Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Sebuah Kesetiaan
Setelah bertemu Gavin hari itu, akhirnya Vanesa paham apa yang terjadi. Vanesa tak mau menyerah begitu saja. Meski diusir paksa oleh ibu mertuanya, ia tetap bertahan. Ia tidak ingin menyerah pada nasib seperti kedua orang tuanya—hancur karena perpisahan. Ia tidak ingin Gavin menertawakan kehidupan yang ia pilih.
“Kalau aku berpisah... apa bedanya hidupku dengan kedua orang tuaku?” bisiknya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya dirinya sendiri yang dengar.
Vanesa buru-buru pulang dari butik. Baru juga tiba ibu mertuanya sudah memulai perang dengannya lagi. Mertua membuang pakaian-pakaiannya lagi ke teras, Vanesa memungut satu per satu dengan kepala tegak. Ia tidak menjerit, tidak menangis, hanya menyimpannya kembali ke dalam rumah.
“Ibu tidak berhak mengusirku,” ucap Vanesa tegas, matanya menatap langsung ke arah wanita paruh baya yang kini mulai tampak memanas.
“Kenapa tidak? Ini rumah anakku!”
“Ini juga hasil jerih payahku. Kalau ibu ingin aku pergi, silakan panggil polisi. Biar ramai sekalian. Biar semua orang tahu, ibu mertuaku terlalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya.”
“Kamu... mengancamku?” Nada suara wanita itu naik satu oktaf, tak kalah tajam dari sorot matanya.
Damian buru-buru melerai. “Sudah, Bu. Malu sama tetangga.”
Vanesa kembali ke kamar, membawa pakaian yang tadi dibuang. Ia duduk di sofa, menggenggam ujung baju yang kusut. Di luar pintu, sang ibu mertua masih mengoceh, menyelipkan hinaan yang menyerempet kehormatan keluarganya.
“Begini jadinya kalau punya ayah penjudi dan pemabuk. Anaknya pasti jadi pembangkang!”
Vanesa mendengar semuanya. Wanita itu sengaja bicara keras, memastikan kalimat kejamnya menembus pintu kamar.
Ia berusaha menahan amarah. Tangannya memasukkan semua dokumen penting ke dalam tas, menyembunyikannya di bawah tumpukan pakaian dalam lemari. Lalu—ketukan terdengar di pintu.
“Buka! Kenapa pintunya dikunci?!”
Ia menarik napas, lalu membuka pintu. Wajahnya mencoba tenang, namun matanya basah.
“Mas... aku tidak mau berpisah. Berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku janji akan berpenampilan cantik, lebih menarik... lebih menyenangkan,” bujuk Vanesa dengan suara pelan.
“Aku nggak bisa, Vanesa. Aku sudah lelah denganmu. Selama kita menikah kamu tidak pernah menginjinkanku menyentuhmu,” sahut Damian datar.
Vanesa menutup pintu kembali. “Kenapa tidak, Mas? Sekarang kita bisa melakukannya,” katanya seraya meraih leher Damian, mencoba menciumbibir suaminya.
“Vanesa... apa yang kamu lakukan? Sudah terlambat, aku tidak menginginkannya lagi.”
“Mas, dulu memang aku menolakmu, tapi sekarang kita bisa melakukannya,” bujuk Vanesa.
Damian mendorong pelan tubuh Vanesa. Sorot matanya tak lagi menyisakan kehangatan.
“Tidak perlu . Rumah tangga ini... membosankan. Kamu, Vanesa. Tidak pernah ada gairah padaku, kenapa sekarang kamu mau? Kamu menjengkelkan.”
Vanesa menggenggam tangan Damian, menahannya agar tak pergi. “Kalau aku salah. Aku akan berubah, Mas. Aku janji. Jangan berpisah, aku mohon,” ucap Vanesa.
Namun Damian menarik tangannya dengan kasar.
“Aku iri dengan istri-istri rekan kerjaku. Mereka selalu tampil cantik, wangi di depan suami mereka, penuh semangat saat menyambut suaminya pulang.”
“Aku akan seperti mereka. Aku janji!” seru Vanesa tergesa, nyaris putus asa.
“Dengan sikapmu ini... malah makin bikin aku muak.”
Vanesa tercekat.
“Aku menyesal menikah denganmu. Setiap kali aku menginginkannya. Kamu selalu bersikap dingin padaku. Mana ada suami yang tahan tidak diberi nafka batin. Aku merasa buang-buang waktu selama ini bersamamu.”
“Mas, kamu sendiri yang ngomong kalau kamu akan menunggu sampai aku siap.”
“Tapi, tidak sampai bertahun-tahun Vanesa! Aku capek! Kamu ngerti nggak, sih?!” bentak Damian.
Hancur. Luluh.
Vanesa kehabisan cara untuk membujuk Damian agar jangan menceraikannya. Ia merasa perutnya keram, ia masuk ke kamar mandi dan Damian pergi. Menghilang tanpa sepatah kata pun. Vanesa duduk diam dalam kamar. Bayangan senyuman penghinaan Gavin melintas di benaknya.
‘Aku tidak ingin berpisah’ ucapnya dalam hati,
*
Perut Vanesa keroncongan. Ia menuju dapur—namun yang ditemui hanya kulkas kosong dan meja makan yang bersih tanpa jejak makanan. Ibu mertuanya benar-benar kejam. Semua makanan disembunyikan, bahkan untuk sesuap nasi pun tak disisakan.
“Tidak apa-apa... aku akan bertahan...” bisiknya lemah, nyaris seperti mantra untuk menguatkan diri.
Vanesa lalu keluar rumah. Namun sebelum itu, ia masuk kembali ke kamar, mengambil tas berisi dokumen penting dan menitipkannya di rumah temannya. Setelah itu, ia menuju butik miliknya.
Tidak ada yang tahu bahwa toko pakaian online miliknya sedang berkembang pesat. Menjelang lebaran, pesanan membludak. Vanesa bekerja dalam diam, menyembunyikan kejayaannya dari semua orang.
“Selamat pagi,” sapanya lembut pada para karyawan yang tengah sibuk memeriksa orderan.
“Pagi, Bu,” jawab mereka kompak.
“Bagaimana pengiriman hari ini? Ada kendala?”
“Tidak ada, Bu. Pesanan tahun ini melonjak dari tahun lalu,” lapor salah satu pegawai.
“Bagus.”
Vanesa ikut memeriksa orderan dan struk. Seorang pegawai, Mirna, memberanikan diri bertanya.
“Bu, kenapa kita nggak buka toko offline juga? Barang kita kualitas premium, desainnya pun semua dari Ibu. Kenapa cuma butik kecil dan online?”
Vanesa menoleh sebentar. Suaranya tenang namun tegas, “Aku tidak ingin orang-orang melihatku. Cukup mereka mengenal desainku, bukan siapa aku.”
“Kenapa? Ibu tidak ingin dikenal, seperti Ivan Gunawan?”
Vanesa menggeleng pelan. “Tidak, aku tidak suka dikenal banyak orang.”
“Pak Yuyun mulai curiga. Dia tanya siapa sebenarnya ‘Vanda’ itu.”
“Ingat pesanku. Jangan pernah buka mulut. Kalau terdesak, bilang saja ‘Vanda’ ada di luar negeri. Kamu cuma asistennya.”
Mirna mengangguk. “Oh iya, kemarin Mbak Iren datang ke sini. Untung pintu belakang sudah kami tutup, jadi dia nggak lihat aktivitas dalam.”
“Apa dia sudah pulang?”
“Iya, Bu.”
Vanesa tersenyum tipis. Ia rindu pada sepupunya itu, tapi ia belum siap membuka semuanya.
“Mbak Iren kan sepupu Ibu juga. Kenapa nggak boleh tahu soal toko ini?”
“Aku takut dia cerita ke ibu mertuaku. Nanti malah diminta ini itu lagi,” jawab Vanesa, setengah jujur.
Setelah menyelesaikan semua orderan, Vanesa memberikan bonus untuk semua karyawan. Ia tahu mereka telah bekerja keras hingga larut malam.
Mereka senang bekerja di bawah Vanesa. Meski tertutup dan penuh rahasia, bos mereka tidak pernah pelit. Vanesa adil dan perhatian. Mereka menghargai itu.
Setelah Vanesa masuk ke ruangannya, para pegawai bergosip kecil.
“Kalau ibu mertuanya tahu menantunya tidak semiskin yang dia kira, pasti dia berhenti menghina,” ujar salah satu.
“Bu Vanesa itu hebat. Tapi dia cuma nggak mau dilihat banyak orang.”
“Sttt… jangan terlalu keras. Siapa tahu ada yang dengar,” bisik Mirna sambil mengunci pintu teralis.
Di balik kesunyian tokonya, Vanesa menyimpan rahasia yang bisa mengguncang dunia kecil yang selama ini membelenggunya.
"Tapi rahasia paling besar... belum siap untuk dibuka. Bahkan oleh Vanesa sendiri."
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini