Laura Rossie Bellucci, harus menyesali keputusannya untuk pulang ke rumah ayahnya saat libur sekolah.
dia bertemu dengan seorang Don paling kejam. Lucas Armand Bendetti dan sial-nya terhipnotis dengan pesona gadis itu.
hingga akhirnya dia menikah dengan sang Mafia kejam tersebut.
Bagaimana kisah Laura dan Lucas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyrik Wish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menjadi istri Don Lucas
Mentari pagi menyambut hari baru.
Cahayanya masuk melalui jendela yang sudah terbuka, menyinari kamar bernuansa hitam elegan itu. Di atas ranjang besar dengan seprai satin, seorang gadis cantik tampak menggeliat pelan. Perlahan-lahan, matanya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk.
“Eeeuuung... Jam berapa ini?” gumamnya sambil melihat sekeliling—dan terhenyak.
“Eh... Ini bukan kamarku. Aku di mana?” bisiknya panik.
“Selamat pagi, Nyonya,” ujar dua orang maid yang ternyata telah berdiri tak jauh dari ranjang.
Laura terlonjak kaget. “Ka... kalian siapa? Aku... aku di mana?”
“Anda berada di mansion Don Lucas, Nyonya. Kami akan membantu Anda bersiap. Don Lucas sudah menunggu di ruang makan,” jawab salah satu dari mereka, wanita paruh baya yang bersuara tenang.
“Perkenalkan, saya Maria, kepala pelayan di mansion ini. Dan ini Agnes, ia akan menjadi pendamping pribadi Anda—menyiapkan semua kebutuhan Anda,” lanjut Maria dengan sopan.
Laura sempat kebingungan, tapi ia tetap berusaha bersikap tenang. “Te... terima kasih, Bu Maria. Tapi, aku akan mandi sendiri. Bisa tolong siapkan saja bajunya?”
Keduanya membungkuk sopan, lalu meninggalkan kamar Laura.
Usai mandi selama lima belas menit, Laura keluar dengan tubuh segar. Di ruang ganti, Agnes telah menunggu, berdiri di depan deretan pakaian dalam walking closet mewah yang penuh dengan busana mahal—namun hanya berwarna hitam dan merah.
“Ini... semua milik siapa?” tanya Laura heran.
“Tentu saja milik Anda, Nyonya. Don Lucas yang menyiapkannya,” jawab Agnes.
Astaga... Semua serba hitam dan merah? Bahannya tipis semua pula... Apa dia mau bikin aku jadi ratu kegelapan? batin Laura sambil membolak-balik dress berbahan satin dan renda.
Akhirnya, ia memilih satu dress hitam sederhana—paling tertutup dibanding yang lain, walau tetap memperlihatkan sedikit sisi feminin dirinya.
Setelah bersiap, ia menuju ruang makan. Di sana, Lucas sudah menunggunya dengan setelan jas hitam. Pria itu berdiri dan mengulurkan tangan.
“Good morning, istriku,” sapanya, lembut namun penuh kendali. “Kemari, baby. Ada yang ingin aku katakan.”
Laura menyambut uluran tangan itu dengan ragu, namun mengikuti langkahnya.
“Kamu sangat cantik pagi ini,” ucap Lucas sambil menatap Laura dari ujung kaki hingga kepala. “Aku berharap bisa melihatmu seperti ini setiap hari.”
Laura merasa tak nyaman. “Apa... ini tidak terlalu berlebihan? Aku tidak biasa pakai baju begini.”
Lucas hanya tersenyum tipis. “Kamu akan terbiasa. Sekarang, kasih aku morning kiss. Itu wajib. Bangun tidur, saat aku pergi kerja, dan waktu aku pulang.”
Laura menarik napas panjang, lalu menuruti permintaannya. Sebuah kecupan ringan mendarat di bibir pria itu. Lucas tersenyum puas, lalu mengajak istrinya duduk.
Ketika sarapan disajikan, Laura memberanikan diri bertanya, “Aku... boleh ke apartemenku hari ini?”
Lucas meletakkan garpunya. “Untuk apa, baby?”
“Aku mau ambil buku pelajaran dan beberapa barang penting. Juga... baju-bajuku yang masih di sana.”
Lucas mengangguk, namun berkata tegas, “Tapi kamu tidak perlu membawa baju lamamu. Semua pakaian di sini sudah kusiapkan khusus untukmu.”
Laura menggumam pelan, “Tapi... gak mungkin aku pakai baju kayak gini kalau keluar rumah.”
Lucas mendekat, menatapnya dengan ekspresi lembut namun tetap mendominasi. “Aku suka kamu berpakaian seperti ini. Tapi oke, kamu boleh pakai yang kamu mau... asal, di depan aku, kamu tetap jadi wanita yang menggoda.”
“Dengar, Tuan—”
Lucas langsung memotong, “Baby... kita sudah melewati masa itu. Aku bilang aku tidak suka kamu manggilku ‘Tuan’. Kamu istriku.”
“Tapi kemarin kamu bilang aku cuma properti kamu,” bisik Laura pelan sambil manyun.
“Lupakan ucapanku itu.” Ia menatap Laura dalam. “Sekarang, pikirkan nama panggilan untukku. Jangan ‘Tuan’, ‘Don’, apalagi ‘Om’.”
Laura menggigit bibir. “Ka... kamu mau aku panggil apa?”
Lucas menyeringai, seperti tahu isi kepalanya. “Apa saja. Asal jangan itu.”
“Sayang...” ucap Laura pelan, hampir seperti bisikan.
Lucas memiringkan kepalanya. “Lebih keras, baby. Aku tidak mendengar.”
“Sayang...”
Belum sempat ia ulang, Lucas sudah mencium bibirnya—penuh gairah, namun lembut. Laura, yang awalnya terkejut, perlahan membalas ciumannya. Para pelayan dengan sopan segera memalingkan wajah, memberi mereka ruang privat.
Ketika akhirnya tautan bibir mereka terlepas, Lucas mengusap bibir Laura dengan ibu jarinya. “Aku suka,” katanya lirih. “Mulai sekarang, panggil aku begitu setiap saat, oke?”
Laura mengangguk malu, wajahnya sudah semerah tomat.
»»——⍟——««
Setelah sarapan selesai, Lucas menepati janjinya dan mengantar Laura ke apartemennya.
“Aku tidak menyangka, putri dari keluarga Belluci tinggal di apartemen sekecil ini,” komentar Lucas saat melangkah masuk.
“Aku yang minta. Apartemen ini paling dekat sama sekolah,” jawab Laura santai.
Lucas melihat-lihat sekeliling. Piagam, piala, dan foto-foto prestasi berjajar di rak. “Smart girl,” gumamnya dalam hati.
Saat Lucas masuk ke kamar Laura, gadis itu tengah memilih pakaian. Ia sedang mengenakan rok mini, dan belum memakai atasan. Spontan ia menutupi dadanya dengan baju yang belum dikenakan.
“Eh, kamu gak ketuk dulu!” protes Laura.
Lucas hanya menatapnya, lalu berkata tenang, “Apa kamu tidak suka baju-baju yang sudah kusiapkan di mansion?”
“Suka... cuma, kayaknya lebih cocok buat di rumah. Tapi kalau kamu nggak suka aku pakai yang ini, aku bisa ganti...” jawab Laura cemas.
Lucas melangkah pelan, mendekatinya. “It’s okay, baby. Kamu boleh pakai apa saja... di luar rumah. Tapi di depanku—” tangannya melingkar ke pinggang Laura, menariknya ke pelukan. “—berpenampilanlah sebagai wanita yang membuatku susah berpaling.”
Laura memucat, lalu memerah bersamaan. “Ka... kamu mau apa?”
Lucas tidak menjawab dengan kata-kata. Matanya berbicara lebih dulu—penuh kendali, tapi dalamnya seperti jurang yang menarik Laura untuk jatuh lebih jauh.
Ia mendekat, tangannya menyusup lembut ke belakang punggung Laura dan menarik tubuh mungil itu mendekat. Nafas mereka nyaris bersatu. Jantung Laura berdetak cepat, seperti baru saja disetrum sesuatu yang tak kasatmata.
“Apa kau tahu,” bisik Lucas dengan suara serak di telinga Laura, “setiap kali kamu gugup seperti ini, aku jadi sulit menahan diri.”
Tangannya menyentuh pipi Laura dengan lembut, lalu turun ke dagunya. Ia mengangkat wajah gadis itu hingga mata mereka bertemu.
“Tuan Lucas...” bisik Laura pelan, napasnya nyaris tercekat.
“Hm?” Lucas menunduk, bibirnya hanya berjarak napas dari milik Laura. “Kamu memanggilku seperti itu lagi... Padahal tadi pagi kamu sudah pintar menyebutku ‘sayang’. Apa aku harus membuatmu mengulang lagi—dengan cara yang berbeda?”
Wajah Laura semakin merah padam. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Lucas sudah menempelkan bibirnya dengan lembut ke bibir Laura. Awalnya hanya sentuhan ringan, seperti sekadar menyapa. Tapi kemudian, ciuman itu berubah menjadi dalam, penuh rasa—menyampaikan sesuatu yang belum diucapkan Lucas dengan kata-kata.
Laura, yang awalnya kaku, perlahan melemas dalam pelukannya. Tubuhnya seolah mengerti lebih dulu sebelum pikirannya menyusul. Ia tak tahu sejak kapan tangan Lucas membelai rambutnya, menahan belakang kepalanya dengan penuh kepemilikan yang lembut.
Saat ciuman itu terlepas, Laura nyaris kehabisan napas. Lucas menyentuh bibirnya dengan ibu jari, mengusapnya perlahan.
“Kau tidak akan pernah tahu, baby... betapa sulitnya aku menahan diri sekarang?” gumamnya, rendah dan berat.
Lucas menatap Laura lama, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan mencondongkan kepalanya, menyandarkannya di bahu Laura. “Aku bisa saja membuatmu menjadi milikku sepenuhnya sekarang, Laura. Tapi aku tidak mau kamu menyerah karena kamu merasa harus dan terpaksa. Aku ingin kamu benar-benar siap... saat kamu sendiri yang menarikku masuk, bukan sebaliknya.”
Laura terpaku. Dunia di sekitarnya seolah memudar. Hanya suara detak jantungnya dan napas Lucas yang terasa dekat.
•••
Bersambung