Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Cahaya untuk langit gelap
Satu minggu berlalu,semenjak itu Jingga hampir setiap hari memposting beberapa hasil jepretannya ke sosial media miliknya.
Jika dulu sosial medianya terlihat kecil dan sepi,tapi tidak sekarang.Pengikutnya mulai banyak.
Jingga sedang duduk di teras rumah Kake Arga sambil mengedit beberapa foto yang ia ambil kemarin sore. Cahaya matahari menerpa tanaman pada halaman rumah, membuat suasana terasa damai. Kake Arga sedang menyapu di halaman, sementara Jingga sesekali menatap layar ponselnya lalu kembali memotret embun yang menempel di daun singkong.
Sampai suara notifikasi membuatnya sedikit tersentak.Ia membuka ponselnya tanpa berpikir panjang.
Ada pesan masuk di akun media sosialnya, dari akun bernama Galeri Langkah Kecil sebuah akun komunitas fotografi lokal yang sering ia lihat,namun tidak pernah berani ia follow karena menurutnya akun itu terlalu bagus untuk gadis pemula seperti dirinya.
Ia membaca pesan tersebut dengan seksama.
“Hai @langit.di.jingga! Kami memperhatikan beberapa fotomu akhir-akhir ini. Gayanya unik dan punya karakter.
Kami ingin mengundangmu bergabung dalam proyek foto kecil bertema ‘Desaku, Ceritaku’ yang akan dipamerkan di kabupaten bulan depan. Kalau kamu tertarik, hubungi kami ya!”
Jingga menatap layar itu lama sekali.Jemarinya bergetar sedikit.Dadanya berdegup kencang.0
Ia membaca ulang pesan itu. Berkali-kali.
“Ini… beneran buat aku?” gumamnya.
Rasanya aneh. Selama ini ia memotret hanya untuk diri sendiri. Untuk menyimpan cerita hariannya. Untuk menemukan kedamaian dalam hal-hal sederhana. Ia tidak pernah berpikir bahwa orang lain akan melihat karyanya sebagai sesuatu yang layak dipamerkan.
Ia menunduk, menatap kamera kecil menggantung di lehernya,kamera pemberian Arjuna. Kamera yang menjadi gerbang bagi semua hal baru yang ia temui belakangan ini.
Apakah ia harus menerima?
Apakah ia cukup baik?
Apakah ia siap?
Pikirannya penuh pertanyaan, tapi hati kecilnya berdesir halus.Ia ingin mencoba.Tapi rasa takut menyelimutinya.
“Kenapa melamun sejak tadi?”
Suara Kake Arga membuyarkan lamunannya. Laki-laki tua itu menghentikan sapu dan menatap Jingga dari kejauhan.
Jingga berdiri, menghampiri Kake Arga dengan ragu-ragu. “Kek… aku dapat pesan dari komunitas fotografi lokal.”
“Komunitas fotografi?” Kake Arga mengangkat alis. “Mereka mau apa?”
“Mereka bilang suka beberapa fotoku dan mengundangku ikut proyek pameran desa di kabupaten.” Jingga menggenggam ponselnya erat-erat. “Tapi aku nggak tahu, Kek. Apa aku pantas?Apa aku bisa ?”
Kake Arga terdiam sejenak, lalu tertawa kecil.Sorot matanya tak bisa di sembunyikan jika ia bangga pada Jingga.
“Jingga, kalau orang lain bisa melihat bakatmu… kenapa kamu sendiri meragukannya?”
Jingga menunduk malu.
“Kalau itu membuatmu berkembang,belajar, dan bertemu orang baru, Kake rasa kamu harus coba,” lanjut Kake Arga. “Kamu tidak tahu peluang apa yang bisa datang setelah ini.”
Jingga menggigit bibir. Ada rasa takut sekaligus bersemangat.
“Kake percaya aku bisa?”
“Jingga,” Kake Arga menepuk bahunya lembut. “Kamu itu lebih kuat dan lebih berbakat dari apa yang kamu kira.”
Ia tersenyum pelan.
“Baik, Kek. Aku coba.” Semangatnya sedikit berkobar mendengar ucapan Kake Arga yang terlihat tulus.
Malam itu, Jingga membalas pesan komunitas itu dengan tangan bergetar.
“Halo kak! Terima kasih sudah menghubungi. Saya tertarik dan mau ikut, tapi saya masih pemula. Apa tidak apa-apa?”
Tidak lama pesan Jingga mendapat balasan kembali.
“Tentu saja boleh! Justru kami ingin memberi ruang untuk fotografer pemula yang punya potensi. Kamu tinggal pilih 10 foto terbaikmu untuk dikirim pada kami. Barang kali kamu bisa dapat banyak pengalaman dari sini.”
Jingga menutup ponsel dan memeluk kamera di dadanya.Ada sesuatu yang bergetar lembut dalam dirinya,seperti pintu yang perlahan terbuka.Seperti cahaya terang yang merasuki kegelapan,seperti langit kelabu berubah menjadi terang.
Malam itu ia tidak tidur cepat. Ia menghabiskan berjam-jam memilih foto terbaiknya.
Foto embun yang ia ambil hari itu.
Foto kucing di pagar bambu.
Foto anak kecil yang berlari sambil tertawa.
Foto ladang.
Foto jendela tua.
Foto Kake Arga.
Foto langit jingga.
Foto jejak kaki di tanah basah.
Ia menyeleksi dengan hati-hati, menata ulang foldernya, bahkan mengedit ringan beberapa foto.
Rasanya seperti mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting,kompetisi kecil dalam hidupnya sendiri.
Di sela-sela itu, ia menatap kamera kecil.
“Terima kasih, Ka Juna… kalau bukan karena kamera ini, mungkin aku tidak akan sampai sini.” Lirihnya tanpa sadar.
°°°
Di kota besar, di jam yang hampir sama,Arjuna sedang membuka akun media sosialnya sebelum tidur. Ia sudah selesai mengoreksi tugas mahasiswa dan bersiap untuk beristirahat. Namun kebiasaan melihat perkembangan foto-foto Jingga membuatnya membuka akun @langit.di.jingga sekali lagi.
Saat ia membuka halaman beranda akun Jingga, jantungnya berhenti sejenak.Jingga baru saja mengunggah foto baru.
Foto itu memperlihatkan suasana sore di desa,sinar matahari keemasan yang menembus sela daun bambu, membentuk pola cahaya yang menenangkan di tanah. Foto itu diberi caption.
“Bukan tentang tempatnya…tapi tentang kesempatan baru yang datang dari sesuatu kecil yang kita sukai.”
Arjuna terpaku.Ia menatap caption itu lama.Menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi pada gadisnya.
Beberapa menit kemudian, Jingga mengunggah stories berisi tulisan kecil.
“Aku dapat tawaran ikut proyek foto.”
Arjuna membeku.Wajahnya perlahan berubah menjadi senyum lebar penuh kebanggaan yang ia sembunyikan sendiri.
Ia ingat bagaimana Jingga sangat gugup pertama kali memegang kamera.Ia ingat bagaimana Jingga bertanya penuh rasa takut, “Apa boleh aku belajar?”
Ia ingat tatapan penasaran Jingga saat memotret rumput atau daun.
Dan sekarang…
Gadis itu berkembang lebih cepat daripada yang ia bayangkan.Arjuna bersandar di kursi, menutup mata sebentar. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya, sebuah rasa bangga yang tulus. Seperti seorang mentor yang melihat muridnya tumbuh dalam waktu singkat.
Ia membuka mata dan menatap foto Jingga di bingkai meja kerjanya.
“Bagus sekali, Jingga…” gumamnya.
“Sangat bagus.Aku bangga.”
Ia ingin mengucapkan selamat. Sangat ingin. Namun ia menahan diri. Ia masih memilih jarak aman, agar tidak melanggar batas sopan atau membuat Jingga merasa diawasi.
"Jingga,aku rasa aku tak bisa lagi membohongi hatiku.Aku jatuh hati pada mu."
Namun tiba-tiba Arjuna teringat,jika kesempatan ini membawa Jingga lebih jauh.Ia yakin ini langkah awal untuk menjadikan Jingga besar dan ia akan selalu mendukung walaupun dari jauh.
Keesokan paginya, Jingga bangun lebih awal dari biasanya. Ada semangat yang membara seolah ia kembali hidup. Ia mandi, sarapan dengan roti buatan Kake Arga, lalu duduk kembali di teras untuk memotret ayam-ayam yang sedang mencari makan.
Ia memotret dengan hati yang berbeda.Setiap jepretan terasa lebih mantap.Setiap sudut pandang terasa lebih hidup.Ia merasa dirinya tumbuh.
Hari itu, Jingga berjalan ke sungai, ke ladang, ke jalan kecil di belakang warung. Ia memotret semua yang menurutnya berarti.
Penduduk desa mulai memperhatikannya, beberapa tersenyum ketika melihatnya membawa kamera. Seorang ibu bahkan memanggilnya.
“Nak Jingga! Kalau sempat mampir ya,foto kebun saya juga. Bagus kalau diambilin gambar.” Ucapnya ramah
Jingga tertawa kecil. “Iya, Bu. Nanti aku mampir.”
Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya benar-benar menjadi bagian dari desa ini. Bukan sekadar tamu.Bukan sekadar orang yang tersesat dari rumah lamanya.
Dan dunia kecil ini menerimanya.
Sore menjelang ,Jingga mengirim 10 foto yang sudah ia pilih kepada komunitas itu. Tangannya gemetar saat menekan tombol “kirim”.
Setelah itu, ia duduk di pinggir sungai dan menatap permukaan air yang memantulkan warna jingga. Ia merasa bangga. Bukan karena ia sudah mahir, tapi karena ia berani.
Ia berani mencoba dan maju.Berani percaya bahwa dirinya bisa melakukan hal yang sebelumnya tidak mungkin.
Di kota besar, seseorang bernama Arjuna tersenyum bangga melihat perkembangan itu dari jauh, tanpa mengatakan apa-apa.
Dan di desa kecil, seorang gadis bernama Jingga mulai berjalan menuju masa depan yang bahkan ia tidak tahu bisa sejauh ini.
"Tunggu aku,Jingga.Jika waktu nya tiba,aku pasti datang dan membawamu ke dunia yang seharusnya kamu pijak "
...~ Arjuna ~...
...🍀🍀🍀...
...🍃Langit Senja Setelah Hujan🍃...