Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 6
Hari yang cerah untuk jatuh cinta, seharusnya. Namun Ganesha malah meringkuk di balik selimut, meracau merasakan tubuhnya yang meriang karena demam. Kepalanya pusing, hidungnya mampet, dan keringat dingin tidak henti-hentinya mengucur hingga membasahi selimut tebal yang dia kenakan.
Tolol. Agaknya sebutan itu memang pantas untuk disematkan kepada dirinya. Sudah tahu kondisi tubuhnya tidak sebagus orang lain, dia malah pasrah saja diajak hujan-hujanan hanya karena terlalu nyaman berada di dalam pelukan Tenggara. Padahal sudah tahu dia akan terserang demam dan flu parah, tetapi tetap saja tidak punya daya untuk menolak afeksi dadakan yang diberikan oleh cinta pertamanya itu.
"Hai, guys, balik lagi sama gue. Jadi di sini gue akan ngasih lihat ke kalian salah satu jenis manusia tolol yang eksis di dunia. Namanya Ganesha, guys. Tapi kalian bisa panggil dia tolol aja, biar lebih simpel."
"Kaaaff...." Ia merengek kepada Kafka yang mengarahkan kamera ponsel kepadanya.
Sungguh, Ganesha sedang tidak ada energi untuk memberontak sekarang. Bahkan jika diminta untuk bangun dari posisi rebahan sekalipun, dia mungkin hanya akan berakhir terjungkal dari kasur dengan sangat mengenaskan.
Kafka berdecak sebentar, melirik sinis ke arah Ganesha yang sudah pucat pasi dan hanya menyembulkan kepalanya sedikit dari dalam selimut. Lalu, ia singkirkan ponselnya. Ia masukkan benda pipih itu ke dalam saku celana, kemudian berjalan lebih dekat ke arah ranjang.
"Udah tahu kondisi badan nggak pernah oke, malah pasrah aja diajak ujan-ujanan. Bukannya usaha kek nolak pelukannya Tenggara," omel lelaki itu. "Kan gue juga udah berapa kali bilang sama lo? Bucin boleh, tolol jangan!" sambungnya.
Kepala Ganesha yang sudah nyut-nyutan karena efek demam menjadi semakin pening tidak keruan saat mendengar omelan Kafka. Saat sakit begini, bukankah seharusnya dia mendapatkan kasih sayang dan perawatan yang maksimal, alih-alih omelan? Bukankah sebuah peluk atau tepukan di punggungnya jauh lebih pantas untuk dia terima, alih-alih penghakiman atas letupan rasa cintanya pada Tenggara yang kadang kala memang tidak masuk logika?
"Kaf, gue lagi sakit loh ini? Bisa nggak ngomelnya nanti aja pas gue udah sembuh?" rengeknya lagi. Selimut tebal ia singkapkan, membuat bagian wajahnya terlihat lebih banyak. Detik itu, ia mengeluarkan jurus andalannya. Membuat ekspresi wajah super melas dengan puppy eyes juga bibir bawah yang agak maju sedikit.
Kalau sudah begitu, Kafka hanya bisa menghela napas rendah. Dengan berat hati, lelaki itu menelan kembali semua ocehan yang sudah dia siapkan, menyimpannya untuk nanti.
"Ini lo yakin nggak mau ke dokter aja?" tanya Kafka seraya mengecek suhu tubuh Ganesha menggunakan punggung tangannya. Memang sudah tidak sepanas ketika ia pertama kali datang ke rumah gadis itu, tetapi tetap saja masih dalam kategori demam.
"Lo kan tahu gue nggak suka bau rumah sakit." Suara Ganesha makin kedengaran sengau, efek banyaknya lendir yang menyumbat saluran pernapasannya.
"Hidung lo juga lagi mampet, nggak akan kecium bau apa-apa."
"Ihhss," Ganesha merengut. "Tetep aja, nggak suka."
Kedua bola mata Kafka berputar dengan malasnya, kemudian lelaki itu berjalan keluar dari kamar Ganesha. Hanya untuk kembali beberapa saat kemudian sambil membawa satu bungkus kompres pereda demam yang dia beli saat dalam perjalanan ke mari.
"Itu kompres buat bayi, kan?" Ganesha masih sempat-sempatnya bertanya ketika Kafka sedang membuka bungkus kompres berwarna biru tersebut. Yang tentu saja mengundang Kafka untuk kembali berdecak sambil memicing ke arahnya.
"Diem aja." Dengan sedikit keras, Kafka menempelkan kompres tadi ke kening Ganesha yang masih hanya bisa berbaring di atas kasur.
"Lo yakin nggak mau kabarin abang lo? Biar dia bisa pulang dan jagain lo malam ini?" tanyanya.
Ganesha menggeleng lemah. Itu bukan ide yang bagus, mengingat beberapa waktu lalu dia sudah cukup membuat abangnya khawatir dengan nyaris membuat seisi rumah kebakaran karena dia lupa mematikan kompor sebelum ditinggal mandi. Lagi pula, abangnya orang sibuk. Banyak hal yang perlu lelaki itu lakukan, alih-alih terus mengurusi adik perempuannya yang sudah bukan balita lagi.
"Kalau gitu telepon Selena. At least biar tetap ada yang jagain lo. Jangan sendirian," tawar Kafka lagi.
"Nggak bisa, Kaf." Susah payah Ganesha berusaha mendudukkan diri. "Selena ada flight ke Bali besok subuh. Ada pemotretan buat majalah edisi bulan depan."
"Lo diem-diem udah merangkap peran jadi manajernya Selena, ya? Tahu banget soal jadwalnya dia." Kafka agak mencibir. Karena dia sendiri tidak sedetail itu tahu soal jadwal kegiatan teman-temannya. Kalau bukan mereka sendiri yang memberi tahu, Kafka tidak akan dengan rempong bertanya.
"Kita emang selalu rutin tukeran jadwal, kok."
Mendapati fakta baru itu, Kafka lantas menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Biar gampang kalau mau match-in jadwal girls time kita. Lo tahu kan gue sama Selena sering pergi berdua? Nah, biar nggak bentrok aja jadwalnya."
"Terus, kenapa jadwal kalian nggak dibagi juga ke gue?"
Kali ini, giliran Ganesha yang malah menaikkan alisnya, tanda tidak mengerti. "Buat apa?"
"Buat match-in jadwal juga, lah."
Ganesha tahu-tahu memasang wajah julid. "Dih, ngapain? Kerjaan lo cuma di kafe sama bengkel doang, nggak perlu ada yang di match-in kalau kita mau hangout bertiga." Masih dengan gerakan pelan, dia membetulkan posisi duduknya. "Lagian, kayak kita pernah pergi ke tempat lain aja selain kafe lo sama markas kita."
"Oh, jadi gitu? Jadi kayak gini pertemanan kita? Jadi lo sama Selena sengaja mengecualikan gue supaya kalian bisa bikin circle di dalam circle, iya?" cerocos Kafka, mulai dengan sikap dramanya yang melebihi drama rumah tangga para artis kebanggaan negara.
Ganesha hanya bisa memutar bola mata malas, terlalu tidak punya tenaga untuk menanggapi segala drama yang sedang ingin dibuat oleh Kafka. Pening di kepalanya yang semula sudah hampir membaik tiba-tiba saja kembali, bahkan datang dalam kekuatan yang lebih dahsyat hingga rasa-rasanya dia mungkin akan pingsan sebentar lagi.
Dan sebelum itu betulan terjadi, Ganesha kembali membaringkan tubuhnya, merapatkan selimut hingga benar-benar nyaris membuat seluruh tubuhnya tenggelam.
"Nanti kalau lo mau pulang, tolong nyalain lampu depan ya," pintanya, dengan mata yang sudah terpejam.
Kafka hanya berdeham sebagai jawaban. Sementara netra lelaki itu terus saja terpaku pada wajah sayu Ganesha yang benar-benar menyedihkan.
Lalu, karena terlalu lama menatap betapa lemah Ganesha saat ini, ia kembali merasa marah. Satu pertanyaan yang sama terus berulang di kepalanya.
Perihal: mengapa harus Tenggara? Mengapa bukan laki-laki lain yang bisa memberikan lebih banyak bahagia ketimbang rasa sakit yang tidak ada habisnya seperti yang Tenggara lakukan terhadap Ganesha selama sembilan tahun ini?
Dan sama seperti hari-hari lain sebelum ini, Kafka tidak mendapatkan jawabannya. Dia tetap tidak tahu mengapa harus Tenggara, dan mengapa harus Ganesha yang selalu terluka.
Bersambung.....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅