⛔ jangan plagiat ❗❗
This is my story version.
Budayakan follow author sebelum membaca.
Oke readers. jadi di balik cover ungu bergambar cewek dengan skateboard satu ini, menceritakan tentang kisah seorang anak perempuan bungsu yang cinta mati banget sama benda yang disebutkan diatas.
dia benar-benar suka, bahkan jagonya. anak perempuan kesayangan ayah yang diajarkan main begituan dari sekolah dasar cuy.
gak tanggung-tanggung, kalo udah main kadang bikin ikut pusing satu keluarga, terutama Abang laki-lakinya yang gak suka hobi bermasalah itu.
mereka kakak-adik tukang ribut, terutama si adik yang selalu saja menjadi biang kerok.
tapi siapa sangka, perjalanan hidup bodoh mereka ternyata memiliki banyak kelucuan tersendiri bahkan plot twist yang tidak terduga.
salah satunya dimana si adik pernah nemenin temen ceweknya ketemuan sama seseorang cowok di kampus seberang sekolah saat masih jam pelajaran.
kerennya dia ini selalu hoki dan lolos dari hukuman.
_Let's read it all here✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah Devano
"BUNDA!! Bunda! Kakak selama bunda nggak ada selalu males-malesan. Kerjanya main game terus!!"
sosok Ren pagi ini macam balon kembang-kempis. Lemas tak berdaya, baru sembuh dari sakit, tapi adiknya dengan tega melaporkan hal yang tidak-tidak di telfon pada sang bunda.
untungnya hari ini libur. Jadi Ren bisa bersantai meskipun cuma harapan.
"Sayang, Ren sudah sembuh?" bunda bertanya di telfon.
"iya bunda, dia tidur terus. Zyle bikin sarapan, telor ceplok tapi terlalu manis, kayak kue dadar gulung." Celoteh Zyle tidak habis-habis.
"kamu ketukar lagi? Garam kan asin."
"nggak Bun. Garamnya ada di kotak gula!" sahut Zyle nggak mau kalah. "kayaknya kak Ren yang salah letakkan!"
Di sebelahnya, Ren cuma berbaring sambil mendengarkan percakapan antar anak-ibu itu. Semakin lama semakin tidak jelas.
"Zyle, coba berikan hp nya ke kakakmu." tukas bunda selang beberapa menit.
Zyle menurut.
"Ren, gimana untuk tes masuk kuliah nanti?" begitu hp di oper ke kakaknya, bunda langsung membahas yang berat.
"aman Bun. Ren kayaknya ambil jurusan teknologi. Ren juga udah minta tolong cari asrama sama Devano." jawab Ren serius.
Bunda mengangguk. "baguslah. Kamu kan tinggal ujian akhir. Kayaknya bunda sama ayahmu nggak bisa datang ke acara wisuda nanti. Gak apa-apa ya?"
"iya Bun. Ada Zyle kok, meskipun beban." Ren sarkas.
Mendengar nama Devano disebut, Zyle bertanya, "apa hubungannya sama Devano Bun? Kok bunda kenal?"
"iya. Nanti kakakmu kan mau melanjutkan kuliah di luar negeri tempat keluarga besar Devano. Bunda kenal, mamanya kan langganan spa di salon bunda."
"hah?!" kepala Zyle mendadak cenat-cenut. "t-terus....Devano gimana? Dia pergi juga?"
"iya. Kenapa emang? Lo naksir dia?" Jawab Ren meledek.
Zyle tiba-tiba berbalik, manyun memandang kakaknya. "jangan pergi." "nanti Zizi sama siapa?"
"yaa...sendiri lah. Lo kan udah gede." Ren terkekeh. "kasian masih sekolah dua tahun lagi..wkakakaka.."
"kak! Jangan pergi. Kuliah disini aja! Emang kenapa harus diluar negeri sih?"
Kalau Zyle mode serius begini, Ren mengerti adiknya benar-benar memohon. "biar lebih berkembang aja, zi. Lo juga kalo bisa nanti kuliah di universitas kakak."
Zyle terus cemberut. Bahkan setelahnya tidak mau lanjut mengobrol dengan ayah mereka sampai telfon ditutup.
gadis itu keluar rumah tanpa bilang-bilang, membawa skateboard nya entah kemana.
nyatanya Zyle sering kesepian. Karena itu dia berusaha menjadi orang yang positif untuk memberikan warna kehidupannya sendiri. Tapi seolah tak ada yang paham, dan seenaknya menganggap bahwa ia sudah sempurna dengan sifat positifnya.
Saat ditinggal Ryan, Zyle sudah cukup terpuruk. Belakangan ia mengerti dengan arti mimpi beberapa hari sebelumnya tentang Ryan yang pergi. Namun, bagaimana dengan Devano? Apa maksudnya?
Tak terasa, langkah hampa itu membawa Zyle ke taman perumahan yang sepi. Mungkin anak-anak yang libur lebih memilih memainkan gadget di rumah.
Zyle termenung diatas roda skateboard yang terus berputar membawanya ke depan pagar kawat pembatas lapangan basket.
Saat melihat sekeliling, suara-suara tawa membuatnya terhenyak. ada banyak bocah-bocah lima tujuh tahunan bermain ramai-ramai disana dengan seorang remaja. Mereka kelihatan begitu asyik, tertawa girang.
Ternyata anak-anak itu pada main disini, toh.
"Waduh... anaknya rame banget ya pak."
"Zyle?" Devano berhenti, menatapnya.
"kenapa Depan ada disini? Pasti kangen gue ya~" goda Zyle. Sebenarnya senang, karena Devano kebetulan membawa skateboard.
"gue emang biasa main disini setiap libur. Lo kenapa kesini sendirian? Mana Ren?"
Zyle tidak menjawab, hanya berdecak pelan. Gadis itu menarik lengan Devano untuk mengajaknya duduk sembarangan di pinggir lapangan.
"emang Lo mau pergi nanti setelah kelulusan?" tanyanya dengan raut kecewa.
Devano memutarkan bola basket dengan jari-jarinya. tersenyum. "Lo tau ya?"
"kenapa harus pergi sih?"
"kenapa ya...gue kan emang seharusnya gak tinggal disini. Lo keberatan?" tanya Devano.
"kak Ren juga pergi....nanti gue sama siapa? Masa sendirian?" rengek Zyle.
"Cie...cie~ Abang, ini pacar Abang ya? Ih Abang ini ternyata udah punya pacar!!!" tiba-tiba bocah-bocah yang tadi masih asyik mencoba bola basket mulai mendekat.
"bang, apa Abang udah nikah? Kata mama aku kalo ada cowok cewek deket-deket berarti udah nikah!"
tukas salah satu bocah laki-laki sok tahu.
Yang lain ikut-ikutan menceloteh. Semakin ngawur.
"Abang punya anak gak? bawa dong!"
"bang, kakak ini cantik. Buat aku aja!"
"bang, boleh pegang kakaknya gak? Kakaknya mirip cewek di film drama yang suka ditonton ibu aku tau."
"jangan-jangan kakak artis ya?!"
Mendengar ucapan-ucapan asbun anak-anak itu, Devano pura-pura merangkul bahu Zyle. "jangan ya. Ini punya Abang."
Dia tersenyum. Senyum yang membuat Zyle jadi ikut tertawa, garis wajah tegas namun indah, dan rambut kecoklatan selaras dengan cahaya matahari pagi.
Zyle terus menatap wajah itu. Dari samping terlihat begitu jelas setiap detailnya.
bocah-bocah tadi terus menyeret-nyeret lengan Devano untuk melanjutkan permainan. Kali ini Zyle ikut bermain, malah lebih aktif dan terasa berwarna.
Devano terdiam, menatapnya sambil tetap duduk. Gadis itu sangat ceria, membawa keseruan tersendiri, namun Devano merasa bersalah karena dia terus berusaha membahagiakan orang lain dan menerima luka tanpa membebani. Sampai kapan kira-kira gadis itu harus memperlihatkan tawa? Jika suatu saat dia murung, mungkin akan terasa gelap. Sepi.
"Abang! Aku pulang dulu ya! Dipanggil mamah!" teriak salah satu bocah setelah beberapa menit main.
Lama-kelamaan bocah lain ikutan pulang. Dan Zyle berdiri diam melihat gerombolan itu berlarian pulang ke rumah mereka seperti anak ayam.
"Lucu, ya."
Devano memanggilnya. "Zi. Coba duduk sini."
"apa? Kenapa sih?"
"Gue minta maaf ya. Buat kepergian gue nanti, dua bulan lagi. Gue tahu mungkin Lo capek selama ini, pernah disayang, tapi terus ditinggal. Denger, selagi gue ada disini, gue bakal jadi Ryan buat Lo. jadi apapun yang pengen Lo ceritain, gue dengerin. Lo senang, gue ikut seneng. Lo gak tahu, gue ajarin. Tapi...jangan berharap apapun. Oke?"
"kok nangis? jangan ah, nanti kepala Lo makin kecil."
air mata Zyle malah menetes. "jangan bahas Ryan, dong."
"sori, gue gak bermaksud. Setelah ujian terakhir, gue beneran mau pamitan." Devano mengulangi lagi.
"jangan putus temenan sama Jane, ya."
"tapi..."
Zyle tak jadi mendaftarkan keluhan berikutnya. Ia tak enak merasa membebani terus. Apalagi, Devano ini sudah banyak membantu dan perlahan membuatnya diam-diam merasa kagum.
Devano sosok yang luar biasa. Cukup menjadi panutan untuk ke depannya dalam kenangan. sebab sosok sesempurna dia pun, yang tanpa celah, tidak bisa berada di sisi Zyle selamanya. Karena bukan dalam arti memiliki.
"kira-kira...siapa ya yang punya Depan nanti...pasti beruntung." gumam Zyle.
Devano bersandar di pagar kawat pembatas. Mendengus. "entah. Gue sih gak mau yang pecicilan.." mencibir Zyle.
Gadis itu memukul ringan bahunya.
***
Libur dua hari akhir pekan sudah lewat.
Menyebalkan terus berada di bangku samping jendela, hanya mendengarkan pelajaran seperti patung. Zyle berkali-kali mengomel sendiri, mencoret-coret buku alih-alih mencatat.
Devano juga sudah melunasi hutangnya mengajarkan skateboard, jadi tak ada alasan lagi untuk mengganggunya. Tak ada yang seru.
Di hari kritis ujian begini, Zyle tidak banyak belajar. Dia selalu menerapkan konsep kebut belajar semalam. Untungnya buat Zyle cara itu masih efektif.
Meskipun bunda terus menspam di pesan, 'belajar' 'belajar' dan 'belajar' tapi Zyle selalu pura-pura tidak baca kalau ditanya Ren.
"sstt...woi.." Jane menjawil Zyle dengan ujung pensil. "Lo tau nggak, ada olimpiade sains!"
"ya..."
"sekolah kita mau ikutan. Perwakilan."
"...hmm..."
"nama Lo masuk!"
"SERIUS?!" bagai disambar petir, Zyle yang kaget brutal sampai berteriak di tengah pelajaran pak Harto.
Detik selanjutnya Zyle sudah menjadi anomali di depan kelas. Berdiri dengan kedua tangan diangkat.
"gue jadi dihukum deh.." "eh...tapi kok gue gak tahu ya infonya.."
Mumpung koridor sedang sepi, ditambah tidak ada yang mengawasi, Zyle nekat pergi ke papan pengumuman di lantai satu. Soal hukuman belakangan.
Ternyata di papan pengumuman memang benar ditulis selebran olimpiade sains Nasional. tapi, dimana namanya?
"Lo baru tahu ya?"
"iya, tuh. gak ada yang info-info." Zyle menjawab santai. saat ia menoleh, "Eh...he-he..ada kak Daniel. Anu...tadi ada kucing lewat pake daster..gue mau kejar dulu ya kak!!"
Daniel langsung menangkap ujung bajunya. "Lo lagi dihukum ya zi? Kebetulan gue mau ngomong."
Zyle terkekeh. "o-okey?"
"Lo ke kantor gih sekarang. Dipanggil guru eskul sains. Gwen udah ada disana." ucap Daniel.
Zyle bersyukur dalam hati. Karena Daniel melepaskannya begitu saja. Mungkin sudah biasa melihat Zyle keliling disaat mendapat hukuman.
ia segera ke kantor sebelum Daniel berubah pikiran.
"permisi..."
Zyle mode sopan, begitu masuk kantor sikapnya berubah kalem, anggun, dan slay.
Bu Fio, guru sains, ada Gwen juga disana. mereka duduk menunggunya. "Eh kamu udah Dateng? Sini duduk, diam ya."
Gwen melirik Zyle.
"Nah, disini ibu mau memastikan kalian sudah tahu tentang olimpiade sains tingkat nasional yang baru diumumkan di mading tadi pagi. Zyle tahu?"
"tahu Bu."
Bu Fio mengangguk, "Alasan Gwen dipilih untuk lomba ini karena Gwen sangat berpotensi menjadi pemenang, dia cukup bagus. kalau Zyle, saya mau kamu menggantikan Devano yang tidak bisa menjadi perwakilan tahun ini."
Zyle langsung bertanya, "kenapa Devano gak bisa Bu?"
"karena lombanya masih sekitar dua bulan lebih, sedangkan setelah selesai ujian kenaikan kelas dia lulus dan pindah ke negara asalnya." jelas Bu Fio. "kebetulan, Zyle baru mendaftar club. Dan saya lihat kamu juga lumayan. Jadi saya ingin kamu mencoba."
"tapi Bu...." Zyle menunjukkan ekspresi resah.
Mengetahui itu, Bu Fio melanjutkan, "tenang Zyle. Ibu sudah mengajukan izin ke orangtua kamu untuk memberi kelas tambahan. setiap hari sebelum ujian kamu harus mendapat pelajaran tambahan dari Devano atau Gwen. Tapi untuk eskul tetap ada sepulang sekolah, ya."
Gila...kalo begini sih lulus-lulus gue jadi Albert Einstein. Masterpiece sekolah dharma Surya...hmmm boleh juga...
Zyle mengangguk-angguk sendiri.
"Pendaftaran lombanya sudah saya urus." kata Bu Fio lagi. "segitu dulu. Silahkan kembali ke kelas."
Dua pemudi itu menunduk sopan, kemudian pamit undur diri.
Begitu keluar kantor Zyle langsung lemas. "ya ampun...kenapa harus ikut lomba.... belajarnya banyak banget..."
Kali ini Gwen tersenyum sampai gigi-gigi putihnya yang berjejer rapi terlihat. "Keren kan?"
"Ini sih bikin pingsan!" Seru Zyle sebal.
Kebetulan di tengah tangga mereka malah berpapasan dengan Devano yang sedang turun.
Zyle yang malu karena dihukum buru-buru sembunyi di belakang tubuh Gwen. Gadis itu mengintip sedikit.
Gwen hanya bisa tertawa. Lucu ya. tingkahnya aneh.
Sementara Devano yang terlanjur melihat Zyle jadi tersenyum kecil. Lanjut berjalan, berpura-pura tidak tahu.
***
Lungai, lemah, lesu.
Tiga kata itu benar-benar mewakili ekspresi Zyle sekarang.
"kenapa muka Lo? Lecek amat. belom digosok?" Ren tertawa sambil menyiapkan piring makan malam di meja.
Zyle tidak menjawab.
"dasar. Mau ayam?" tawar Ren. "gue order ayam tepung tadi siang."
Meskipun cemberut tapi Zyle langsung merapat ke meja makan. Duduk, menatap tajam kakaknya.
"kakak.."
"hm?"
"Zizi pusing. Boleh gak bilang ke bunda Zyle gak usah ikut olimpiadenya?"
"hah? olimpiade? Serius? hahahah...Lo gantiin Devano ya?" Tanya Ren sambil tertawa.
"gak lucu. Zizi capek belajarnya.."
"emang gitu zi. Eh, tau gak, Devano dulu pas kelas sebelas jadi perwakilan olimpiade, udah gitu ikut anggota OSIS, ketua kelas, sekaligus. Pulang-pulang tetep bawa medali. Menang dia juara satu." tukas Ren, gaya bicaranya meniru ayah mereka.
Zyle ikut tertawa kecil. Berarti Devano pinter banget....Udah gitu sering ikut acara-acara penting diundang guru-guru. dijadiin murid kepercayaan. Apa coba kekurangannya?
"emang hebat itu orang." tambah Ren. "mau berapa paha ayamnya?"
"gak mau pake nasi." rengek Zyle begitu Ren menuangkan nasi seukuran mangkok kecil.
"ni bocil keterlaluan ya. kalo ada bunda udah dicubit ginjal Lo." Ren jadi mengambil kembali nasinya. "besok gak usah makan mi."
Zyle hampir mewek.
"CK. Yaudah boleh. Dasar, udah nakal cengeng lagi."
Ren terus memandangi Zyle saat makan, dia kelihatan tidak semangat seperti biasanya. "kenyang?"
Adiknya menggeleng.
"Lo masih kepikiran soal gue mau kuliah di luar negeri?" tanya Ren pelan.
"iya...."
Ren cuma bisa tersenyum kaku. Toh tak ada yang bisa dilakukan atau berubah, keputusan itu mutlak untuk masa depannya.
"ok. Gimana kalo gue cerita tentang adeknya Devano? Lo pasti penasaran."
Tiba-tiba saja Zyle duduk tegak, "iya!"
"sambil makan nasi ya."
"siap!"
"jadi....setahu gue Devano punya adik cewek. Namanya Ruka. Dari cerita dia, kayaknya Ruka itu sifatnya mirip Lo. Gak bisa diem, petakilan, rewel. Yah pokoknya Lo banget dah." Ren berdehem, "terus...di tahun pertama Devano masuk SMA, dia dapet kabar kalo adeknya kabur dari rumah. Katanya karena masalah keluarga, ayahnya cerai sama ibunya."
Zyle memasang mimik sedih.
"tenang. Mereka keluarga kaya. cerai sama bapaknya juga gak ngaruh." "bentar gue minum dulu."
Minum pun tidak tenang, karena Zyle terus memelototinya seolah tak sabar mendengar kelanjutan cerita.
"sambil makan." tukas Ren. "ayahnya Devano meninggal karena kecelakaan pesawat gak lama setelah itu. Jadi, ibunya sekarang cuma mengawasi pabrik skincare disini sambil nunggu Devano lulus. Kalo dia lulus mereka bakal balik ke negaranya buat lanjut hidup disana sekaligus bisnis jastip."
"tapi kenapa Devano kalo ngomong lokal banget kak? Dia udah indo banget kayaknya." Zyle bertanya.
"kan ayahnya dari sini. ibunya kawin disini pas mau bangun cabang pabrik ketiganya. Terus Devano juga sekolah dasar disini enam tahun. Pas sekolah tingkat menengah baru dia dibawa pulang ke negara asal ibunya selama tiga tahun."
Zyle mengangguk-angguk paham. "pantesan..."
"Yoi.." Ren mengangkat alis, "Lo beneran naksir dia?"
"h-hah? Enggak lah! Zizi kan pacaran sama skateboard!" bantah Zyle.
Ren terus meledeknya. Karena, siapapun mungkin tahu kenyataannya. cara gadis itu berinteraksi dengan Devano, atau setiap tatapannya berbeda.
apakah Devano memiliki perasaan yang sama?
Bagi Ren, perlakuan Devano pada Zyle lebih mirip dengan seorang kakak yang takut kehilangan adiknya. Itu karena Devano begitu menyayangi Ruka yang belum ditemukan sampai sekarang. Kenangan buruknya mungkin masih berbekas.
***