Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA6
Saat Alan melangkah keluar dari restoran, ponselnya berdering. Senyum reflek merekah di wajahnya, saat melihat nama Maya muncul di layar.
Alan hampir saja melompat kegirangan. Setelah sekian purnama menunggu telpon dari Maya dan akhirnya wanita itu menghubunginya lagi. Namun, kakinya mendadak terasa berat, karena tiba-tiba Jacob dan dua pengawalnya berdiri tepat di hadapannya dengan siaga dan wajah ketat.
Seketika Alan gugup, senyumnya hilang, tanpa berkata ia bergegas masuk ke dalam mobil dan menerima panggilan Maya.
“Hem,” sahut Alan cukup dingin, pura-pura jual mahal, padahal jantungnya berdebar-debar.
"Alan! Kenapa kau menolak cinta Shela? Dia itu serius mencintaimu!" protes Maya membuat Alan terdiam, matanya melotot, pertanyaan Maya benar-benar menjengkelkan baginya.
“Maksudmu, sekarang aku harus menuruti ucapanmu? kau pikir kau siapa? Orang tuaku? Kakek nenekku?” Alan hampir kehilangan kendali. Rasanya ia ingin menjitak kepala Maya lalu menggulung tubuh wanita itu seperti di atas kasur.
"Agar aibku di desa bisa Shela bersihkan kembali, Alan," jawab Maya, berusaha menjelaskan.
Alan malah tertawa pelan, sinis. “Heh, kau ini polos atau memang bodoh? Selalu saja tertipu sama sahabat yang licik itu!”
Suara Alan berubah tajam.
"Dengar baik-baik. Jangan kan satu desa, jika dalam 1x24 jam kau tidak kembali ke Jakarta! Akan ku sebar aibmu ke seluruh Jawa Tengah."
"Baik!" hentak Maya lantang. "Aku tidak akan pernah kembali kepada buaya buntung seperti kamu, Alan! Dan aku tidak takut dengan ancamanmu. Silakan saja sebar aib ini ke seluruh Indonesia, bahkan dunia! Biar semua tahu bahwa pelakunya ternyata seorang Presdir perusahaan besar!"
Alan terdiam. Matanya melotot lagi "Buaya buntung, apa itu?" pikirnya, sebuah ungkapan yang tidak bisa Alan terjemahkan.
“Silakan mainkan permainanmu, Alan. Tapi aku bukan pion mu lagi.” Klik! Maya menutup telepon tanpa memberi kesempatan Alan bicara.
“Dasar Alan gila… sinting!!” teriak Maya membuang ponselnya ia histeris, frustasi. Kepalanya pening, hidupnya terasa makin rumit dan salah arah.
Sementara Alan terpaku menatap layar ponselnya. Maya yang biasanya menelpon lembut dan penuh kehangatan, hari ini ia begitu galak. Tapi anehnya, Alan malah menyukai nada tinggi wanita itu. Di telinganya, omelan Maya terdengar seperti kicauan burung pipit yang lapar, berisik tapi menggemaskan.
“Buaya buntung?” gumamnya lagi masih penasaran. Jemarinya segera mengetik di mesin pencarian makna 'Buaya buntung'
“Pria yang suka menggoda wanita tanpa niat serius, hanya mempermainkan!"
Alan meneguk ludah. Seketika wajahnya memerah. Ia ingin marah kepada Maya tapi wanita itu tidak salah.
“Tok... tok…”
Suara ketukan jacob dari jendela mobil membuyarkan pikiran Alan.
Alan membuka pintu. “Kita ke apartemen,” ucapnya pelan, lalu merebahkan tubuh, memijat pelipis yang berdenyut.
Mobil melaju, sunyi. Alan memejamkan mata, bukan untuk tidur, melainkan lari sebentar dari kekacauan yang mulai tidak bisa ia kendalikan.
Sementara itu Jacob fokus menyetir, diam seribu bahasa. Ia tahu, hari ini bukan waktu yang tepat untuk bicara kepada Alan. Tugasnya hanya satu: menjalankan perintah.
Sesampainya di apartemen,
Alan masuk dengan langkah malas. Ia melepas jas kantornya dan melemparkannya ke atas sofa tanpa peduli. Napasnya berat. Sorot matanya kosong.
Jacob mengikuti langkah Alan di belakang, matanya terbelalak melihat keadaan ruangan apartemen mewah yang mirip seperti kapal perang, susunan perabotan berantakan, berjatuhan bahkan ada yang retak, pecah. Pakaian berserakan, meja penuh makanan sisa yang berantakan bahkan ada botol minuman kosong di pojok ruangan.
"Apakah... ada gempa atau perampok, Tuan?" tanya Jacob heran. Ini pertama kalinya ia melihat kondisi apartemen Alan hancur lebur meski sudah hampir sepuluh tahun bekerja untuk Alan.
“Bukan,” jawab Alan santai. “Bersihkan saja lalu sewakan Apartemen ini. Aku butuh apartemen baru.”
Jacob mengernyit, mulai gelisah. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bukan cuma apartemen yang kacau. Laporan kerja juga banyak revisi, keputusan Tuan pun belakangan sering salah arah," Jacob mulai mengeluh. Ia ragu sejenak, lalu memberanikan diri, “Tuan... apa Anda butuh psikiater?”
Alan tidak langsung menjawab. Ia hanya duduk, kedua jari mencubit batang hidungnya. Napasnya berat.
“Maaf, mungkin aku terlalu larut memikirkan Maya. Aku yakin… setelah keluar dari apartemen ini, pikiranku bisa kembali jernih dan lebih fokus.”
Jacob mengangguk pelan. “Baiklah.”
Saat Alan memejamkan mata, Jacob bergumam gemes sambil membuka ponselnya, “Apakah aku harus merekrut orang, khusus mengurus tantrum cintanya?”
Jacob kecewa, Alan berubah tidak profesional. Ia mencampur antara urusan pribadi dan pekerjaan.
Asisten itu segera menelepon petugas kebersihan dan mulai memotret ruangan untuk diposting sebagai apartemen sewaan.
Di rumah Maya,
Usai shalat Magrib, Maya hendak keluar dari kamar. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu saat mendengar percakapan orang tuanya di ruang tengah.
“Lho, kok cepat pulangnya, Pak?” tanya Maryam heran, melihat Ardi sudah di rumah. Biasanya sang suami duduk lama di masjid, berbincang dengan teman-temannya sampai waktu isya.
Ardi meletakkan kopiah di atas meja dengan kesal. “Males, Bu. Orang-orang pada kepo. Semua bertanya soal Maya. Bapak capek jawabnya.”
Maryam menghela napas panjang. “Ibu juga, Pak. Enggak berani datang ke pengajian. Pasti jadi bahan omongan. Di desa ini, urusan orang lain lebih penting dari diri sendiri.”
Maya yang mendengarnya hanya bisa diam di balik pintu, tubuhnya perlahan merosot ke lantai. Air matanya mengalir deras. Hatinya sesak. Bukan hanya karena Alan, tapi juga karena luka yang ditanggung keluarganya akibat kesalahannya sendiri.
Ia memeluk lututnya, menggigit bibir agar isaknya tidak terdengar. Kepalanya penuh tanda tanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.
“Maya...” suara Maryam, terdengar dari balik pintu.
Maya terkejut, buru-buru bangkit dan mengusap air matanya yang masih basah di pipi. Ia bangkit membuka pintu sedikit.
“Iya, Buk?” tanyanya pelan, berusaha menenangkan suara yang masih bergetar.
“Ibuk mau masuk,” ucap Maryam lirih. Wajahnya terlihat murung, matanya sembab. Entah sudah berapa kali ia menangis dalam setiap sujudnya, memohon agar aib putrinya segera berlalu. Hingga kini, ia sendiri masih belum tahu kebenaran dari semua kabar yang beredar. Maya masih bertahan menyembunyikannya.
Maya membuka pintu lebih lebar. “Silakan masuk, Buk...” ia membawa ibunya mengambil posisi duduk di atas kasur.
Suasana ruangan cukup hening. belum ada yang memulai percakapan. Maya menunduk, menunggu ibunya bicara lebih dulu. Tapi Maryam juga hanya diam, seolah menahan luka yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Di antara keheningan itu, hanya napas mereka yang terdengar pelan. Dan rasa bersalah yang makin mengunci mulut Maya.
Besok, keluarga Adly Hanif akan datang melamar kamu," ucap Maryam memecah sunyi.
Maya terbelalak, gugup. "Se...secepat itu, Buk?" suaranya nyaris berbisik, tidak percaya.
"Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi?" sahut Maryam tegas. "Kamu mau aib ini makin meluas? Mau terus jadi bahan omongan orang sekampung?"
Tatapan tajam Maryam menembus hati Maya. Gadis itu hanya bisa menunduk, pasrah, tidak kuasa membantah. Nafasnya berat. Dadanya terasa sesak.
Maya benar-benar tidak mengerti dengan jalan hidupnya. Cinta yang ia beri sepenuh hati pada Alan, hubungan yang sudah mirip suami istri... justru tidak berujung pada pernikahan. Dan kini, Maya akan menikah dengan pria lain. Seorang pria yang bahkan tidak pernah ia kenal dalam ikatan batin.
"Sakit...
Benar-benar aku yang merugi... Dan aku sangat takut," gumam Maya dalam hati, Air matanya kembali mengalir, pelan tapi pasti.
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.