Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Tahun-tahun Berlalu
Akhirnya, jika saat akan masuk SMP dan SMA aku selalu memilih sekolah yang sama seperti Gaga, walaupun berat karena harus belajar lebih keras untuk masuk sekolah favorit, kali ini, aku akan mencari kampus yang berbeda dengan Gaga.
Mendengar cita-cita Gaga yang ingin menjadi seorang pengacara, membuat aku semakin ciut. Bahkan cita-cita Gaga begitu tinggi dan masa depan cerahnya sudah terlihat sejelas itu. Aku sudah bisa membayangkan seperti apa dirinya nanti. Sukses, kaya raya, juga memiliki pasangan secantik dan seanggun Alleta.
Aku sudah sangat pesimis. Ku ingat hari-hari di mana aku memikirkan Gaga, merindukannya, menangis karenanya. Rasa insecure ku yang selalu merasa bahwa Gaga tak mungkin bisa aku gapai sehingga aku harus puas hanya menjadi penggemar rahasianya.
Sekarang aku sudah lelah. Lelah sekali.
Kalau Gaga sudah memiliki rencana masa depan yang tertata rapi, aku pun tak bisa jalan di tempat. Aku akan berusaha untuk move on. Aku juga harus memulai masa kuliahku dengan hari-hari tanpa Gaga yang hadir di pikiranku seperti selama ini. Aku harus bisa mencari laki-laki lain. Laki-laki yang tidak memiliki status sosial yang begitu berbeda denganku. Laki-laki yang akan menatapku, yang akan merasakan keberadaanku.
"Kenapa harus ke Universitas Cakrabuana? Fakultas pendidikan terbaik di sini adanya di Ekadanta, Ra. Kenapa gak di sini aja?" Ayahku memberikan pandangannya saat aku mengutarakan keinginanku untuk kuliah di sebuah Universitas di Jakarta.
"Ayah mau aku masuk fakultas pendidikan 'kan? Biar aku bisa jadi dosen kayak Ayah sama Ibu. Aku akan ikutin maunya Ayah. Aku akan ambil jurusan Pendidikan Ekonomi atau pilihan ke duanya ke jurusan Pendidikan Sejarah. Tapi kampusnya, aku mohon Yah, biar aku yang cari sendiri. Aku pengen ke Cakrabuana. Aku udah daftar, tinggal tes."
"Kamu kok gak diskusi dulu sama Ayah?" kesal ayahku.
Aku bungkam. Sudah malas rasanya untuk berdebat. Selama ini aku selalu mencoba memenuhi ekspektasi ayah dan ibuku yang begitu ambisius. Tapi karena kemampuanku, aku harus selalu menampung rasa kecewa mereka. Bukan salahku 'kan jika aku ini tidak sepintar mereka? Tidak seberbakat mereka? Tidak ekstrovert seperti mereka?
Bahkan jurusan kuliah pun mereka ikut campur. Cita-citaku sejak dulu masih sama, aku ingin menjadi ibu rumah tangga yang bahagia di rumah mengurus anak dan suami. Jadi sebetulnya aku tidak terlalu peduli jurusan kuliah apa yang aku ingin masuki.
Pernah aku berpikir masuk tata boga. Seorang ibu rumah tangga harus pandai memasak bukan? Atau aku masuk saja keperawatan, agar aku bisa merawat anak dan suamiku kelak dengan baik ketika mereka sakit. Ya, aku memilih jurusan kuliah bukan karena masa depanku. Aku tetap berkuliah padahal aku ingin menjadi ibu rumah tangga karena seorang ibu tetap harus memiliki pendidikan yang tinggi, karena ia akan menjadi madrasah pertama putra-putrinya.
Namun akhirnya aku harus memenuhi keinginan orang tuaku. Sebagai anak tunggal mereka begitu berharap padaku. Entah bagaimana mereka begitu ingin aku menjadi seperti mereka. Menjadi seorang dosen. Bagi seseorang yang mendalami dunia pendidikan bukankah seharusnya mereka yang paling paham bahwa setiap orang memiliki kemampuannya sendiri?
Tapi ya sudahlah, demi memenuhi kembali ekspektasi orang tua, juga mengurangi rasa bersalahku karena aku tak pernah bisa menjadi murid yang cemerlang seperti yang mereka harapkan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil salah satu jurusan kependidikan dan kemudian kuliah hingga lulus.
Jika aku beruntung, mungkin suatu di kampus aku akan bertemu dengan seorang pria yang akan menikahiku. Aku akan pastikan visi kami sama. Dia akan bekerja, dan aku mengurus rumah dan anak-anak. Kemudian saat sudah menikah, aku yakin orang tuaku tak akan memaksaku lagi untuk lanjut S2 dan menjadi dosen. Mereka pasti akan menyerahkan semua keputusan kepadaku sepenuhnya.
Hingga tahun-tahun pun berlalu.
Usiaku kini genap 25 tahun.
"Ayo tiup lilinnya, Ra," pinta Rita, sahabatku sejak aku masuk kuliah.
Aku pun mengabulkan keinginan Rita dengan meniup sebuah lilin kecil di tengah sebuah es krim cup yang dibelinya di minimart. Ketika lilin sudah padam, Rita bertepuk tangan dan kemudian memelukku.
"Selamat ulang tahun, Naira, temen gue yang paling introvert." Rita menjauhkan dirinya dariku. "Kebiasaan deh, tiap tahun lo gak pernah gitu kasih gue petunjuk kalau ultah lo bentar lagi. Gue kan jadi bisa persiapan sengganya beliin lo cake yang lebih proper daripada cuma es krim begini."
"Gak apa-apa, Ta. Gue juga gak mau ngerepotin. Makasih ya lo inget sama ultah gue," tulusku.
"Ingetnya juga barusan. Nanti gue alarmin deh supaya gak lupa. Lagian orang tua lo, atau orang lain gak ada yang ngucapin gitu?"
Aku menggeleng sambil tersenyum lirih.
"Masa sih gak ada, Ra?" Rita tak percaya. "Lo...."
"Rita?" Tiba-tiba seorang gadis cantik dengan pakaian yang fashionable, juga dengan parfumnya yang tercium lembut seraya dengan kedatangannya, datang menghampiri Rita.
Sontak aku tertegun menyadari siapa gadis itu.
"Alleta?"