Zakia Amrita. gadis cantik berusia 18 tahun, terpaksa harus menikah dengan anak pemilik pesantren Kais Al-mahri. karena perjodohan oleh orang tua Kais. sendiri, karena Pernikahan yang tidak di dasari Cinta itu, harus membuat Zakia menelan pahitnya pernikahan, saat suaminya Kais ternyata juga tidak memilik cinta untuk nya.
Apakah pernikahan karena perjodohan ini akan berlangsung lama, setelah Zakia tahu di hati suami nya, Kais memiliki wanita lain?
yuk baca Sampai Happy Ending.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Baru di puji sudah terbang.
"Ayo dong puji loh istri mu, ia sudah membuatkan sarapan kesukaan kamu." Umi Salimah melempar senyum ke arah Gus Kais.
"Terimakasih Zakia..." Ucap Gus Kais, sekilas melirik Zakia.
"Sama-Sama Gus." Zakia langsung senyum-senyum sendiri, baru di puji ia sudah begitu senang.
"Lah-Kia, kamu kok manggilnya masih Gus saja, pangil mas Kia jangan panggil Gus." Umi nampak menampi melirik Zakia dengan wajah seperti biasanya.
"Iya Umi, Kia masih canggung." ujar Gus Kais sembari mengusap lembut pundak Zakia.
Apa tidak tambah kebawa perasaan, saat Gus Kais mengusap pundaknya lembut, padahal itu semua adalah bagian skenario terjahat Gus Kais. Ia memperlakukan Zakia dengan lembut di depan Umi dan Abanya tapi saat di kamar, perang batin itu akan di mulai, Gus Kais membisu saat sedang berdua hanya dengan Zakia saja, ia begitu dingin hinga membeku.
Siapa sangka bukan, wajah setenang Gus Kais memberikan luka sehebat itu untuk Zakia.
.
.
Satu Bulan, pernikahan mereka berjalan, Gus Kais masih seperti biasa sibuk wara wiri ke Caffe Biru Laut-nya. dan juga bisnis ternak ikan nya.
Sementara kehadiran Zakia cukup bermanfaat bagi dirinya, karena Gus Kais bisa pulang hinga larut malam tampa di pintai kabar oleh Uminya karena di rumah pastinya sudah ada Zakia yang menemani dan merawat Bu Nyai Salimah, kehadiran nya cukup bisa di andalkan.
"Kais belum pula Kia? sudah jam sebelas siang ini Umi ada keperluan Loh." Umi nampak gelisah, terus memperhatikan ambang pintu.
Zakia yang sedang membereskan meja tamunya langsung menuju ke arah ibu mertuanya.
"Umi mau ada urusan?"
Umi Salimah hanya menggeleng membuat Zakia bertanya kembali.
"Lalu kenapa menunggu Mas Kais?" Zakia juga ikut menatap ke ambang pintu tampa ada siapa-pun.
"Umi mau minta belanjakan Buku ke toko Marwah, sama kitab juga, dari tadi Umi sudah kirim pesan tapi ngak di balas sama Kais."
"Oalah gitu, Umi yang tenang, mau Kia ambilan minum dulu?"
"Iya Kia, ambilkan tolong yah, Wedang Jahe. Umi yang ada di meja TV..." Ujar Bu Nyai Salimah, karena barusan saja ia hendak menonton acara TV tapi tidak jadi karena Gus Kais tidak kunjung pulang entah kemana.
Zakia masuk ke ruang TV. Gus Kais pulang terlihat Mobil hitam Pajero itu terparkir di bawah pohon Gelagah yang bunganya sudah mulai mengering.
"Assalamualaikum..." Gus Kais masuk kedalam rumah, menyalami Umi Salimah yang berdiri di dekat ambang pintu.
"Waalaikumsalam Le, darimana saja kamu? jam segini baru pulang." Umi Salimah menarik nafas berat khawatir anaknya kembali menemui Ayunda.
"Habis dari Caffe Umi, kebetulan tadi banya mahasiwa sedang seminar di Caffe, jadi Kais bantu para karyawan." Gus Kais berusaha bijak, padahal ia sedang berbohong karena Ayunda tadi minta ketemu tapi tidak ia hiraukan dan mereka berdebat lama di telfon.
"Yakin kamu ngak ketemu Ayunda?" Tatap Umi penuh intimidasi, namun suaranya sengaja ia lirihkan. Takut jika Zakia dengar
"Yakin Umi..." Gus Kais menunduk, namun ia nampak begitu gugup.
Beruntung Zakia datang membawa Wedang Jahe Umi, jadi Gus Kais tidak jadi di interogasi.
"Umi, ini Wedang Jahe nya." Zakia menyerahkan gelas yang langsung di terima Umi Salimah.
"Terimakasih Kia." Ucap Umi Salimah, namun sorot matanya masih sinis menatap Gus Kais.
"Mas sudah pulang?" Zakia yang melihat Gus Kais pulang, ia langsung meraih tangan suaminya itu.
"Iya..." lirih Gus Kais suaranya masih nampak samar, beruntung Umi tidak jadi marah saat melihat Zakia menyalami tangan Gus Kais. Gus Kais masih nampak tenang ia lupa hampir menepis tangan Zakia, beruntung Zakia yang paham situasi ia langsung mengenggam erat tangan Suami dinginnya itu.
"Tolong belikan Buku sama Mushaf yah sayang, anak baik, anak Shalehnya Umi." Umi Salimah memuji Zakia, membuat Zakia tersenyum haru.
Gus Kais hanya bisa terdiam saat di cueki oleh Uminya, mungkin insting seorang Umi tidak pernah salah, maka dari itu ia nampak marah saat menanyakan kemana tadinya pergi Gus Kais malah nampak berbohong.
"Ini catatan nya, kamu minta antar sama Bojo mu ini." Saat melirik Gus Kais. Umi juga nampak kembali melirik bengis.
Zakia sebetulnya juga heran kenapa Umi Salimah jadi ketus pada Gus Kais, padahal tadi baru saja di cari, giliran orangnya sudah di depan mata malah seolah beliau menatap Musuh.
"Jangan sampai ketingalan yah, tolong beli semua yang Umi cacat. Umi mau istirahat dulu sebelum Adzan Dzuhur" Umi berjalan pergi meningalkan Gus Kais dan Zakia.
Zakia membaca sekilas Catatan yang ada di tangan nya, beberapa kitab yang di pesan dan juga buku-buku untuk santri diniah.
Gus Kais tampa bicara langsung jalan dengan semrawut menuju mobilnya, tampa romatis membukakan pintu atau apa-pun itu, ia langsung masuk kedalam mobil membanting pintu mobil begitu kasar
Zakia sudah biasa dengan pemandangan itu, makanya ia nampak biasa saja bahkan tidak gentar, kaca mobil di bagian tempat Zakia duduk terbuka, para santri wati menoleh saat mobil yang di tumpangi Zakia lewat.
Tatapan mereka ada yang senang, ada yang sinis, bahkan ada yang langsung buang muka, namun sudah beberapa hari ini Zakia tidak melihat Melani.
Mungkin bagi sebagian santri ada yang berfikir Zakia adalah Gadis yang beruntung karean di nikahi anak pemilik pesantren, namun mereka salah! Justru setiap malam Zakia menangis dalam tidurnya tangisannya bukan karean merindukan Ibu dan Bapaknya lagi. Tapi karena setiap malam ia perang batin karena satu kamar namun seperti di dalam kamar hanya seorang diri karena mereka tidak saling bicara.
"Tutup kacanya, kayanya kamu seneng yah, kalau pernikahan pencitraan ini di pandang orang!" Ujar Gus Kais berdehem sinis.
Zakia tidak menjawab ia langusng menutu kaca mobilnya, dan sudah nampak seperti orang tuli, karena selama satu bulan ini hatinya sudah benar-benar terlatih, tapi bukan berarti hatinya juga tidak sedih.
Gus Kais kembali fokus menyetir mobilnya, sementara Zakia memalingkan wajah ke arah kaca mobil, hatinya seolah runtuh karean suminya yang mengatakan ijab Kabul, namun ia sendiri juga yang mengatakan pernikahan ini hanyalah pencitraan.
Bohong jika tidak menangis, meskipun sudah ia lapisi hatinya dengan kesabaran yang seluas samudra, tapi saat kata-kata yang di ucapan Gus Kais begitu melukai ia langsung menangis pilu dalam diam.
Alamat toko Marwah sudah dekat, namun tiba-tiba ponsel Gus Kais berdering, entah pangilan dari siapa?
Ia lngsung menghentikan laju mobilnya di tepi jalan dan keluar mengangkat telfon itu, samar suara seorang perempuan tertangkap telinga Zakia namun ia nampak terdiam pura-pura acuh. Padahal hatinya tercabik-cabik oleh tajamnya belati.