NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:324
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Alasan Untuk Menikah

Beberapa hari telah berlalu sejak kunjungan mereka ke makam mendiang ibu Yuna. Tapi bayangan pertemuan itu masih menghantui Rizal. Wajah Yuna yang menyimpan duka, suara lirihnya yang penuh keteguhan dan pengakuannya soal perjodohan yang tak diinginkan, semuanya melekat kuat dalam benaknya. Sejak hari itu, tidur Rizal tak pernah benar-benar nyenyak.

Ia tahu, waktu berjalan. Dan Yuna bisa saja dipaksa menikah kapan saja.

Siang itu, setelah memastikan jadwal rapat telah kosong, Rizal meminta asistennya menghubungi Yuna untuk datang ke ruangannya. Meski sempat ragu, Yuna akhirnya memenuhi panggilan itu. Ia melangkah masuk dengan tubuh tegap, namun mata yang tak mampu sepenuhnya menyembunyikan keraguan.

"Kamu sehat?" Rizal memulai, mencoba hangat.

"Alhamdulillah, Pak. Terima kasih sudah peduli." Yuna mengangguk.

Rizal mengangguk pelan, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela besar di balik mejanya. Beberapa saat ia terdiam, menatap langit Jakarta yang kelabu.

"Saya tahu kamu tidak nyaman dengan topik ini.” Ucapnya, tanpa menoleh.

"Tapi saya ingin bicara sebagai Rizal. Bukan sebagai atasanmu."

Yuna mengernyit, hatinya mulai gelisah.

"Saya tahu tentang rencana perjodohan itu, tidak sesuai dengan keinginanmu." lanjut Rizal.

Yuna menatap punggung pria itu, diam. Lalu perlahan berkata.

"Apa yang Bapak ingin sampaikan?"

Rizal berbalik, sorot matanya penuh tekad.

"Nikah sama saya, Yuna."

Ruang itu membeku. Yuna menatap Rizal, seolah tak percaya apa yang baru didengarnya.

"Apa...?"

“Kalau kamu memang harus menikah, kenapa bukan denganku saja, Yun?”

“Pak. Tolong, jangan bercanda.”

"Saya serius. Kita bisa menikah. Aku juga nggak mau terus-terusan didesak mama untuk menikah.”

"Pak Rizal... jangan. Tolong jangan lakukan ini." Yuna menggeleng cepat.

"Yuna...”

"Saya nggak mau Bapak terseret masalah hidup saya. Saya tahu siapa saya, dari keluarga mana, dengan masalah apa. Dan saya tidak ingin dikasihani."

Rizal menghela napas, lalu duduk di tepi mejanya.

"Saya tidak mengasihani kamu. Sama sekali tidak. Saya ingin membantu, karena saya peduli. Karena saya tahu kamu pantas bahagia."

"Itu bukan alasan untuk menikah, Pak."

"Kalau begitu biar saya tambahkan alasannya." Rizal berdiri lagi, mendekatinya.

"Saya menyukaimu, Yuna. Saya tahu ini terlambat dan mungkin kamu nggak percaya. Tapi sejak kamu masuk kantor ini, saya selalu menghargai keberadaanmu. Bukan sebagai bawahan, tapi sebagai perempuan yang kuat, jujur, dan luar biasa."

Yuna menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Saya... saya tidak tahu harus berkata apa."

"Katakan tidak jika memang kamu yakin ingin menikah dengan pria pilihan papimu itu. Tapi kalau sedikit saja kamu ingin bebas, ingin menjalani hidup dengan pilihanmu sendiri... izinkan saya jadi bagian dari itu."

Hening. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak pelan.

Akhirnya, Yuna bersuara. Lirih dan nyaris patah.

"Maaf pak, saya nggak bisa..."

"Kalau begitu, kita pelan-pelan. Saya tidak menuntut kamu untuk langsung mencintai saya. Saya hanya ingin kamu tahu... bahwa saya di sini. Untuk kamu."

Yuna menggeleng pelan, air matanya jatuh.

"Maafkan saya... Saya tetap nggak bisa."

Rizal tidak mendesaknya. Ia hanya menatapnya dengan penuh pengertian. Dalam hatinya, ia kecewa, tapi lebih dari itu, ia menghormati pilihan Yuna.

"Baiklah." Ucapnya akhirnya.

"Tapi tawaran ini tetap berlaku. Sampai kapan pun kamu butuh, saya akan tetap ada."

Yuna mengangguk, kemudian berbalik. Ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan Rizal yang tetap berdiri di tempatnya. Pandangan mereka tidak bertemu lagi, tapi perasaan mereka tak lagi bisa disangkal.

Dan untuk pertama kalinya, Yuna merasa... dirinya dilihat sebagai perempuan yang pantas diperjuangkan, bukan sekadar pion dalam rencana orang lain.

Meski sempat goyah, Yuna terus meyakinkan dirinya untuk tidak melibatkan Rizal dalam permasalahan hidupnya. Dia ingin, laki-laki itu bahagia walaupun bukan dengan dirinya.

Di luar, langit mulai cerah. Tapi di hati mereka, badai masih terus mencari tempat untuk mereda.

Yuna keluar dari ruangan Pak Rizal dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Matanya memerah, dan siapa pun yang melihat pasti bisa menebak, ia baru saja menangis. Meski ia mencoba tersenyum tipis saat melewati beberapa rekan kerja, senyum itu tak mampu menyembunyikan jejak air mata yang membasahi pipinya.

Langkahnya terhenti di depan toilet perempuan. Ia buru-buru masuk, mengabaikan bisik-bisik yang mengiringi punggungnya.

Kasihan banget, Yuna memang masih baru, tapi pekerjaannya selalu bagus...

Pak Rizal emang dikenal tegas sih, beliau kan nggak suka ada kesalahan sekecil apapun.

Meski ceroboh, tapi Yuna selalu bertanggungjawab kok...

Yuna berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Matanya sembap, hidungnya merah. Tapi bukan karena dimarahi. Bukan karena pekerjaan.

Ia menyalakan kran air, membasuh wajahnya berulang kali, seolah bisa mencuci perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.

"Aku nggak boleh kayak gini terus..." Bisiknya lirih, lebih untuk dirinya sendiri.

“Aku harus kuat!”

Tapi kenyataannya, hatinya sedang pecah pelan-pelan.

Barusan...

Pak Rizal. Syamsul Rizal Danantara, pria yang dulu pernah diam-diam ia sukai di SMA, yang sekarang jadi bosnya, mengajaknya menikah… laki-laki itu bahkan berkata satu kalimat yang membuat dinding pertahanannya runtuh.

Kalau kamu memang harus menikah, kenapa bukan denganku saja, Yun?

Kalimat itu tak disampaikan dengan tatapan main-main, bukan pula dengan intonasi bercanda. Serius. Lurus. Penuh keyakinan.

Dan justru karena itu, Yuna panik. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Perasaannya seperti dihempas gelombang dari segala arah. Ia hanya bisa berdiri kaku, kemudian pamit dengan suara gemetar dan air mata yang tak tertahan.

Ia menatap matanya sendiri di cermin. Berusaha mencari gadis SMA yang dulu pernah percaya bahwa cinta tak butuh logika. Tapi sekarang hidup terlalu rumit untuk sekadar mengikuti kata hati.

Lalu, dari balik pintu toilet, suara langkah seseorang mendekat. Pintu terbuka dan Ziva, rekan kerjanya sekaligus anak pemilik saham minor di perusahaan itu, masuk sambil melipat tangan.

"Yuna..." Ujarnya, alisnya terangkat setengah mengejek.

"Kamu nangis?"

Yuna langsung menegakkan tubuh.

"Nggak. Cuma masuk debu tadi."

Ziva terkekeh sinis.

"Debu dari mana? Dari ruangan Pak Rizal? Wah, kamu hebat juga ya. Baru sebentar kerja di sini, sudah berhasil bikin atasan kamu... emosional."

Nada suaranya menekan, seolah menyiratkan lebih dari sekadar gosip. Ada aroma cemburu, ada keinginan menjatuhkan.

Yuna menatapnya, kali ini tidak lagi menghindar.

"Aku nggak tahu kamu sedang insecure apa, Ziva. Tapi aku ke sini untuk kerja, bukan drama."

"Iya. Tapi kalau kamu mengira bisa naik jabatan cepat cuma karena wajah manis dan... tangisanmu itu, kamu salah alamat." Nadine menyipitkan mata.

"Tenang saja. Aku tahu batasku." Yuna tersenyum pahit.

Ia berjalan keluar dari toilet tanpa menunggu komentar lanjutan. Tapi dalam dadanya, ada nyeri yang makin menusuk. Perasaan terhadap Rizal belum selesai, tekanan dari Ziva mulai menghimpit dan di rumah… perjodohan itu masih membayang.

Namun yang tak Yuna tahu, dari balik pintu ruangan kaca, Rizal masih berdiri menatap ke arah lorong. Ia melihat Yuna menghilang ke arah toilet, mendengar sebagian bisik-bisik yang berseliweran.

Dan yang paling ia benci adalah, ia tidak bisa menyusulnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!