Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Florencia
Ia sudah paham dan sadar sepenuhnya bahwa ia adalah sebuah gelas kaca yang rapuh, gampang sekali pecah.
Ia adalah anak satu-satunya dari keluarga Sanata Halim, warga Tionghoa Hakka pulau Bangka, provinsi Bangka Belitung. Karena merupakan anak satu-satunya, perempuan pula, tak heran bila Florencia dimanja dan dijaga dengan sepenuh hati seperti sebutir telur dengan cangkangnya yang rapuh.
Anak laki-laki seharusnya menjadi harapan keluarganya, seperti rata-rata keluarga Tionghoa. Alasannya, keberadaan seorang anak laki-laki akan menjadi penerus marga atau nama keluarga sang ayah. Namun, apa mau dikata, anak laki-laki memang tak kunjung datang bagi mereka.
Alhasil Florencia mendapatkan kasih sayang yang menyeluruh. Sepertinya ia bahkan tidak kekurangan satu hal pun di dalam hidupnya. Pangan tercukupi, sandang bahkan lebih-lebih, Florencia dapat berkreasi dengan kemampuan ekonomi keluarganya tersebut. Pendidikan juga tidak perlu dipertanyakan lagi. Pilihan jurusan DKV adalah pilihannya sendiri yang diamini oleh kedua orang tuanya.
Namun, cinta yang diberikan dengan meimpah itu tidak pelak juga menimbulkan dampak yang pasti.
Kulit remaja Florencia yang putih bersinar, terang dan halus itu terbiasa tak terkena paparan sinar matahari yang kurang ajar. Jadi, Florencia menumbuhkan kulit yang sensitif dan tak kuat paparan mentari. Tubuhnya pun tak begitu mampu mentolerir udara panas dan gerah karena sedari kecil terpapar semburan udara dari pendingin ruangan, entah di rumah, entah di dalam mobil. Fisiknya juga lemah, tak mumpuni dalam olah raga. Orang tuanya tak rela membuatnya terjatuh atau bergulingan dengan peluh dalam setiap aktifitas fisik di sekolahnya. Selain itu, karena sudah terakomodir oleh ayah ibunya, Florencia tak pandai bersepeda, mengendarai motor, pun tak bisa menyetir mobil.
Maka, ia sendiri mengakui menjadi sosok sebuah gelas yang rawan retak dan pecah.
Kulitnya memerah bila dipaksa berpanas-panasan. Ketika terantuk sesuatu, kulitnya yang seputih pualam itu akan langsung membiru, melegam gelap. Panas dan pengap dalam waktu lama akan membuat Florencia sakit kepala dan jatuh sakit. Apalagi air hujan yang turun memukuli kepalanya, influenza dan demam sudah pasti menunggu.
Entah dimulai dari kapan dan bagaimana, Florencia juga sadar bahwa ia menderita ADHD, Attention Deficit Hyperactivity Disorder, alias gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas. Sulit baginya untuk memusatkan perhatian, mengendalikan impuls, dan mengatur tingkat aktifitas. Florencia sulit berhenti bergerak, diam barang sejenak, dan memusatkan perhatian, tetapi banyak bicara di saat yang sama. Ia memang introver, mungkin disebabkan semacam batasan di dalam keluarganya semenjak ia kecil. Keistimewaan yang diberikan keluarga, ternyata membuatnya tak mampu mengembangkan keterampilan sosial dengan baik. Ditambah ADHD, Florencia buruk dalam hal komunikasi, terutama dengan banyak orang. Makanya, ketika ia bicara, ia dikenal cenderung bersikap kurang pantas – kadang dianggap agak kurang ajar – memotong pembicaraan, mengalihkan topik sekena dan sesuka hati, atau melakukan tindakan tertentu yang kurang menyenangkan. Itu semua karena didorong oleh impulsivitas, alias tindakan-tindakan yang tak dapat dikontrol. Apa yang lewat di dalam otaknya memiliki kecenderungan untuk dilakukan atau dilepaskan begitu saja tanpa mempertimbangakan dampak sosialnya.
Suara altonya, yang rendah dan datar itu malah terdengar nyaring, mendengung, kadang mengganggu orang lain dengan volumenya. Apalagi ia sulit bisa diam. Bergerak terus, melakukan tindakan yang sepertinya tidak perlu.
Walhasil, pekerjaan seni sangat membantunya untuk berfokus dan memusatkan perhatian.
Kalau sudah bergelut dengan lukisan atau desainnya di komputer, Florencia dapat diam tenteram.
Itu sebabnya gadis tersebut juga ekspresif dalam berbusana. Secara tak sadar mungkin itu caranya untuk mengembangkan keterampilan diri dan meningkatkan fungsi sosial.
Florencia lega ia bisa diterima di DisPLAY Media. Kantor media ini begitu besar, bonafit dan sedang naik daun beberapa tahun terakhir. Florencia cerdas, pintar, termasuk exceptional. Tidak sulit baginya untuk lulus tes wawancara dan keterampilan. Dengan tidak terlalu banyak pengalaman di CV-nya, kepiawaiannya di dalam bidang yang ia unggulkan saja sudah cukup untuk meyakinkan kantor media tersebut untuk meminangnya sebagai salah satu pegawai.
Di satu sisi, Florencia sangat berharap bahwa DisPLAY media dapat menjadi penangkaran bakat dan minatnya terhadap seni. Media besar itu terbukti memberikan banyak hal yang menarik perhatiannya selama ini.
Di sisi lain, walau ia adalah anak tunggal keluarga Halim dari Bangka yang cukup dimanja, tidak ada yang bisa menyangkal posisinya sebagai generasi terakhir sandwich generation yang kebetulan adalah generasi awal Gen-Z pula.
Kedua orang tuanya kelak akan menjadi tua dan tidak produktif lagi. Segala privilese yang ia dapatkan selama hidupnya harus berbalas. Dengan mendapatkan pekerjaan, perlahan-lahan ia sudah harus menyumbangkan sesuatu kepada kedua orang tuanya, terutama sang ayah yang bekerja selama ini, menjadi tulang punggung keluarga. Ini adalah beban budaya yang mau tidak mau harus ia sadari, dan memang sedikit banyak ia terima. Ini adalah dunia yang ia tahu.
“Pernikahan bukan cita-citaku, Pak. Kayaknya, aku juga nggak bakal kawin, sih.”
“Lho, kenapa memangnya? Trauma? Pacar zaman dulu?”
“Nggak lah, Pak. Males aja, lah. Eh, lihat gantungan tasku, Pak. Beruang, tapi telinganya agak mirip kucing, aneh nggak, sih? Tapi lucu banget, tauk.”
Walau sudah terbiasa, Sang tetap menggeleng pendek dengan perilaku Florencia yang secara acak menambahkan tema dalam kalimatnya, yang tidak berhubungan. Tetap saja Sang berusaha mengabaikannya dan kembali ke topik awal. “Kok, bisa males?”
“Kok maksa aku kawin, Pak?”
Sang mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, sedikit jengkel. “Bukan maksa, Florencia Halim. Kan kamu yang membuka percakapan, bilang kalau nggak mau kawin. Saya kan butuh informasi lengkap, alasan atau latar belakang pernyataan kamu itu tadi.”
Florencia terkekeh. “Iya juga, ya, Pak.”
“Ya terus?” ujar Sang agak naik pitam.
“Apanya? Oh, alasannya. Iya, Pak. Jadi, kayaknya nggak cocok aja.”
Sang Rakyan menyerah.
Begitulah gambaran jenis percakapan rata-rata antara Sang dan Florencia.
Namun, suatu saat, tepat ketika Sang sedang merasakan ambruk pertama kali, baik secara fisik maupun mental, ketika ia sedang kehabisan energi, Florencia, untuk pertama kalinya berbicara dengan cara yang berbeda.
“Mungkin Bapak stres?”
“Kelihatan capeknya, ya?”
Florencia mengangguk pelan. “Ke gereja, Pak. Berdoa. Kalau di Buddha, berdoa memang bukan memohon kepada Tuhan, tetapi sebagai bentuk mawas diri, mengembalikan kesadaran akan hakikat kehidupan.”
“Ya, pada dasarnya sama-sama berdoa untuk memberikan keringanan emosional, kan?” respon Sang.
Florencia mengangguk. “Sebenarnya aku nggak taat-taat amat, sih, Pak. Makanya aku ambil jalan tengah, mencoba melakukan kebaikan sebanyak mungkin. Bukan buat masuk surga, karena toh konsep surga di Buddha berbeda dengan agama samawi. Tapi, buat hati dan jiwa tenang. Karena kebaikan itu adalah jalan untuk mencapai kebaikan itu sendiri. Kalau konsep di Katolik, gimana, Pak?”
Hmm … percakapan random yang menarik, pikir Sang.
“Kurang lebih. Jadi, surga tidak bisa dicapai dengan cara berpura-pura. Maksudnya ketika kita berniat untuk melakukan tindakan baik, itu artinya harus tulus, tidak bisa dipalsukan. Penilainya kan Tuhan. Kalau di Buddha ya karma, dong, ya?”
“Iya, Pak. Tapi jangan berharap banyak dengan percakapan ini. Aku udah bilang kalau aku nggak taat, kan?”
“Saya juga, sih,” balas Sang.
Keduanya tertawa. Cukup lama. Ditambah dengan beragam lelucon lainnya, yang receh, acak, maupun garing.
Mendadak pula seorang Florencia memberikan citra tertentu bagi Sang. Tidak melulu seorang gadis yang aneh, unik dan acak, kadang juga polos. Kecerdasan Florencia perlahan mendapatkan perhatian dari Sang. Apalagi, Sang mulai mengembangkan cara berkomunikasi dengan gadis unik ini, menyesuaikan diri serta mencoba semakin memaklumi agar tetap berjalan di track yang sama.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk