Remake.
Papa yang selama ini tidak suka dengan abdi negara karena trauma putrinya sungguh menolak keras adanya interaksi apapun karena sebagai seorang pria yang masih berstatus sebagai abdi negara tentu paham jalan pikiran abdi negara.
Perkara semakin meruncing sebab keluarga dari pihak pria tidak bisa menerima gadis yang tidak santun. Kedua belah pihak keluarga telah memiliki pilihannya masing-masing. Hingga badai menerpa dan mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang begitu menyakitkan.
Mampukah pihak keluarga saling menerima pilihan masing-masing.
KONFLIK tinggi. SKIP jika tidak sesuai dengan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Jika demi hati.
"Tidak ada." Jawaban itu begitu terngiang di telingaku.
Belum juga kulamar putrinya tapi beliau sudah mematahkan hatiku dengan ketegasannya. Tapi aku tidak akan patah semangat. Aku mencoba menggunakan cara yang patut untuk tetap meminta ijin pada beliau.
"Saya mencintai Dinar."
"Cintamu itu dangkal. Suatu saat kamu bahkan orang yang kamu sebut keluargamu akan tahu sejarah tentang pemberontakan itu dan mereka akan memintamu untuk meninggalkan Dinar. Saya tidak ingin melihat tangis sedih putri saya..!!!" Ucap tegas Pak Herca.
Aku memang belum merasakan menjadi seorang ayah tapi aku tau tau bahwa segala ucapan Pak Herca adalah bentuk perlindungan seorang ayah untuk anaknya.
Tak ada kata yang bisa ku ucapkan selain diam, bukannya tidak berani tapi Bang Black ingin mengusahakan pendekatan yang baik pada keluarga. Ia ingin mengangkat harga diri seorang gadis dengan cara terhormat sekaligus membuktikan bahwa apa yang ada pada dirinya termasuk seluruh hatinya hanya akan mencintai Dinar.
POV Flashback Bang Black off..
Bang Black memejamkan matanya. Hanya sekedar menenangkan diri hingga hatinya lega.
***
Penebangan terakhir mendarat saat hari melewati tengah malam. Mama Dindra bingung saat tiba-tiba saja suami dan putrinya pulang.
Dinar yang kalut segera berlari dan membanting diri menuju kamarnya. Papa Herca pun menuju ruang tengah dengan wajah kusut. Hanya nampak beberapa orang anggota piket dan Bang Black yang nampak lesu meletakan barang di muka rumah.
"Ada apa?? Kenapa 'bapakmu' marah??" Bisik Mama Dindra.
"Siap salah, Ibu..!!"
"Cepat masuk lewat pintu samping, ada si mbok nanti buatkan teh hangat..!!" Perintah Mama Dindra.
"Ijin ibu, saya langsung kembali ke mess saja..!!" Pamit Bang Black.
"Ini situasi tengah malam, kamu sudah terlalu lelah. Istirahatlah di kamarmu. Biar si mbok bantu ambilkan makan dan minum di kamar. Sampai pagi tidak akan ada yang mengusikmu. Siapa yang berani buat keributan biar menghadap saya..!!" Ucap tegas Ibu wakil panglima.
Akhirnya Bang Black berjalan menuju kamar tidurnya di kediaman menurut atas perintah 'ibu'. Si mbok yang sudah bangun segera menyiapkan makan juga teh hangat untuk ajudan Pak Herca.
...
Rasanya Bang Black tidak selera makan tapi tetap tidak menyisakan makanannya. Ia pahami mencari sebutir nasi membutuhkan perjuangan panjang.
Masih terbayang wajah Dinar di atas kepala. Kejadian saat itu terlalu membekas menghadirkan rindu yang tidak berkesudahan.
"Oalah Mas Rinto, tadi Mbak Dinar juga demam. Nggak mau makan." Kata Si Mbok mengadu pada pria bertubuh tegap bak menara mercusuar.
Bang Rinto menoleh sekilas, entah kenapa wanita sepuh tersebut mengadukan hal ini padanya.
"Sekarang bagaimana keadaannya, Mbok?"
"Tadi waktu si Mbok tinggal, Mbak Dinar masih menangis.
Sejenak mata Bang Rinto terpejam. Semua terasa sesak dan pedih untuk di rasakan.
"Tolong di temani, Mbok. Jangan di tinggal, saya takut Dinar kenapa-napa." Pinta Bang Rinto pada si Mbok.
Si Mbok paham dan segera kembali ke kamar Dinar.
...
Pagi ini tanpa proses berbelit, Bang Rinto mendapatkan surat amelden yang sudah di tanda tangani seluruh pejabat yang berwenang. Tapi saat itu sungguh Bang Rinto tidak ingin pergi jauh dari Dinar.
Ingin sekali rasanya menghubungi gadis cantik kesayangannya tapi jelas saat itu Pak Herca sudah mengambil ponsel milik Dinar.
Bang Rinto menyandarkan keningnya pada kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. Pikirannya terus berputar mencari cara agar bisa menghubungi Dinar.
Entah di sadari atau tidak tangannya mengambil ponsel lalu menekan nomer telpon rumah Pak Herca.
"Selamat siang, kediaman............"
tuuuutt..
Bang Rinto menutup panggilan telepon tersebut hingga empat kali dan kembali menghubungi nomer tersebut.
"Tolong jangan main telepon ya..!! Dengan siapa disana???" Tegur suara tersebut.
Seketika Bang Rinto membuka matanya. Nafasnya terasa sesak.
"Kurir paket. Ada hati yang ingin di antar, apakah bisa di terima??" Tanya Bang Rinto.
Dinar sangat mengenali suara tersebut, matanya berkaca-kaca. Ingin membalas tapi dirinya teringat akan pesan sang Papa.
"Bawa kembali pada pemiliknya. Hatinya patah dan retak. Tidak ada yang ingin melihat hati itu disini." Jawab Dinar.
Bang Rinto kembali menunduk dengan hati yang terasa remuk. Beban di dada begitu terasa menyiksa apalagi saat dirinya mendengar isak tangis dari Dinar.
"Tapi saya yakin ada yang ingin menerimanya. Sepuluh menit lagi saya antarkan hati ini ke kediaman. Kalau tidak ada yang mengambilnya, saya buang saat nanti terbang tinggi." Kata Bang Rinto.
:
Dinar kebingungan hingga mondar mandir di dalam kamar. Dari kejauhan dirinya melihat Bang Rinto berjalan ke arah rumahnya.
Mama Dindra melihat putrinya resah. Tidak ada yang tidak ia ketahui dari putrinya termasuk gelagat hatinya yang memiliki rasa pada 'ajudan' suaminya.
"Pergilah..!!!" Kata Mama.
"Maaa.."
"Tidak apa-apa, pergilah. Mama merestui" Mama Dindra membawa koper untuk Dinar putrinya. Sudah ada perlengkapan disana.
"Papa pasti marah sama Mama."
"Nggak akan, sayang..!! Mama yang akan mendinginkan hati Papa..!!" Mama segera mendorong putrinya agar bisa segera keluar dari rumah.
Dinar memeluk Mama Dindra dengan erat. Hatinya berat meninggalkan tapi ada hatinya yang lain di luar sana.
"Cepat, percayalah sama Mama..!!"
.
.
.
.