NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Anti Gores & Goresan Lama

Hari itu seharusnya jadi hari libur nasional.

Tapi Alaric, dengan jubah tidur berwarna kelabu dan rambut masih acak, tetap membawa smartphonenya ke mana-mana—siap membalas jika ada masalah dari tim atau investor.

Ia melangkah malas keluar dari kamar utama, menguap sebentar, lalu berjalan menuju apartemen seberang. Alaric tahu kode pintu Renzo—hubungan mereka terlalu dekat untuk memikirkan privasi konvensional.

“Ren?” panggilnya sambil menguap kecil.

“Lo udah bangun?”

Tak ada jawaban.

Langkah kaki Alaric bergerak lebih dalam ke apartemen.

Pintu kamar Renzo terbuka sedikit—celah kecil mengintip ruangan dalam yang masih diselimuti cahaya lembut dari tirai yang belum dibuka.

Alaric mendorong pintu dengan pelan.

“Ren, lo tidur lagi atau—”

Suara dari dalam menghentikannya.

Suara desahan dari laptop yang menyala di atas meja dekat jendela.

Layarnya menampilkan film dewasa—adegan panas yang berjalan tanpa jeda.

Renzo duduk bersandar di kursi, mengenakan hoodie longgar dan celana pendek, satu kaki menekuk di atas kursi. Wajahnya menoleh pelan ke arah pintu dan matanya langsung bertemu dengan milik Alaric.

Kaget.

Alaric berdiri kaku di ambang pintu, tak sempat berpaling.

“Ren…” gumamnya pelan, tenggorokannya bergerak menelan ludah.

Tapi sebelum ia bisa melangkah mundur, Renzo berdiri cepat dan mendekat—dalam satu gerakan, menggenggam pergelangan tangan Alaric erat-erat.

“Jangan pergi!”

Suara itu rendah. Serius.

Tapi bukan marah. Bukan juga takut.

Alaric menatapnya—lalu melirik ke meja.

Di sana, tepat di samping laptop yang menampilkan adegan panas itu, ada secarik kertas kecil.

Tampaknya robekan dari majalah atau hasil cetak asal-asalan. Tapi yang ada di situ adalah foto dirinya—Alaric—berdiri di atas panggung saat peluncuran produk, mengenakan setelan gelap, tersenyum tipis.

Alaric terdiam. Napasnya tertahan.

“Lo…” bisiknya, “nonton ini sambil lihat foto gue?”

Renzo tidak menjawab. Tapi genggamannya tak melemah sedikit pun.

Alaric menunduk, mata mereka bertemu.

Suasana hening—hanya suara dari laptop yang kini pelan, samar tapi makin menyesakkan.

“Ren...” desis Alaric, setengah antara marah, bingung, dan gemetar.

“Gue cuma…” Renzo menelan ludahnya sendiri, “...nggak tahu cara lain untuk bikin lo lihat gue—sebagai laki-laki. Bukan adik sepupu.”

Dan detik itu juga, semuanya terasa terlalu sempit. Ruangan. Udara. Jarak di antara mereka. Dan untuk pertama kalinya, Alaric tidak tahu harus mundur, atau mendekat.

Udara kamar masih terasa berat. Tangan Renzo masih mencengkeram pergelangan Alaric, dan mata mereka terkunci dalam tatapan yang sulit diterjemahkan. Tapi bukan hanya desahan dari laptop yang memanaskan suasana melainkan kenyataan bahwa foto Alaric di meja itu bukan sekadar koleksi.

Beberapa detik terdiam sampai Alaric perlahan menarik tangannya. Tak dengan kasar, tapi cukup untuk membuat Renzo mengecap perasaan ditinggal.

Namun tak seperti dugaan Renzo—Alaric tidak pergi.

Sebaliknya, pria itu menghela napas pelan lalu menunjuk ke arah dapur sambil mengusap lehernya yang menegang.

“Gue belum makan. Dan kulkas di apart gue kosong. Mommy lo kasih banyak lauk waktu itu.”

Renzo masih diam. Matanya masih panas karena apa yang nyaris terjadi. Tapi suaranya mengejar dengan nada rendah, “filmnya tinggal sepuluh menit lagi…”

Tanpa basa-basi, Alaric melangkah ke meja dan menutup laptop dengan satu gerakan. 

“Lanjutin nanti. Lo bisa mimpiin gue pas tidur siang,” ejek Alaric datar, meski sudut bibirnya sedikit terangkat.

“Bang…” rengek Renzo, menahan lengan Alaric sejenak, matanya memelas.

Alaric tidak menjawab. Tapi mendadak, Renzo menarik tubuhnya ke pelukan cepat—hangat, erat, dan terlalu dalam untuk disebut hanya pelukan sepupu.

“Sebentar aja…” bisiknya di dada Alaric. “Biar gue tenang.”

Alaric tidak mendorongnya. Justru, untuk beberapa detik, ia membiarkan pelukan itu menetap. Tangannya bahkan sempat naik menyentuh punggung Renzo tapi tak sampai memeluk balik. Hanya singgah.

Lalu, dengan nada tenang, “ayo makan. Sebelum lo malah nyalain film lain.”

Renzo tertawa kecil. Ia melepaskan pelukannya dan akhirnya berjalan mengikuti Alaric menuju dapur, langkahnya ringan meski jantungnya masih berat.

Kulkas dibuka. Uap dingin menyembur. Di dalamnya ada berbagai wadah bekal dari rumah, rapi berjejer—berisi rendang, ayam kecap, sambal goreng kentang, dan tahu isi buatan mommy-nya Renzo.

“Lo pilih, gue panasin,” ujar Alaric sambil menggulung lengan jubahnya.

“Tiba-tiba jadi suami ideal?” Renzo menyenggol pinggang Alaric dengan siku, lalu menunduk membuka satu kotak. “Kalau gini, gue rela batal nonton film sampai minggu depan.”

Alaric menahan senyum. Tapi dalam hatinya, ia tahu, hubungan ini sudah melangkah terlalu jauh. Tapi untuk sekarang, mereka masih bisa bersembunyi di balik aroma nasi panas dan lauk dari rumah.

...***...

Nasi putih mengepul hangat di dua piring. Di atasnya, lauk dari rumah—ayam kecap dan sambal goreng kentang—sudah ditata rapi oleh tangan Alaric sendiri. Wangi masakan rumah membuat dapur apartemen terasa lebih hidup dari biasanya.

Renzo duduk di bar stool sambil mengaduk pelan nasi di piringnya. Matanya melirik Alaric yang duduk di seberang, menyeruput kopi dan menyendok ayam dengan tenang.

“Lo nggak berubah, ya,” gumam Renzo, “Sibuk, dingin, tapi masih ingat lauk yang gue simpan di kulkas.”

Alaric hanya mengangkat alis tipis. “Gue ingat semua yang penting. Termasuk lo udah pilih divisi mana di Alverio.”

Renzo mengangkat bahu santai. “Gue mau pegang divisi pemasaran dan sosial media. Sesuatu yang interaktif.”

“Lo cocok di situ.” Alaric mengangguk, lalu, “gue bakal bawa lo ke kantor kapanpun lo siap. Tapi gue serius, Ren. Gue nggak mau lo cuma numpang nama. Gue butuh lo kerja beneran.”

“Gue tahu, Bang…” Renzo menunduk sebentar. “Tapi kadang gue mikir, kenapa harus gue?”

“Karena lo punya otak. Dan karena lo keluarga,” jawab Alaric tanpa ragu.

Renzo menatap piringnya, jari-jarinya memainkan garpu. Lalu, dengan suara lebih pelan, ia berkata, “atau… karena lo pikir gue waras, satu-satunya yang nggak mau rebut Alverio dari lo.”

Kalimat itu membuat Alaric diam. Matanya bergerak ke arah Renzo—perlahan, tajam, tapi tidak marah. Hanya mencoba membaca apa yang tersirat.

“Lo sadar…” gumam Alaric.

Renzo tertawa pelan—pahit. “Gue selalu sadar, Bang. Sejak kecil, gue tahu lo yang diincar semua orang. Paling pintar, paling tenang, paling bisa bawa nama keluarga. Dan gue juga tahu lo yang paling menginginkan Alverio.”

Ia mendongak, menatap Alaric langsung. “Makanya gue nggak pernah rebutan. Bahkan kalau semua orang bilang seharusnya gue pewarisnya, gue tetap diam. Karena gue… sayang sama lo lebih dari siapa pun.”

Suasana di dapur mendadak hening.

Bukan karena tak ada kata—tapi karena semua makna sudah terlanjur diletakkan di antara nasi dan lauk yang belum habis.

Alaric menatap Renzo dalam. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada kalimat keluar.

“Gue nggak mau pegang Alverio Group…” lanjut Renzo. “Kalau artinya gue harus lihat lo kehilangan itu.”

Beberapa detik hening sampai akhirnya Alaric menarik napas dalam. Ia berdiri, melangkah pelan ke belakang Renzo, lalu meletakkan tangan di atas bahunya.

“Gue gak minta lo menyerah. Tapi kalau lo mau berdiri di samping gue, bukan di belakang… gue gak akan nolak.”

Renzo menoleh setengah. Mata mereka bertemu.

“Samping lo cukup?” bisik Renzo. “Bukan di tempat tidur lo?”

Alaric tidak menjawab.

Tapi genggaman di bahu itu menegang sedikit lalu mengendur dengan pelan.

Dan untuk sementara waktu—cukup bagi mereka menyelesaikan sarapan, sebelum dunia di luar sana kembali menuntut jawaban yang lebih besar dari sekadar siapa yang layak duduk di kursi CEO.

***

Pemutaran perdana film ‘Senior Nakal’ digelar di salah satu bioskop elite—interiornya berdesain futuristik dengan langit-langit tinggi dan lampu sorot lembut warna emas. Karpet merah membentang dari lobi utama ke aula dalam, tempat para tamu undangan disambut dengan sorotan kamera dan bisikan wartawan.

Aluna adalah pusat perhatian. Mengenakan gaun hitam dengan belahan kaki tinggi dan bagian punggung terbuka, rambut disanggul elegan, bibirnya merah darah—penampilannya mengundang decak kagum, seolah tuduhan pembunuhan masa lalu hanyalah plot film lama.

Tamu undangan malam itu terdiri dari kalangan artis, sutradara, produser, kritikus film, dan tentu saja sponsor utama: Alverio Beauty.

Di sisi kiri aula, Alaric dan Renzo memasuki ruangan nyaris bersamaan. Alaric mengenakan setelan biru gelap khas CEO, sementara Renzo tampil lebih santai dengan blazer krem dan celana hitam. Mereka duduk di barisan kedua dari depan, tempat khusus VIP.

Ruang teater padam perlahan, hanya menyisakan semburat cahaya dari layar raksasa yang mulai memutar film.

Di layar, Aluna muncul sebagai karakter murid SMA penuh rahasia. Tegang. Liar. Menggoda.

Beberapa menit berjalan lancar—hingga adegan memasuki babak klimaks.

Ranjang UKS. Kemeja seragam terbuka. Napas berat. Ciuman tanpa jeda.

Alaric menggenggam lututnya erat. Pundaknya kaku. Ia tak berkedip saat melihat tubuh Aluna menegang dalam pelukan aktor pria. Gerakan mereka ritmis, audio film memperjelas semua—erangan tertahan, bisikan nama, dan dengusan akhir yang terlalu nyata untuk adegan semata.

Desir itu datang tiba-tiba.

Samar. Tapi tajam.

Alaric menelan ludah, merasa aneh. Dadanya sempit. Ia tahu ini hanya akting. Ia tahu pernikahan mereka hanya demi warisan. Tapi kenapa rasanya seperti—pengkhianatan?

Matanya kemudian menoleh ke kursi depan.

Aluna sedang berbisik di telinga lawan mainnya, si aktor pria itu. Mereka tertawa kecil. Lalu berbisik lagi.

Rahang Alaric mengeras. Tangannya mengepal di atas lutut, tak menyadari gerak tubuhnya yang sedikit maju ke depan seolah ingin mendengar isi bisikan itu.

“Bang.”

Suara di sampingnya pelan, tapi menusuk.

Renzo menatap Alaric lekat-lekat. Wajahnya tak lagi santai. Mata tajamnya membaca ekspresi Alaric seperti membuka lembar demi lembar yang tersembunyi.

“Lo sadar, ‘kan?” bisiknya. “Lo nggak lagi lihat dia cuma sebagai tahanan.”

Alaric tak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke layar, meski adegan ranjang sudah berganti ke suasana kelas dan dialog serius.

“Kalau lo berubah…” lanjut Renzo, pelan tapi penuh tekanan, “...gue harus siap berubah juga.”

Alaric akhirnya menoleh. Menatap Renzo yang kini tak lagi tersenyum.

Dan untuk pertama kalinya—tak ada yang bisa Alaric sangkal. Karena malam itu, di ruang gelap bioskop yang penuh penonton, ia jatuh pada satu kesadaran baru: Aluna bukan lagi sekadar alat warisan.

Dan Renzo mulai membaca celah itu lebih dulu.

...***...

Suara langkah Alaric menggema ringan di lorong luar toilet bioskop. Smartphone menempel di telinga, suaranya datar membahas revisi kontrak dengan rekan kerjanya.

“Kalau vendor lambat, ganti saja. Saya nggak mau drama di peluncuran minggu depan.”

Ia nyaris tak melihat apa pun—sampai tubuhnya menabrak seseorang dari sisi kanan.

“Akh—”

Sebuah smartphone terlempar ke lantai. 

Alaric menunduk cepat, lebih dulu mengambil smartphone itu sebelum si pemilik sempat membungkuk.

Gaun hitam. Belahan tinggi di paha. Punggung terbuka. Aluna. Tentu saja.

“Itu punyaku,” gumam Aluna, tangannya terulur.

Alaric tetap memegang smartphone itu di tangan kirinya, tangan kanan masih sibuk menopang smartphonenya sendiri ke telinga.

“Ya, ya... Kirim ulang berkasnya ke E-mail sekretaris saya.”

Nada suaranya tenang, tapi matanya sempat melirik ke arah Aluna yang mendelik kesal.

Aluna berdiri diam di depan toilet, menunggu. Beberapa orang lewat, menatap mereka sekilas. Tapi Aluna tetap di tempat, tak ada pilihan lain.

“Alaric, minggir. Kamu nutup jalan,” cetus Aluna sambil menarik lengan jas pria itu.

Tapi Alaric hanya mengangkat alis tanpa bergerak.

Setelah lima menit berlalu, Alaric akhirnya menurunkan smartphonenya.

“Untung masih nyala,” katanya sambil mengangkat smartphone Aluna. “Tapi anti goresnya pecah. Nanti aku gantiin.”

Aluna menyambar smartphonenya dengan cepat. “Bisa minta ganti rugi ke asuransi juga, mungkin.”

“Atau kamu laporkan aku ke polisi?” Alaric menyeringai miring. “Tapi jangan sampai kenangan bareng mantan kamu hilang, ya. Siapa tahu masih ada screenshot manis.”

Aluna mencibir, tapi tak membalas. Ia menoleh, siap pergi. 

“Ayo ke lantai bawah. Ada toko hape,” ajak Alaric sambil mulai berjalan duluan.

“Buat apa? Surya bisa gantiin. Gak perlu kamu.”

“Tapi ini peluang artikel panas,” balas Alaric, matanya melirik tajam. “CEO muda yang peduli istri artisnya. Banyak wartawan di area lobi sekarang.”

Aluna mendengus. “Jadi aku cuma objek buat konten korporat?”

“Dan kamu pikir pernikahan kita buat cinta sejati?” Langkah Alaric tak melambat. “Mainkan peranmu, Al. Dunia sedang memperhatikan.”

Aluna menghela napas lalu mengikuti dari belakang.

Gaun hitamnya berayun saat ia melangkah, tapi kepalanya tegak. Karena meski semua ini drama, ia benci terlihat kalah—apalagi di depan Alaric.

Artikel baru muncul:

‘So Sweet-nya CEO Muda Ganti Anti Gores Istrinya (Aluna) yang Pecah karena Jatuh’

Komentar menonjol:

‘Amalan apa yang bikin Aluna dapet cucunya orang terkaya di dunia ya?’

‘Jadi pengin kawin’

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!