Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pertemuan
Begitu keluar dari bilik ATM, jemari Kevia langsung mengetik pesan singkat pada nomor yang tertera di secarik kertas tadi.
> Aku sudah mengambil uang yang kita sepakati. Sisanya, akan aku kembalikan. Di mana kita bisa bertemu?
Tak lama, centang dua berubah biru. Balasan pun datang cepat.
> Baru beberapa jam kita berpisah dan kau sudah rindu?
Mata Kevia membulat, wajahnya memanas penuh amarah. “Rindu kepalamu!” gerutunya, jari-jarinya menari cepat di layar ponsel.
> Siapa yang rindu sama kamu?! Aku hanya ingin mengembalikan uangmu.
Balasan datang lebih cepat lagi, seolah pria itu memang sedang menunggunya.
> Aku tak akan mengambil kembali apa yang sudah kuberikan pada calon istriku. Kalau kurang, aku transfer lagi.
Kevia hampir saja melempar ponselnya ke aspal. “Diaaa… dasar sinting!” desisnya sambil mendengus keras, wajahnya merah padam menahan amarah. Jemarinya menari cepat di layar ponsel, seolah huruf-huruf itu adalah pelampiasan rasa kesalnya.
> Aku bukan calon istrimu!
Balasan kembali masuk dalam hitungan detik.
> Sebentar lagi kau jadi istriku.
Mata Kevia melotot. “Dasar gila!” gumamnya sambil menghentakkan kaki di trotoar, lalu buru-buru mengetik lagi.
> Mimpi!
Namun balasan berikutnya membuat darahnya makin mendidih.
> Sayang, semua hal indah itu dibangun dari mimpi.
“ARRGHHH!!” Kevia mendongak ke langit, seakan protes kepada semesta. Tak tahan lagi, ia menendang tiang listrik di sampingnya. Tiang itu bergetar dan berdengung pelan, tapi rasa sakit langsung menjalar di ujung kakinya.
“Aduh! Sialan, sakit!” Kevia meringis sambil mengangkat-angkat kaki yang barusan jadi korban. “Kenapa juga aku harus berantem sama benda mati?! Tiang pun jadi korban!”
Beberapa orang yang melintas melirik ke arahnya. Ada yang berbisik-bisik, ada pula yang menahan senyum geli. Kevia menundukkan kepala, pipinya merona malu, lalu menggerutu pelan.
“Bagus, Kevia. Sekarang kau terlihat kayak orang gila di depan umum…”
Ia menghela napas dalam mencoba mengontrol emosi. “Udah… udah, blokir aja biar hidup tenang.” Ia mengangguk sendiri, jempolnya bersiap menekan tombol block.
Tapi sebelum sempat, pesan baru masuk.
> Kalau kau blokir nomorku, aku akan menemui orang tuamu dan mengatakan kalau semalam kita sudah melakukan malam pertama. Dan kau yang berinisiatif menciumku duluan.
“What?!” Suara Kevia melengking, membuat seekor burung merpati yang bertengger di kabel langsung terbang kaget. Dada Kevia naik-turun menahan emosi. “Dasar pria gila… sumpah aku bakal nonjok wajahmu kalau ketemu!” geramnya, lalu buru-buru mematikan ponselnya sebelum emosinya meledak lebih jauh.
Ia menekan dadanya, berusaha mengatur napas. “Aku harus segera ke rumah sakit…” gumamnya, melangkah cepat. Tapi langkahnya terhenti lagi, tubuhnya membeku. “Bagaimana kalau Ayah menanyakan dari mana uang ini? Aku… harus jawab apa?”
Kebingungan merayapi wajahnya. Hingga sebuah ide tiba-tiba muncul.
Kevia menoleh, pandangannya jatuh pada sebuah apotek di seberang jalan. Ia masuk, membeli plester luka dan sebuah jarum kecil.
Di luar, di bawah cahaya mentari yang hangat, Kevia menarik napas panjang. Dengan sedikit ragu, ia menusukkan jarum itu ke tangannya. Perih seketika menjalar, setitik darah muncul. Ia buru-buru menutupnya dengan plester, menatap hasilnya dengan senyum getir.
“Setidaknya… ini bisa jadi alasan kalau Ayah bertanya,” bisiknya lirih.
Namun jauh di dalam hatinya, Kevia sadar, apa pun alasannya, ia baru saja melangkah lebih dalam ke lingkaran misterius pria itu.
Kevia bergegas menuju rumah sakit. Jantungnya berdentum, langkahnya tergesa melewati koridor hingga pandangannya tertumbuk pada sosok ayah yang hendak keluar dari pintu utama.
“Yah! Ayah mau ke mana?” serunya, sedikit terengah.
Ardi menoleh. Wajahnya penuh lelah, kantong matanya menghitam. “Kebetulan kamu datang, Kevia.” Suaranya serak. “Tolong jaga ibumu, ya. Ayah mau cari uang untuk menebus obat ibumu.”
Ardi hendak melangkah, tapi Kevia cepat menahan lengannya. “Yah, gak perlu… Ayah jaga saja Ibu. Aku sudah dapat uang untuk menebus obat.”
Ardi membeku. Tatapannya meneliti wajah putrinya, baru sadar betapa pucat paras gadis itu. Ia menelan ludah, suaranya terdengar ragu sekaligus cemas.
“Dari mana kamu dapat uang itu? Kenapa wajahmu pucat begini, Nak?”
Kevia menarik ayahnya ke bangku di bawah pohon rindang halaman rumah sakit. Napasnya bergetar, tapi senyumnya dipaksakan. “Semalam… aku nyari kerja serabutan di warung pinggir jalan. Gak sengaja aku lihat ada orang kecelakaan. Aku bantu dia, Yah. Bahkan aku mendonorkan darahku karena stok darah kosong."
Ardi tertegun. Wajah putrinya memang pucat, lalu pandangannya turun ke tangan Kevia. Plester kecil yang menempel di sana seolah menjadi bukti tak terbantahkan. Ia hanya bisa menghela napas panjang.
Kevia melanjutkan. "Tak disangka… mereka memberiku uang.”
Ardi menelan ludah. “Kamu… dapat uang berapa?”
Kevia menunduk, menggenggam erat roknya. “Seratus juta,” jawabnya pelan, mencoba tersenyum.
“Apa?!” Ardi membelalak, tubuhnya seolah diguncang badai. “Se… seratus juta? Kamu gak bohong, 'kan?”
“Enggak, Yah.” Kevia menggeleng cepat.
Ardi terdiam, menatap ponsel di genggaman putrinya. “Coba Ayah lihat mobile bankingmu…”
Kevia tersentak, buru-buru menyembunyikan layar ponselnya. “Ah… ponselku habis baterai, Yah. Tapi beneran, uangnya ada. Nih…” Ia membuka tasnya, mengeluarkan segepok uang tunai dan menyodorkan ke ayahnya. “Aku sudah ambil sebagian buat obat Ibu, juga kebutuhan mendesak lainnya.”
Ardi tercekat. Tangannya bergetar saat menerima uang itu. Ia menatap wajah pucat putrinya, lalu mengelus rambutnya penuh iba. “Kevia… berapa banyak darah yang kamu donorkan sampai pucat begini?”
Kevia menunduk, menggenggam tangan ayahnya erat. “Cuma sedikit lebih banyak dari seharusnya, Yah. Aku ikhlas kok. Mereka cuma ngasih sebagai ucapan terima kasih.”
Ardi meraba tangan Kevia yang diplester, dadanya sesak. “Pulanglah untuk istirahat. Biar Ayah yang jaga Ibu.”
Kevia menelan ludah, mencoba menahan air matanya. “Hari ini aku harus urus kuliahku, Yah…”
Ardi menatapnya penuh kasih. “Kau yakin sanggup? Wajahmu pucat, Sayang.”
Kevia mengangguk, meski tubuhnya gemetar. “Aku masih kuat, Yah.”
Ardi hanya bisa menghela napas, percaya pada putrinya yang selama ini tak pernah berbohong. Tak tahu, kepucatan wajah Kevia bukan karena donor darah… melainkan karena malam penuh rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat.
***
Sore itu, Kevia melangkah menyusuri trotoar. Ia baru saja menutup telepon dari pihak kampus dan menyelipkan ponselnya ke dalam tas ketika—
Bugh!
“Akh!” serunya terhuyung ke belakang.
“Maaf!” suara berat seorang pria menyusul cepat.
Seorang pria yang berdiri di pinggir trotoar tiba-tiba berbalik, langkahnya tanpa sengaja menabrak tubuh Kevia. Gadis itu hampir jatuh, namun tangan kokoh pria itu sigap meraih pinggangnya.
Waktu seakan melambat. Tatapan mereka bertemu. Mata hitam pekat pria itu menahan, sementara Kevia membelalakkan matanya.
“Om…?” gumamnya lirih, nyaris tercekat. Kedua matanya berkilat, berbinar penuh pengakuan.
Pria itu, Yoga, mengernyit pelan. “Kau… mengenalku?” tanyanya, perlahan melepaskan genggamannya agar gadis itu tak terjatuh.
“Tentu saja,” Kevia mengangguk cepat, senyum cerianya merekah tulus. “Om pernah menyelamatkan nyawaku.”
Alis Yoga berkerut, seolah menggali memori yang lama terkubur. “Menyelamatkanmu?”
“Iya,” Kevia mengangguk penuh semangat. “Sekitar lima setengah tahun lalu. Om mengantarku pulang saat aku hampir tertabrak mobil. Dan… Om juga yang menyelamatkanku waktu hampir jatuh dari jembatan penyeberangan. Waktu itu, aku masih SMP.”
Sejenak hening. Lalu, senyum tipis menyelinap di wajah Yoga. Senyum yang perlahan melebar, menyingkap ketulusan yang jarang ia tunjukkan.
“Jadi… kau gadis kecil itu?” suaranya sarat rasa takjub. “Astaga, pantas saja aku tak mengenalimu lagi. Kau sudah tumbuh… dan semakin cantik.”
Pipi Kevia memerah, senyum kikuknya tak bisa disembunyikan. Ia menunduk, menatap ujung sepatunya, tapi jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Tanpa banyak pikir, Yoga meraih tangannya dengan alami. “Ayo… kita ngobrol sebentar,” ajaknya lembut namun pasti.
Kevia hanya tersenyum, lalu mengikuti langkah pria itu. Wajahnya berbinar, langkahnya ringan.
Kebetulan kafe mungil di sudut jalan seolah menjadi saksi pertemuan yang tak pernah ia duga.
“Gadis kecil, pesanlah apa saja,” ujar Yoga dengan senyum hangat yang membuat wajahnya tampak teduh.
Kevia mengangguk sambil membalas dengan senyuman ceria. Mereka pun memesan minuman dan makanan ringan.
Tak lama setelah pelayan meninggalkan meja, Yoga membuka percakapan. “Kenapa setelah menolong aku tempo hari, kamu malah menghilang?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰