Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Antara Nyata dan Tidak
Di bab ini, Wina mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri: apakah yang ia alami nyata, atau hanya bayangan yang ia ciptakan karena kesepian dan tekanan?
***
Aku tidak bisa tidur malam itu.
Nayla tertidur cepat setelah kembali dari aula, mungkin karena kelelahan, atau mungkin karena ia sengaja ingin melupakan kejadian tadi. Tapi aku? Mataku terus terbuka, menatap langit-langit kamar yang tampak lebih kelabu dari biasanya. Seolah gelap malam menekan dadaku perlahan-lahan.
Bayangan di jendela aula tadi masih terbayang jelas. Sosoknya. Matanya. Wajah itu—Ale.
Aku bangkit dari ranjang dan duduk di lantai. Buku catatanku tergeletak di bawah meja. Pelan-pelan, kubuka halaman terakhir.
> “Jangan takut. Aku di sini.”
Tulisan itu masih ada.
Aku menekan pelipis. Oke. Mungkin aku cuma terlalu lelah. Mungkin aku halusinasi. Atau... semua ini adalah cara tubuhku memberontak karena tekanan—kampus baru, jauh dari rumah, kegiatan padat, dan rasa sepi yang diam-diam menggerogoti.
Tapi kalau semua ini cuma ada di kepalaku, kenapa rasanya terlalu nyata?
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di jendela.
Hatiku melompat. Aku menoleh cepat—dan di luar, dalam bayangan samar malam, Ale berdiri. Lagi.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini ia tidak hanya menatap. Ia membuka jendela perlahan dari luar.
“Boleh aku masuk?” tanyanya dengan suara lirih.
Aku tidak menjawab. Tapi aku juga tidak bergerak menolak.
Ale melangkah masuk ke kamar. Lampu remang kamar asrama membuat wajahnya terlihat lebih suram. Tapi matanya masih sama: tenang, tapi dalam. Dan malam ini... matanya tampak lelah.
“Aku lihat kamu tadi di aula,” bisikku.
Dia mengangguk pelan. “Aku lihat kamu juga.”
“Kenapa kamu selalu muncul saat aku kacau?” tanyaku. “Kamu nyata nggak, Ale? Atau aku—aku cuma gila?”
Ia duduk di karpet depanku, menjaga jarak. Tatapannya seperti luka yang belum selesai sembuh.
“Kamu nggak gila, Wina,” jawabnya. “Kamu... hanya sedang terbuka. Kadang, hal-hal yang nggak bisa dijelaskan datang ke orang yang belum kehilangan rasa percaya.”
Aku menggeleng. “Tapi aku takut. Aku takut ini semua cuma—”
“Tapi kamu tetap datang,” potongnya lembut. “Kamu tetap melihatku. Dengerin aku. Dan... percaya.”
Aku menggigit bibirku. “Aku nggak tahu harus percaya sama siapa.”
“Tapi kamu pengen percaya... kan?”
Aku mengangguk perlahan. “Entah kenapa, iya.”
Keheningan mengambang beberapa detik.
“Aku cuma ingin kamu kuat,” katanya. “Aku tahu rasanya sendirian. Rasanya seperti semua orang berisik tapi tak satu pun yang benar-benar hadir. Tapi kamu bisa bertahan, Wina. Kamu harus bertahan.”
Air mataku menetes tanpa sadar. “Kenapa kamu begitu peduli padaku? Kita bahkan... baru kenal.”
Ale tersenyum tipis. “Kadang, hal-hal yang paling penting justru datang dari yang tidak kamu duga.”
Ia bangkit perlahan, menatapku sejenak, lalu berjalan ke arah jendela.
“Besok, kamu akan mulai menemukan potongan-potongan jawabannya sendiri. Tapi jangan buru-buru. Percaya saja pada langkah kakimu.”
“Ale,” panggilku pelan.
Ia menoleh.
“Kalau suatu hari aku tahu siapa kamu sebenarnya... dan semua ini ternyata cuma ilusi... kamu bakal pergi?”
Ale diam sesaat, lalu menjawab, “Kalau aku cuma ilusi, kenapa kamu masih merasa lebih hidup setiap habis bertemu aku?”
Sebelum aku bisa menjawab, dia sudah melompati jendela—hilang dalam sunyi yang mengendap.
Aku terduduk diam di lantai, membiarkan air mata jatuh pelan-pelan. Tapi untuk pertama kalinya... aku tidak merasa sendiri.
---
Bab 6 Bersambung...
***
Bab ini memperdalam ikatan emosional Wina dan Ale, dan menguatkan konflik batin Wina antara realitas dan halusinasi.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup