Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
"Kapan ngurus ke KUA nya? Sudah mepet ini, Dit!"
"Dita sudah chat mas Elham, Ma. Belum dibalas," jawabku.
"Kapan?"
"Semalam."
"Kok semalam? Hari ini lagi dong, ingatkan lagi."
Pagi hari, mama sudah mengomeliku untuk mengurus berkas. Mama tidak ada bosannya menegurku soal ini dan itu untuk mempersiapkan pernikahan.
Dua minggu ini, keluargaku mendadak menjadi hectic. Terlebih mama yang menyuruhku mengurus dan menyiapkan semua keperluan pernikahan yang akan terlaksana. Dekorasi, make-up, resepsi, makanan, tamu undangan semua sudah tersedia. Namun, masalahnya ada pada pemenuhan berkas di KUA yang belum terurus karena dia belum ada waktu untuk mengurusnya bersamaku.
Perkaranya jelas, dia sungguh sibuk dengan urusan pekerjaannya. Pesan yang semalam aku kirim, hanya terbaca tanpa dibalas. Ini sudah seperti aku merendahkan diri sendiri padanya, bahkan urat nadiku sudah nyaris putus karena semua perbincangan soal pernikahan aku yang memulai.
Terakhir, aku hanya mengirimkan list schedule rencana yang membutuhkan kehadirannya.
Rabu jam 9 dan jam 1 : ke KUA ngurus berkas,ke photo studio (pas photo dan prewedding)
Kamis jam 8 - selesai : fitting baju resepsi, pesan prasmanan tamu keluarga mas Elham
Jumat pagi : perlengkapan unduh mantu di keluarga mas Elham.
Sekirannya sudah aku list jadwal kami di sisa 2 minggu terakhir ini. Namun, hanya dibaca olehnya dengan balasan reaction jempol pada list jadwal itu.
Aku harap, jadwal ini sudah sesuai dan dia benar-benar sepakat dengan waktu yang aku rencanakan.
Ting! Ponsel yang sedang aku genggam berdenting notifikasi pesan WhatsApp.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pesan baru saja aku terima dari orang yang akan menikah denganku.
"Maaf, Dek. Baru sempat balas. Jadwal hari jumat bisa diganti hari lain tidak, Dek? Saya mau ke luar kota dan balik lagi hari Senin."
Pesan darinya yang merespons rencana yang kukurim semalam, baru saja aku membaca, belum sempat membalas, tetapi ia sudah melanjutkan mengetikkan pesan.
Typing...
"Kalau tidak, mama saja nanti yang urus hal itu. Saya gak terlalu paham juga urusan begituan."
"Baiklah, Mas," balasku.
Pesanku langsung terbaca dan dia kembali mengetikkan sesuatu. Dan setiap ia mengetikkan sesuatu, jantungku turut berdebar sampai menerimanya. Tidak ingin berpaling saat tulisan "typing" berada di layar ponselku.
Ting.
"Oke. Thank you."
Typing...
"Besok jadi ke KUA, Dek?"
Jujur saja, typing-nya ini membuatku sabar menunggu balasan dan aku bisa jatuh cinta tanpa pernah bertemu sekali pun sebelumnya.
Dek? Ide siapa itu memanggilku demikian? Membaca setiap pesannya membuatku meleleh, seketika terbayang wajah Nicholas Saputra saat menjadi Rangga dan aku adalah Cinta di film percintaan yang sangat aku suka saat remaja dulu. Aku merasa dia pria yang gentle dan soft spoken.
"Jadi, Mas," balasku setelah berselang agak lama dari pesan terakhir darinya.
"Ya, besok saya jemput jam 8, ya. Terima kasih." Dia merespons pesanku dengan sangat cepat.
"Iya, Mas."
Tanpa sadar, aku salah tingkah dan tersenyum sendiri di meja kerjaku.
"Eee. Bu Dita, kenapa? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Vika. Ternyata sejak tadi aku diperhatikan oleh Vika yang duduk di meja seberangku.
Pukul 8 pagi esok harinya. Ini menjadi pertama kalinya aku akan bertemu dengan calon suamiku. Ada sejuta pertanyaan di pikiranku. Bagaimana jika dia tidak sesuai dengan yang aku bayanganku? Bagaimana jika aku tidak menyukai perilakunya? Bagaimana jika dia bukan pria bertanggung jawab dan apa yang dikhawatirrkan papa benar? Dan ... bagaimana jika ternyata dia tidak menyukaiku?
Ting!
"Dek, saya sudah di depan."
Tidak lama setelah pesan terbaca, aku mendengar suara pintu diketuk. Mama yang membuka, beliau heboh kedatangan calon menantunya, kemudian beliau memanggilku dengan lembut.
"Kak? ... Kakak, Dita, Dit, ada Mas Elham."
Tanpa perlu mama memanggilku, sebenarnya sudah tahu kedatangannya lewat pesan singkat yang dia kirimkan dan posisiku sedang di ruang tengah, sedangkan dia di ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok saja.
"Dita..."
"Ya, Ma. Dita sudah di sini," jawabku di belakang mama.
Aku mencari-cari yang mana seseorang bernama Elham itu. Yang duduk di depan mama hanya satu orang pria , cukup tua, dan berambut klimis dengan kumis tebalnya.
"Ma, mana mas Elham?" tanyaku pada mama. Bukan yang ini, kan?
"Ya. Kamu sudah dijemput pakai mobil," ujar mama.
Sungguhkah? Benarkah dia yang bernama Elham itu yang kata mama lulusan luar negeri? Benarkah pria berkumis tebal ini? Antara aku dan dia terpaut berapa usia? Aku jadi takut seperti apa kata papa.
"Ma, benarkah ...?"
"Ya, benar!" jawab mama tegas.
Bukan aku meremehkan, tetapi melihatnya saja sudah seperti aku berhadapan dengan om-om karena dia terlihat seumuran dengan papaku sendiri.
Aku memegang tangan mama sembari menatapnya, pria itu berbalik menatapku, lalu menunduk memberi salam padaku saat aku mendudukan diri di samping mama.
Tok tok.
"Assalamualaikum," terucap salam dari seorang pria yang menundukkan kepala saat melewati pintu rumahku.
"Hei, ya! Waalaikumsalam, Nak! Apa kabar?" jawab mama riang dan semringah.
Mama langsung berdiri menyambut pria yang baru saja datang. Dia menyalami mama, begitu pun mama yang mengobrol berbasa-basi dengannya.
Aku hanya memperhatikan dia yang tidak membosankan dipandang, aku menatap dia yang tidak berpaling saat mengobrol dengan mama bahkan dia tidak melirikku sama sekali yang sejak tadi melihat senyumnya yang lebar dan indah itu.
Siapa pria ini? tanyaku dalam hati.
"Nak Elham, makasih banyak sudah sempetin waktunya buat ngurus nikah."
Aku melotot. Elham? Dia yang bernama Elham? Benarkah pria yang tinggi menjulang dan melampaui batas pintu rumah kami itu adalah Elham? Lalu, pria di depanku ini siapa?
"Maaf, saya tadi ada telepon urusan pekerjaan. Jadi, saya minta supir saya untuk ke sini lebih dulu, Tante," ujarnya memberi tahu, mama memaklumi.
"Dimana Gemoy, Tante? Sudah siap?" tanya dia pada mama. Aku sedikit terpingkal, bahkan dia memanggilku "Gemoy" sama seperti ibunya.
"Ya, itu dia. Sudah siap sejak subuh," ujar mama melebih-lebihkan, beliau menundingku yang duduk si sudut sofa ruang tamu. Menunjukanku saat dia bertanya dimana aku, si wanita yang menjadi tunangannya itu.
Aku memberi salam padanya. Namun, kemudian ... dia menatapku dengan disertai senyuman kaku yang memperlihatkan deretan giginya.
Dia menatap dengan datar, tanpa senyuman lebar dan manis yang sejak tadi dia perlihatkan pada mama. Bahkan saat aku tersenyum padanya, dia tidak merespons dengan sebaliknya.
"Sudah, Nak Elham. Anak tante sudah siap go away," ujar mama merangkulku.
"Baik, mari?" ajaknya sopan.
Aku masih membeku di tempatku, bahkan mama mendorong-dorong tubuhku untuk bangkt, tetapi aku kesulitan menggerakan kakiku untuk melangkah barang sedikit pun.
Ini benar-benar di luar nalar. Aku masih belum percaya, ini tidak mungkin.
Di sepanjang jalan ini, aku diam. Kami saling diam, rupa-rupanya bapak berkumis tebal itu adalah benar supir pribadinya.
Di dalam mobil, kami saling diam. Dia yang sibuk menelepon, bahkan sampai di tempat tujuan dia meminta waktu 5 menit untuk rapat. Aku dan supir pribadinya menunggu di lobby KUA, menunggunya sampai dia selesai dengan urusannya.
Dia mendahului masuk ke dalam kantor urusan agama, sedangkan aku merasa diabaikan tanpa diajak masuk bersama.
Adakah yang salah denganku? Apa karena bajuku yang tidak sesuai? Dress sepanjang lutut ini, apakah ia tidak menyukai penampilanku? Atau dia terganggu oleh kakiku yang cukup besar ini terekspos? Atau karena make-up ku yang tidak bagus? Apa alisku terlalu tebal? Sekali lagi aku bertanya dalam hati, adakah yang salah pada diriku?
"Berkasnya sudah lengkap. Silakan diisi form pendaftarannya, pernikahan kalian hari Senin minggu depan, ya?" tanya pengurus KUA yang mempermudah proses pendaftaran pernikahan kami.
Di antara kami tidak ada yang menjawab.
Sesuai rencana, kami melanjutkan photo studio pada orang kenalan mama. Kami saling diam, sunyi. Mungkin, aku dapat mendengar hembusan napasku sendiri dan setiap pergerakan akan menjadi kentara karena berada di situasi keheningan ini.
Dia terus menunduk dan sibuk dengan ponselnya, kami benar-benar tidak bertegur sapa.
Aku ingin memulai, tetapi selagi dia tidak mengajakku berbicara, maka aku tidak akan berbicara. Hanya karena aku takut mengganggu pekerjaannya.
Bukankah saat bersama mama dia terlihat akrab dan ramah? Mengapa jadi dingin begini? Lebih dingin daripada AC mobilnya.
Di tengah jalan, dia gelisah melihat sekitar. Dia menepuk-nepuk pundak supir dengan tergesa.
"Pak Budi, stop. Stop di depan sini. Aku mau turun."