identitas karyawan kepada Elena.

“Ini kartu identitas Anda. Tuan Damian menitipkannya untuk diberikan begitu Anda tiba.”

Elena menerima kartu itu, matanya berbinar puas. Jemarinya menyusuri fotonya sambil tersenyum samar.

“Terima kasih,” ucap Elena.

Namun, petugas resepsionis itu justru menatapnya dengan penuh selidik, “Nona mengenal Tuan Damian di mana?” tanyanya kemudian, ia terlihat tidak sanggup menahan rasa penasarannya.

Elena tersenyum, lalu mengibaskan rambutnya ke belakang dengan santai, “Kami berteman.”

Petugas resepsionis hanya mengangguk singkat, walaupun dari wajahnya terlihat tidak yakin.

Elena menutup mulutnya sambil terkekeh ringan, “Aku permisi.”

Ia kemudian melangkah pergi, meninggalkan resepsionis yang masih menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Ia menempelkan kartu identitas barunya pada mesin turnstile gate. Lampu hijau menyala, palang kaca terbuka, dan ia melangkah masuk dengan penuh percaya diri, sambil mengenakan lanyard itu ke lehernya.

Begitu masuk lebih dalam, pandangannya langsung tertuju pada deretan lift di ujung lobi. Dua berada di sisi kanan, dua di sisi kiri, dan di antara semuanya, satu lift di sisi kiri tampak mencolok dengan papan penanda sebagai lift eksekutif.

Tidak ada satu pun orang yang berani mengantri di depan lift itu, karena semua orang tahu, itu adalah wilayah khusus. Dan Elena juga tahu, hanya satu nama yang berhak menggunakannya. Damian.

Elena tersenyum samar. Ia kemudian memilih berdiri di antrean panjang bersama para karyawan lain. Ia melipat tangan di depan dada, bersabar menunggu gilirannya masuk.

Sementara itu, di lantai paling atas gedung perusahaan, suasana sedikit berbeda dari lantai lainnya. Lebih hening, lebih tertata, dan jelas terasa aura wibawa pemiliknya. Damian berdiri tegak di luar ruang kerjanya, mengawasi beberapa pekerja yang baru saja menyelesaikan penataan meja sekretaris.

Meja itu bukan sembarangan meja, Damian sendiri yang memilih desainnya. Material kayu solid dengan sentuhan modern, dipadukan warna krem lembut dan cokelat tua yang serasi dengan interior ruangannya.

“Bagaimana, Tuan?” tanya salah satu pekerja dengan hati-hati.

Damian tidak langsung menjawab. Tangannya terlipat di depan dada, sementara salah satu tangannya menyentuh dagu. Matanya memeriksa setiap detail, mulai dari posisi kursi, sudut meja, hingga letak vas yang dipasang sebagai pemanis. Ia memang bukan tipe pria yang bisa menerima hasil kerja setengah-setengah.

Beberapa detik hening, hingga akhirnya Damian menurunkan tangannya, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Ia tampak mengangguk singkat.

“Bagus. Biarkan seperti ini.”

Pekerja itu segera mengangguk, lalu memberi instruksi pada timnya untuk membereskan peralatan mereka. Dalam hitungan menit, lorong kembali rapi dan sepi, menyisakan Damian seorang diri di depan meja yang kini sudah siap digunakan.

Setelah para pekerja pergi, Elena sampai di lantai itu. Langkahnya baru beberapa meter menapaki koridor menuju ruang CEO ketika matanya langsung tertumbuk pada sebuah meja kerja elegan yang kini berdiri di luar ruangan Damian. Seketika senyum tipisnya lenyap, tergantikan keterkejutan yang kentara. Namun dalam batinnya, kilatan puas cepat menyelinap.

Ia melangkah mendekat dengan wajah polos.

“Om Damian, meja ini…?” tanyanya, seolah benar-benar tidak menyangka.

Damian menoleh, menyambutnya dengan senyum hangat, “Selamat pagi.”

“Om harus jawab dulu,” potong Elena, matanya berbinar penuh antusias, “Meja ini untukku?”

Damian mengangguk, “Kau suka?”

Elena segera menampakkan senyum sumringah, lalu mengangguk cepat, “Aku sangat menyukainya, terima kasih Om,” ucapnya yang terdengar tulus.

Dan tanpa ragu, ia segera melingkarkan lengannya ke tubuh Damian, lalu memeluknya erat.

Tubuh Damian seketika menegang, bahkan detak jantungnya terasa kacau.

Elena menempelkan kepalanya di dada pria itu, menenggelamkan wajahnya di sana. Kemudian bibirnya tersungging tipis saat mendengar suara degup jantung Damian. Tepat seperti yang ia harapkan.

Namun, ia cepat-cepat mengganti ekspresi. Senyum licik itu menghilang, diganti wajah panik dan penuh rasa bersalah. Ia melepaskan pelukannya buru-buru.

“Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Maafkan aku, Om!” ucapnya seraya membungkuk sopan, menampilkan citra gadis polos yang menyesal.

Damian berdehem, jelas gugup. Ia melangkah kecil, seolah berusaha menetralkan bara di tubuhnya.

“Tidak apa. Kau coba dulu meja kerjamu. Aku akan masuk ke dalam.”

Damian masuk ke dalam ruang kerjanya, dan meninggalkan Elena yang masih berdiri dengan posisi membungkuk. Begitu pintu tertutup, ia segera menegakkan tubuh, dan senyum tipis lain muncul di bibirnya. Sebuah senyum yang penuh perhitungan.

Ia menoleh pada meja barunya, meletakkan tasnya di atas meja, lalu duduk dengan tenang, dan memutar kursi itu dengan puas karena semua berjalan di bawah kendalinya.

Di ruang kerjanya, Damian melangkah pelan menuju jendela besar di ruangannya. Bayangan gedung-gedung tinggi memantul di kaca, namun pikirannya sama sekali tidak pada pemandangan kota yang terbentang di depannya. Kedua tangannya menempel pada pilar jendela, seolah menahan tubuhnya agar tetap tegak. Napasnya berat, ia seperti terbebani oleh sesuatu yang tidak ia kuasai.

Sudah bertahun-tahun ia menjaga jarak, menolak setiap kedekatan yang melibatkan sentuhan seorang wanita. Namun hanya dengan sebuah pelukan singkat dari Elena, seluruh dinding yang ia bangun seakan runtuh. Jantungnya masih berdetak terlalu cepat, tubuhnya masih merespons, seperti binatang buas yang tiba-tiba terbangun dari tidur panjangnya.

Kedua tangannya mengepal di pilar itu, menahan gejolak yang ingin ia redam. Ada gairah yang seharusnya tidak bangkit pada seorang pria sepertinya, terlebih terhadap Elena, yang bahkan seusia putranya sendiri.

Damian menyipitkan mata, menatap lurus ke arah horizon yang berkabut. Ujung bibirnya terangkat samar, “Gadis itu benar-benar nakal,” gumamnya.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!