Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersangka
Langit pagi ini tampak muram. Mendung menggantung rendah seperti menggambarkan suasana hati Evelyn yang tak menentu sejak pagi. Kaki wanita berambut panjang itu, berlari kecil menyeberangi jalan setelah turun dari angkot, dengan rambut yang belum sempat ia sisir rapi, dan dia ikat sembarangan. Nafasnya tersengal, dan napas hangat bertemu udara dingin membuatnya tampak mengepul.
Hari ini, ia telat. Lagi. Evelyn melambatkan langkahnya sebelum benar-benar masuk bangunan yang menjadi tempat dia mengais rejeki. Wanita itu merapikan ikat ambutnya, mengambil nafas dalam. Meremas kuat tali totebag lusuh warna khaki yang dia pakai sejak masih kuliah.
Cala demam semalaman. Tubuh mungil itu menggigil dan rewel terus. Evelyn baru bisa meninggalkan rumah ketika suhu Cala sedikit turun setelah diberi obat dan dititipkan pada tetangga sebelah, Susan.
"Semangat Eve, kau bisa," gumaman semangat pada dirinya sendiri.
Evelyn kembali melanjutkan langkah kakinya, ke arah belakang kafe. Tapi, begitu ia masuk ke area dapur kafe, suara tinggi langsung menyambutnya.
“Evelyn! Ini udah kedua kalinya kamu datang telat minggu ini!" bentak seorang wanita cantik. Wanita itu menatapnya tajam penuh intimidasi.
Evelyn membungkuk cepat, memohon, “Maaf, Kak Ayu… anak saya tadi demam. Saya…”
“Alasan! Kalau kerja di sini masih dianggap penting, kamu harus bisa bagi waktu!” potong sang supervisor sambil menatap tajam.
"Apa kamu pikir kafe ini milik orang tuamu!" bentaknya lagi.
Para karyawan lain yang mendengar suara Ayu hanya diam, menghindar. Mereka bukan tidak ingin membantu, tapi mereka juga masih ingin bekerja dengan aman di sana. Evelyn menunduk. Tak bisa membela diri lebih jauh.
"Maaf Kak Ayu," cicit Evelyn terpaksa, dia ingin membantah. Tapi Evelyn sadar dia salah, dan dia masih sangat butuh pekerjaan ini.
"Maaf mu nggak berguna, maaf mu nggak akan bisa ganti waktu kerja kamu!"
"Jangan diem doang! cepat kerja sana, dasar lelet!" teriak Ayu.
Evelyn hanya mengangguk, lalu segera pergi ke ruang karyawan untuk menaruh tasnya di loker. Ia lalu ke kamar mandi wanita untuk mengganti baju dan masuk ke bagian barista, seperti biasa. Tepukan pelan dan lembut menyentuh bahu Evelyn. Ia menoleh dan tersenyum pada gadis berambut pink yang tersenyum padanya.
"Jangan dimasukin hati Eve, semangat," lirih Zalea.
"Thanks Lea," sahut Evelyn.
Zalea mengangguk tipis. Mereka memang berinteraksi seminim mungkin di tempat kerja, karena Ayu bisa marah jika tahu anak buahnya berbincang santai saat bekerja. Evelyn mengambil nafas dalam, menyiapkan diri untuk melayani para customer dengan berbagai gaya dan akhlak mereka.
Hari itu kafe penuh sesak. Pesanan bertubi-tubi datang, para pelayan berlalu-lalang seperti semut yang kebakaran. Evelyn bekerja nyaris tanpa jeda, bahkan sekedar mengusap keringat saja dia tidak sempat. Tangan wanita itu dengan cekatan, membuat kopi, meracik minuman, hingga membantu membersihkan meja. Bahkan ia sempat kena semprot dari pelanggan karena salah tulis nama di cup kopi.
Ketika jam menunjukkan pukul enam sore, satu per satu karyawan shift pertama mulai bersiap pulang. Tapi sebelum Evelyn bisa berganti baju dan mengambil tas, suara keras terdengar dari ruang penyimpanan.
“Lho? Tumbler signature kafe… hilang lagi!” teriak Ayu.
Semua langsung berhenti. Evelyn dan Lea saling pandang, begitu pula karyawan yang lain. Dengan langkah tegas Ayu memasuki ruangan karyawan. Matanya melotot, menatap tajam karyawan yang ada di ruangan it satu persatu. Suasana yang semula sibuk dan riuh dengan candaan, kini berubah tegang.
"Panggil semua yang kerja shift satu kemari!" ujar Ayu penuh penekanan. Semua diam, menunduk.
"Kenapa diam, apa kalian tuli!" teriak Ayu sambil menghentakkan satu kakinya.
Seorang karyawan laki-laki melesat keluar, dan memanggil rekan-rekannya yang masih ada di tempat parkir untuk masuk. Lima orang karyawan pun masuk menunduk dengan takut.
Ayu berdiri di depan mereka dengan tangan terlipat.
“Tumbler signature kafe ilang. Sumpah ya saya tidak tahu lagi harus berkata apa? Kalian ini niat kerja apa niat jadi maling sih?" Ayu mendengus karena mereka hanya diam.
"Taruh tas kalian, saya harus periksa semua tas,” kata Ayu.
“Ini bukan pertama kalinya ada barang hilang. Tapi saya pastikan ini akan jadi yang terakhir,” tegas Ayu.
Evelyn menggigit bibirnya. Ia tahu ia tidak melakukan apa pun, jadi ia mengangguk saja. Tas totebag lusuhnya diletakkan di meja bersama tas rekan kerjanya yang lain. Ayu mulai memeriksa tas satu persatu dan belum menemukan tumbler itu. Tapi saat Ayu membuka totebag lusuh milik Evelyn. Matanya membeliak lebar.
"Apa ini EVELYN!?" pekik Ayu, suara semua orang tercekat.
“Ini… tumbler-nya?”
Wanita cantik itu mengangkat tinggi, tumbler warna silver mengilap itu seperti menampar wajah Evelyn. Ada di dalam tasnya. Barang yang hilang. Terlihat utuh, dengan stiker logo kafe yang masih menempel.
Mata Evelyn melebar, lalu menggeleng cepat.
“Itu… itu bukan saya yang taruh! Saya nggak tahu kenapa bisa ada di tas saya!” seru Evelyn panik, matanya berkaca-kaca.
“Jangan ngelak, Evelyn. Ini benda mati, apa kau pikir dia bisa melompat sendiri ke dalam tas mu!" teriak Ayu.
"Tumbler limited. mungkin dia mau jual lagi," ucap salah satu temannya dengan nada dingin. Bisik-bisik pun mulai terdengar memojokan Evelyn.
“CCTV!” pekik Zalea tiba-tiba, ia berusaha membela Evelyn dengan caranya.
"Ah iya, Kak Ayu tolong cek cctv. Saya benr-benar tidak mengambilnya Kak," ucap Evelyn cepat, berharap itu bisa menyelamatkannya.
Ayu menggeleng. “Rusak dari kemarin. Belum dibenerin.”
“Bukan saya… saya bersumpah, saya bahkan nggak sentuh barang itu!” suara Evelyn mulai bergetar. Tapi semua hanya menatap dengan tatapan datar. Tak percaya. Satu-satunya yang ia miliki saat ini hanyalah kata-kata untuk membela diri. Tapi bagi orang lain, itu hanya suara kosong yang tidak berati apa-apam bagai angin lalu yang berhembus.
"Ikut saya ke kantor dan yang lain boleh pulang."
Evelyn hanya bisa menundukkan kepala, mengikuti langkah Ayu yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang karyawan. Setelah mereka masuk ke ruang kerja Ayu, Evelyn hanya berdiri dengan tangan yang saling meremas. Ingin berteriak tapi bukti sudah jelas ada, jadi akan percuma saja da membela diri.
Beberapa menit kemudian, Ayu memberikan selembar kertas padanya.
“Ini surat pemberhentian kamu, Evelyn. Maaf, tapi ini sudah cukup parah. Gaji bulan ini hanya dibayar setengah, sesuai ketentuan untuk pelanggaran berat.”
Selembar kertas pemecatan itu terasa seperti vonis.
"Maaf Kak, tapi bukankah Pak Eric yang berhak memecat saya," tutur Evelyn. Ayu memutar matanya jengah.
"Itu urusan saya. Apa kamu pikir Pak Eric akan mempertahankan maling seperti kamu bekerja di sini," tukas Ayu dengan ketus.
Evelyn berdiri kaku, tangannya meremas kuat kertas yang ada ditangannya. Air mata Evelyn yaris tumpah, tapi ia menahan. Dia tidak ingin terlihat lemah.
"Kalau begitu saya permisi."
Ia pun keluar dan kembali ke ruang karyawan untuk mengambil tasnya. Tak ada yang membela , tak ada ucapan perpisahan. Semua hanya diam. Sebagian bahkan menahan senyum puas. Evelyn menggenggam tasnya, memeluk jaket lusuhnya, lalu berjalan keluar. Langit di luar kini mulai meneteskan hujan tipis. Jalanan basah, angin menusuk, dan malam mulai datang. Wanita itu berhenti sejenak, mendongak menatap langit dengan tangan menengadah satu. Sudut bibirnya terangkat naik, getir. Senyum getir dan pahit tersungging lebar di wajahnya.
Tapi yang paling dingin malam itu bukan udara. Melainkan perlakuan manusia.