NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:521
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17: Keliling Komplek Yang Gagal

Belum sempat menarik napas lega…

Kaki Tiny ikut bergerak. Tak tanggung-tanggung, satu menyelusup ke bawah selimut Xion. Letaknya… yaaa, strategis sekali.

Sampai-sampai Xion menahan napas seperti ditodong granat. “Ya tuhan... ini tidur apa uji nyali,” batinnya mulai bergetar.

Tiny ternyata tipe yang kalau tidur: grasah-grusuh.

Geraknya aktif. Tak peduli ruang sempit.

Tangan ke sana, kaki ke sini.

Dan yang apes—semuanya mendarat ke Xion.

Xion tak berani bergerak. Ia takut membangunkan Tiny. Tapi ia juga takut… dirinya sendiri kebablasan kalau kelamaan seperti ini.

Ia menoleh sedikit, menatap wajah istrinya. Tenang. Lembut. Seolah-olah tidak sadar bahwa tangan dan kakinya sudah mengklaim wilayah pribadi Xion sepenuhnya.

“Tiny,” bisiknya pelan.

Tak ada jawaban. Hanya napas teratur dari gadis itu. Mulutnya pun mulai komat-kamit, pelan, tertahan. Doa pendek. Istighfar. Potongan ayat. Semua keluar seadanya.

Karena di dalam cahaya lilin yang temaram itu, ujian tidur sekasur dengan istri grasah-grusuh ternyata… luar biasa.

Ia menggeser badan pelan. Tapi tangan Tiny malah makin melorot, dari dada ke perut. “Plis,” bisik Xion lirih, seolah minta ampun ke semesta.

Tiny? Masih tidur pulas. Bahkan menggumam tak jelas seperti bayi.

Xion mengalihkan pandangannya ke atas. Menatap langit-langit, lalu ke lilin yang nyalanya semakin pendek. Ia menghela napas. Mengencangkan kontrol diri. Dan pada akhirnya… memejamkan mata.

Meskipun tidur malam itu bukan soal nyenyak atau tidak—tapi lebih kepada… lulus atau tidak dari ujian iman.

°°°°

Pagi datang perlahan.

Cahaya matahari menyelinap dari sela-sela tirai tipis kamar mereka, mengusir bayang-bayang malam yang sempat begitu... menggoda.

Kini, di meja makan kecil yang hanya cukup untuk dua orang, duduklah sepasang suami istri yang baru—masih hangat, masih belajar, dan... masih penuh adaptasi.

Tiny duduk dengan rambut dikuncir asal, memakai kaos sedikit oversized dan celana santai. Di hadapannya, dua mangkuk mie instan rasa kari ayam mengepul.

“Pasti rasanya enak banget,” ujar Tiny semangat, sambil meniup mie di sendoknya.

Xion duduk di seberangnya, menyandarkan punggung ke kursi, lengan disilangkan. Ia menatap mangkuknya… lalu menatap Tiny. Lalu… menatap lagi. Satu alisnya terangkat perlahan saat melihat cara Tiny menyeruput mie.

Cepat. Lahap. Tanpa basa-basi. Mangkuknya bahkan sudah setengah habis dalam waktu tiga menit.

“Tiny…” Xion akhirnya membuka suara, pelan.

Tiny menoleh, mulutnya masih penuh. “Hm?”

“Kamu bisa masak nggak?”

Tiny mengangguk cepat. “Bisa. Masak air.”

Xion terdiam. Bibirnya tertarik ke samping. “Air panas maksudnya?”

Tiny mengacungkan jempol, bangga. “Iya dong.”

Xion tertawa pelan, menggeleng. Lalu mulai menyendok mie miliknya sendiri. Tapi matanya masih sesekali melirik ke arah istrinya yang makannya seperti sedang ikut perlombaan 17 Agustus.

Dalam hati, ia bergumam sendiri, Mungkinkah Andika kabur tanpa pamit karena porsi makan Tiny yang seperti ini?

Ia menahan tawa. Tentu ia tidak benar-benar tahu alasan Andika pergi. Tapi setelah melihat cara makan Tiny yang begitu… tak terkendali? Hipotesis itu terasa lumayan masuk akal.

Namun alih-alih terganggu, Xion malah terhibur. Lucu. Menggemaskan.

Dan jujur, sedikit membuat khawatir soal kebutuhan logistik ke depan.

°°°°

Tiny masih berdiri di depan pintu setelah motor Xion menghilang di ujung jalan. Angin pagi mengibaskan rambutnya yang sebagian keluar dari ikatan kuncir asal.

Senyumnya masih ada, walau sekarang tercampur sedikit rasa kosong. Bukan karena sedih. Bukan juga karena takut ditinggal. Lebih ke...

“Eh... Terus aku ngapain sekarang?”

Ia menoleh ke dalam rumah. Sunyi. Dindingnya bersih, hampir terlalu rapi untuk Tiny yang biasanya penuh tempelan notes dan foto dirinya yang konyol.

Ia melangkah masuk. Lalu menatap jam dinding.

08.02.

“Oke... jam segini biasanya aku masih scroll sambil ngunyah cemilan,” gumamnya.

Tiny pun duduk di lantai, bersandar di dinding, lalu mengeluarkan ponselnya. Tapi sebelum sempat membuka aplikasinya, pikirannya melayang ke wajah Xion pagi tadi.

Serius. Dingin. Tapi juga... rapi sekali.

Tiny menggigit bibir. “Kok bisa ya, orang sekarismatik itu nikah sama aku?”

Ia nyengir sendiri.

“Ini ngapain lagi coba?” Tiny bersuara sendiri, menyandarkan kepala ke tembok. “Bingung banget. Mana sendiri lagi...”

Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya seperti orang tua kelelahan yang baru saja pulang kerja, padahal baru ditinggal suami beberapa menit.

Tiny memang masih cuti kuliah. Dan seharusnya, Xion juga masih cuti dari kampus—karena mereka baru saja menikah dua hari lalu.

Tapi entah kenapa, pria itu malah memilih berangkat kerja pagi ini. Dengan setelan khas dosennya yang membuat Tiny… deg-degan aneh.

“Ngapain juga sih dia sok sibuk begitu,” Tiny mengerucutkan bibir. “Kan enak ya, kalau libur bareng istri baru.”

Ia mendengus. Lalu menatap langit-langit rumah.

Tak ada suara. Tak ada tawa anak kecil. Tak ada ponakan yang bisa dijemput sesuka hati. Ini kota baru. Rumah baru. Dan status baru. Tapi... entah kenapa, rasanya kosong.

Tiny berdiri. Menyibak rambutnya yang berantakan. Lalu berucap dengan semangat yang dibuat-buat, “Keliling aja kali ya? Mau liat suasana di sini juga.”

Tiny pun masuk ke kamar.

Matanya menyisir tumpukan baju di koper yang belum sempat ditata rapi di lemari.

Setelah memilah beberapa detik, tangannya menarik satu kaos polos warna kuning cerah. Lembut. Longgar. Dan—menurutnya—membuat wajahnya kelihatan lebih bersinar.

Ia padukan dengan rok A-line selutut warna putih susu, yang membuatnya terlihat seperti siswi SMA yang sedang liburan, bukan istri dari seorang dosen bergaya dingin misterius.

Tiny berdiri di depan cermin. Lalu mulai mengepang rambutnya jadi dua sisi. Asal. Tak terlalu rapi, tapi cukup membuatnya merasa lucu sendiri.

Poni sampingnya dibiarkan tergerai. Menutupi sedikit kening dan membingkai wajahnya yang… jujur saja, masih penuh aura remaja.

Tiny bahkan sempat berpikir, “Orang-orang nanti bakal kira aku bocah SMP kabur dari rumah.”

Tapi ia tak peduli. Ia justru tersenyum sendiri saat melihat pantulan dirinya di cermin.

°°°°

Tiny sudah siap.

Langkahnya ringan menuju pagar, membayangkan suasana kota yang ingin ia kenal lebih dekat. Ia mengayunkan kunci rumah yang sudah dikunci barusan, bersiap mengunci pagar pula. Tapi...

“Eh… kuncinya mana?”

Tiny berhenti. Matanya memindai ke sekeliling. Lalu menyentuh kantong baju. Kosong. Cek lagi saku rok. Tak ada. Ia melihat ke pintu rumah. Lalu kembali ke pagar. Lalu... tertunduk lemas.

“Bang Xion…” gumamnya pelan, sungguh kecewa.

Ya. Ia lupa minta kunci pagar ke Xion. Dan Xion jelas juga lupa memberikannya. Mungkin... karena Xion pikir Tiny akan selalu di rumah seharian.

Karena Tiny-nya memang belum cerita bahwa ia suka eksplorasi. Suka jalan kaki keliling. Suka nyasar ke gang-gang kecil demi menemukan jajanan lucu.

“Ih, gimana sih. Nggak peka banget,” gerutu Tiny sambil mengerucutkan bibir.

Ia menatap pagar itu lama. Kuncinya tak ada.

Dan kalau ia tinggal buka gitu aja lalu pergi? Waduh... bisa kena omelan suami dosennya nanti.

“Nanti marah dia... katanya barang-barang bisa hilang lah... aneh-aneh lah...” Tiny bergumam sambil memonyongkan mulut. Padahal belum tentu Xion akan berkata seperti itu.

Akhirnya, ia memutar badan. Tidak jadi keluar.

Langkahnya kembali ke dalam rumah—sedikit menghentak. Tidak lebay, tidak dramatis seperti drama Korea. Tapi memang seperti itulah dirinya.

Kaki kecilnya mengetuk-ngetuk lantai pelan saat berjalan. Pipinya mengembung. Raut mukanya kesal tapi tetap... imut tak berdosa.

Tiny duduk di sofa. Menyandarkan kepala ke senderan, lalu mendesah pelan. “Baru juga nikah dua hari... rasanya udah kayak jadi tahanan rumah.”

Ia lalu membuka ponsel. Scroll lagi dan lagi.

Dan... satu menit kemudian, matanya berbinar.

“Hah?! Di kota ini ada toko perlengkapan nyanyi?! Wah, deket lagi!”

Lalu, ia menatap pagar sekali lagi. Dan pipinya mengembung... sekali lagi.

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!