"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Mula Menggatal
Empat Tahun yang Lalu ....
Macet parah melanda jalanan utama kota. Klakson bersahutan, pengendara motor saling serobot, dan mobil-mobil seakan terjebak dalam kubangan besi yang tak kunjung bergerak.
Di kursi belakang sebuah mobil hitam mewah, Arsen menyandarkan tubuh dengan wajah masam. Tangannya mengetuk-ngetuk lengan kursi, matanya melirik jam tangan mahal di pergelangan kiri.
“Kenapa harus ada kecelakaan di jam sibuk begini?” desisnya penuh kekesalan.
Di kursi depan, Danar, sopir sekaligus tangan kanan setianya, melirik melalui kaca spion.
“Sepertinya ada ambulans, Pak. Petugas belum datang, makanya macet tambah parah.”
Arsen mendengus, siap mengumpat. Namun sesuatu di luar jendela menarik perhatiannya kala itu.
Seorang gadis muda, mengenakan rok span hitam dan kemeja putih sederhana, berlari-lari kecil di tengah hiruk pikuk. Tumit sepatunya yang tinggi jelas tidak mendukung langkah sigapnya, tapi dia tetap lincah. Dengan kedua tangannya, ia mengatur arus kendaraan, melambaikan isyarat agar pengendara membuka jalur.
Aneh, Tidak ada seragam, bukan petugas, tapi semua orang menurutinya. Dalam tempo yang cukup cepat, jalur terbuka. Ambulans yang sebelumnya terjebak kini berhasil melaju, sirinenya meraung lega menembus keramaian.
Mata Arsen menyipit, ia diam memperhatikan. Awalnya dia sangat bosan, tapi gadis itu memberikan dia hiburan walaupun hanya sebentar.
Tak berhenti sampai di situ, ketika seorang pengendara motor, ibu-ibu terjatuh di sisi jalan, gadis itu langsung berlari menolong.
“Siapa dia?” gumam Arsen, lebih pada dirinya sendiri.
“Mungkin mahasiswa, atau pelamar kantoran yang kebetulan lewat, Pak.”
Mata Arsen berputar pelan, dia tidak suka orang yang suka ikut campur seperti Danar ini.
Padahal dia tidak sedang bertanya, kalaupun dia bertanya mana mungkin Danar tau orang itu siapa. Aneh.
** **
Setelah drama kemacetan terurai, mobil mereka akhirnya sampai di gedung perusahaan.
Arsen keluar bersama Danar. Mereka baru saja melewati lobi ketika tiba-tiba seseorang berlari kencang, menabrak lengan Arsen cukup keras.
“Ah! Maaf, maaf sekali, saya buru-buru!” katanya tergesa-gesa.
Awalnya Arsen akan marah, tapi saat menoleh. Ia melihat Gadis yang sama. Rambutnya agak berantakan, wajahnya berkeringat, kemeja putihnya kusut karena gerakan terburu-buru. Dia menunduk sebentar, lalu berlari lagi menuju arah lain.
“Eh! Kamu!” Danar sudah siap melontarkan teguran. “Kamu tahu siapa yang kamu tabrak barusan?”
“Sudahlah.” Arsen berucap datar. Dia terlihat baik-baik saja padahal, gadis itu menabraknya cukup keras.
Tentu saja Danar tercengang. Bosnya yang biasanya meledak hanya diam? Padahal, Arsen ini sangat suka marah pada orang yang tidak bertanggungjawab seperti gadis itu.
“Cari tahu siapa gadis itu.”
“Siap, Pak.”
** **
Di ruangan lain, tepatnya di lorong kantor HRD, gadis yang tadi terburu-buru kini tengah dimarahi.
“Kamu kira ini apa? Perusahaan besar ini butuh orang rapi, disiplin, dan sopan. Lihat dirimu sendiri! Berantakan! Kemeja kusut, wajah pucat, bahkan kamu hampir telat. Tidak sopan sekali!” bentak seorang staf HRD dengan nada tinggi.
Gadis itu menunduk dengan wajah memerah. “Saya minta maaf… saya hanya ... sungguh membutuhkan pekerjaan ini. Tolong beri saya kesempatan untuk ikut wawancara, Bu.”
“Kesempatan?” HRD itu mendengus. “Kami tidak bisa mempekerjakan orang ceroboh dan jorok sepertimu. Pulang saja. Waktumu habis.”
Air mata menggenang di sudut mata gadis itu. Dia menggenggam ujung rok span hitamnya, bibirnya bergetar. Dia butuh uang untuk biaya pengobatan pakdenya. Kalau gagal lagi, entah dari mana dia bisa mencari.
Karena dia juga masih baru lulus kuliah, mencari pekerjaan baginya tidaklah mudah, karena dia masih belum memiliki pengalaman.
“Pulanglah, kesempatanmu sudah tidak ada lagi. Jangan mengotori tempat ini,” katanya lantas berbalik.
“Sebentar.”
Suara seseorang terdengar dari arah lain. Sehingga, staf itu kembali menoleh.
Mata mereka melihat Danar yang berdiri di ujung lorong, Tatapan tajamnya membuat staf HRD itu spontan tersenyum canggung. “Pak Danar… ada apa ya?”
Namun Danar hanya melirik dingin. Dia jelas tidak suka HRD itu, Arsen juga pasti bisa melihat apa yang dilakukan si HRD dan bisa mendengar apa aja yang dia katakan.
“Biar dia ikut saya.”
“Eh, tapi...”
“Anda tidak perlu ikut campur!.”
HRD itu terdiam, tapi akhirnya mengangguk kaku. Matanya menatap lurus ke arah punggung gadis melamar pekerjaan itu dan juga punggung Danar.
“Apa ada yang kelewat, ya. Jangan-jangan gadis itu anak orang kaya gabut? Ya Tuhan, kenapa aku ceroboh sekali sih.” Dia menghentakkan kaki, tampak kesal karena tidak tahu, apa yang sedang terjadi.
Tak lama kemudian, pintu ruangan CEO terbuka. Aroma khas dan wangi kopi mahal menyeruak. Di balik meja kerja besar mengkilap itu, seorang pria dengan setelan abu-abu elegan mendongak dari berkas yang sedang ia baca.
Tatapannya jatuh pada gadis itu. Sunyi sesaat. Gadis itu menelan ludah, jantungnya berdetak kencang. Bukan karena apa, tapi lihat saja sendiri bagaimana wajah menyeramkan Arsen.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Arsen.
“Saya… melamar pekerjaan, Pak.”
Tuk! Tuk! Tuk!
Arsen mengetukan pulpen di atas meja, lalu menyilangkan tangan, masih dengan menatap gadis itu . “Ditolak HRD, bukan?”
Padahal sudah tahu, tapi malah bertanya, pikir Aluna. “Iya. Itu salah saya… saya datang dalam keadaan terburu-buru, jadi terlihat berantakan.”
Senyum tipis terbentuk di bibir Arsen. Senyum yang sulit ditebak artinya. Danar pun sampai melirik, masih bingung kenapa bosnya repot-repot dengan seorang pelamar biasa.
“Nama?” tanya Arsen.
“Alunna, Pak. Nama saya Alunna Laksita.”
“Alunna?” Arsen mengulang pelan, seperti dia sedang mencicipi bunyi nama itu. “Mulai besok, kamu bekerja di sini. Jadi sekretaris saya.”
“A… apa? Sekretaris, Bapak?” Alunna membelalakkan mata. Menatap pria di depannya dengan tatapan tidak percaya.
“Ya.” Tatapan Arsen mengunci matanya. “Kamu punya bakat lain yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Saya tidak butuh alasan HRD. Saya butuh orang yang berani mengambil keputusan cepat.”
Ini mimpi atau nyata? Batin Luna terus bergejolak.
Danar sendiri hampir kehilangan kata. Bosnya… sejak kapan merekrut orang dengan cara semau hati begini?
“Kayaknya harus manggil Pak Ustadz nih,” gumam Danar. “Pak Boss harus di-ruqyah. Masa gatel sama bibit cabe, gelisah banget njir. Kayak yang enggak ada cewek dewasa aja. ”
jadi maksudnya apa ya?????