Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Untunglah Daisy kerap membantu Gendis tiap kali memasak di apartemennya, jadi ia bisa dengan lincah membantu Nek Ipon memasak di dapur dengan―astagaaaaa―tungku perapian, di mana ia menyalakan api dengan cara meniup menggunakan bambu. Alhasil, ia terbatuk-batuk akibat asap yang mengepul, bahkan matanya terasa perih karena panas tungku. Oh, ia tak tahu hidup ini begitu berat jika ia tak menjalaninya secara langsung.
Berat hidup seperti ini masih bisa dijalaninya daripada berat hati yang dijalaninya jika pada akhirnya ia menikah dengan Rolan.
Usai memasak, Daisy mengekori Singgih mencari ranting di hutan belakang. Kaki Daisy melompati ringan dari satu jejak kaki Singgih ke jejak kaki Singgih berikutnya. Seperti anak kecil yang baru diizinkan keluar main setelah selesai mengerjakan PR.
"Tadi itu pertama kalinya kamu masak, kan?"
Singgih membungkuk memunguti ranting-ranting di tanah.
"Hm~mmh." Daisy menggumam tidak. "Setiap kali Gendis masak di apartemenku, aku selalu bantuin masak-masak. Yaah, walaupun masakanku nggak seenak Gendis, tapi gini-gini aku juga bisa masak. Tapi kalau masak di tungku begitu sih, baru pertama kali. Aku harus beliin Nek Ipon kompor gas deh, biar Nek Ipon nggak usah niup-niup lagi. Aduuuh, mataku sampai perih banget. Gimana Nek Ipon bisa tahan hidup seperti itu?" ia menggeleng kepala tak bisa membayangkan.
"Berat kan, hidup seperti Nek Ipon?" Singgih berdiri menghadapi Daisy dengan beberapa ranting didekap di pinggang. "Kapan pun kamu ingin pulang―"
"Nggak!" sela Daisy cepat. "Jujur, aku memang ingin pulang, tapi aku nggak mau dinikahkan sama Rolan. Mas Singgih temannya Rolan kan, pasti tahu gimana sifatnya."
"Bukan itu maksudku." Singgih coba meluruskan ucapannya. "Kabur bukan satu-satunya cara untuk menunjukkan ketidak-sukaanmu. Apa kamu pernah bicara dengan papamu, alasanmu nggak mau dijodohkan dengan Rolan?"
Terdiam Daisy.
"Belum, kan?" Singgih dapat membaca jawaban diam Daisy. "Orang tua pasti ingin yang terbaik buat anaknya. Hanya saja―mungkin orang tua terlalu memaksa kehendak mereka. Kalau kamu memang nggak suka, utarakan isi hatimu. Jika hanya diam, orang tuamu nggak akan mengerti. Aku yakin orang tuamu pasti akan mengerti."
"Papa pasti akan melarang kita bertemu..."
Singgih tersenyum tipis mendengar kecemasan Daisy. "Memang aku bisa ke mana?"
Daisy menatap lekat Singgih. "Saat ini aku nggak punya apa-apa. Bahkan aku berusaha untuk mengandalkan diriku sendiri. Tapi karena ada Mas Singgih bersamaku, aku merasa nggak sendiri dan bisa melewatinya."
"Karena aku adalah pengawalmu. Tentu saja aku akan menjagamu." Singgih mengembangkan senyum tipis, lalu berbalik arah untuk kembali mencari ranting.
Daisy masih terdiam di tempat. Ia menginginkan Singgih lebih dari sekedar pengawal.
"Aku... menyukai Mas Singgih."
Langkah Singgih terhenti. Debaran di jantungnya bertalu-talu mendengar pengakuan Daisy. Gadis itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Jujur, ia menyukainya, tetapi sekali lagi ia tekankan bahwa ia tidak berada dalam situasi untuk jatuh cinta.
Singgih memutar tubuhnya. Pandangnya langsung bertemu dengan Daisy. "Jangan sia-siakan waktumu untuk menyukaiku."
Daisy melangkah mendekati Singgih. "Aku sudah berjalan sejauh ini." Langkahnya berhenti tepat di hadapan Singgih. Ditatapnya lekat mata pengawalnya. "Dan, aku nggak bisa mundur lagi. Di sini kita bertemu pertama kali. Masih ingat aku memanggil Mas Singgih apa?"
Singgih ingat, tapi ia diam tak mau menjawab.
"Cowok ranting." Daisy mengulas senyum. "Karena dari rumah itu." Ia menunjuk ke rumah kecil tak jauh darinya berada. "Aku melihat Mas Singgih memunguti ranting-ranting ini. Saat itu Mas Singgih mengabaikanku, tapi Mas Singgih kembali untuk menyelamatkanku. Sama seperti aku mengusir Mas Singgih, dan Mas Singgih kembali menyelamatkanku."
"Itu dua hal yang berbeda. Yang pertama, aku menyelamatkanmu karena aku butuh uang. Tapi yang kedua aku menyelamatkanmu... karena aku tahu siapa Rolan, makanya aku nggak bisa membiarkanmu menikah dengannya."
"Hanya itu alasannya?"
"Hanya itu."
"Pernahkah Mas Singgih memikirkanku? Walau hanya sekali?"
Terdiam Singgih. Tentu saja. Bukan hanya sekali, melainkan lebih―bahkan di tiap menitnya ia selalu memikirkan Daisy. Berdiri di depan gadis ini pun belum cukup menuntaskan rasa rindunya.
"Perjodohanmu sudah memengaruhi akal sehatmu. Aku nggak mau mendengar hal-hal konyol seperti ini lagi," tandas Singgih.
"Menurut Mas Singgih, aku hanya main-main?" sorot mata Daisy menunjukkan bahwa ia terluka dengan kata-kata Singgih barusan. "Yang sudah kuucapkan, nggak bisa kutarik lagi."
Singgih hanya bisa diam. Ia tak ingin menyakiti siapa pun, tapi kata-katanya justru telah menyakiti Daisy.
*
Pengakuan cinta Daisy membuat keduanya canggung. Namun, Daisy tak pernah menyesalinya. Hatinya justru lega setelah mengungkapkan perasaannya. Harusnya―ketika dulu ia menyukai Athan―ia ungkapkan saja perasaannya. Cinta yang dipendam tak akan membawa perubahan, karena orang yang dicintai tak akan tahu dengan perasaan kita.
"Hujan," gumam Daisy yang duduk di tepian dipan kayu dalam kamar sembari melempar pandang keluar jendela.
Daisy keluar kamar, dan menemukan Singgih tengah berada di dapur bersama Nek Ipon. Pandangnya bertemu dengan Singgih. Namun, Singgih memalingkan wajah, lalu beranjak keluar dapur, hanya melewatinya tanpa menatap ke arahnya.
Dengusan panjang Daisy terdengar lelah. Ia kemudian mengambil duduk di bangku kayu kecil yang sebelumnya ditempati Singgih.
"Masak apa, Nek Ipon?"
"Merebus singkong. Sebentar lagi matang. Makannya pas lagi panas-panas enak."
Kepala Daisy mengangguk kecil. Matanya mengamati keriput-keriput di tangan Nek Ipon, lalu beralih ke wajah tua dan lelah Nek Ipon. "Nek Ipon nggak kangen sama anak-anak?"
"Kangen."
"Kenapa nggak ikut anak aja, Nek? Daripada di sini sendirian."
"Nek Ipon sudah di sini sejak kecil. Kalau pergi dari sini―" Nek Ipon menggeleng, "―nggak sanggup."
"Saya ngerepotin Nek Ipon, nggak?"
"Nggak sama sekali. Senang rumah jadi rame. Neng Daisy pacarnya Singgih?"
Mengesiap Daisy. "Bu―bukan."
"Apa eneng yang kemarin itu ya, pacarnya?"
"Eneng yang kemarin?"
"Singgih pernah ke sini sama perempuan cantik. Dia dokter. Bantuin warga desa sini juga. Baik orangnya."
Wajah Daisy berubah masam. Percikan bara di hatinya mulai menggeledak. Empat hari tak ada kabar, menghilang, dan rupanya Singgih bersama dokter itu―di sini. Di rumah Nek Ipon. Ugh. Kalau saja ia tahu, tentunya, ia tak akan meminta datang ke sini. Mendadak ia marah. Kesal bukan kepalang.
Nek Ipon menyodorkan sepiring singkong rebus ke tangan Daisy. "Makan barengan sama Singgih."
Daisy menerima piring berisi singkong itu dengan ulasan senyum tipis.
Dengan hati terbakar, Daisy mendatangi Singgih yang saat ini tengah duduk di teras rumah sembari memandangi rinai hujan. Udara dingin mendadak panas di sekujur tubuhnya. Tak menampik memang, oke, ia harus akui kalau dirinya sekarang sedang dilanda cemburu. Salah satu penyakit cinta yang bisa menggerogoti hati.
Daisy meletakkan piring dengan kasar ke atas dipan kayu, lalu duduk berjarak dari Singgih.
"Makan. Selagi masih panas."
Sikap dingin Daisy―menurut Singgih―diduga karena penolakannya sewaktu di hutan belakang tadi.
"Jadi, tempat ini punya banyak kenangan, ya," sindir Daisy. "Kenangan mana yang lebih Mas Singgih ingat? Saat bersamaku atau dokter Ajeng?"
Sontak Singgih menoleh cepat ke arah Daisy yang duduk di sebelahnya.
Daisy memiringkan posisi duduknya. Kedua tangannya melipat di depan dada, sekaligus memasang wajah kesal bukan main.
"Ugh! Kalian kabur ke sini juga. Kalau tahu begini, aku nggak akan ke sini." Daisy melanjutkan ucapannya saat dilihatnya Singgih hendak membuka mulut. "Nek Ipon yang cerita," akunya. "Oke. Nggak masalah kalau Mas Singgih lebih menyukai dokter Ajeng."
Singgih menghela napas tak percaya dengan celotehan konyol Daisy.
"Dokter Ajeng adalah cinta di masa lalu. Masa lalu ya, masa lalu. Benar, kan?"
Singgih tak mau berkomentar ataupun berdebat. Karena berdebat dengan perempuan tak akan berhasil. Ia pun lantas memilih untuk makan singkong rebus.
"Yang perlu Mas Singgih pikirkan adalah masa depan." Daisy berujar tegas.
"Bersama denganku nggak akan ada masa depan." Singgih berterus terang mengenai dirinya.
"Setiap orang punya masa depan. Tergantung kita mau meraihnya seperti apa."
"Menurutmu... aku bisa meraihmu?" Tatap Singgih pada Daisy.
Terdiam kaget Daisy.
"Aku bahkan tidak melihat adanya masa depan itu. Memangnya apa yang ingin kamu harapkan dariku? Pekerjaan nggak jelas. Hidup yang kujalani sangat berat. Kamu lihat sendiri kan, gimana beratnya hidup Nek Ipon? Kamu yang terbiasa hidup mewah sejak kecil mampu apa hidup begini?"
Daisy terdiam cukup lama. Lalu berkata, "Jujur... aku nggak bisa."
"Belum terlambat kamu pulang. Papamu marah karena aku. Aku... yang memiliki catatan kriminal ini yang menjaga putri berharganya. Aku bisa memaklumi kemarahan papamu. Pulanglah. Orang tuamu pasti sangat khawatir."
"Mas Singgih nggak khawatir aku menikah dengan Rolan?" suara Daisy bergetar kalut.
"Kamu mau menikah sama Rolan?"
Daisy menggeleng cepat.
"Aku nggak tahu apa yang dikatakan Rolan pada papamu, selain aku mantan napi."
"Kita berdua pacaran."
Singgih tersenyum tipis. Jelas itu yang diinginkan Rolan, yaitu menghancurkan hubungannya dengan Daisy. Rolan beranggapan―dulunya―ia yang merebut Ajeng dan sekarang tampaknya Rolan berusaha untuk merebut Daisy darinya.
"Kamu ingin mengakhiri perjodohanmu, kan? Kalau begitu, buat kesepakatan dengan papamu."
Daisy terdiam menimbang usulan Singgih.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨