Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Cinta dan Dusta
Kali ini Aroon benar-benar dibuat frustasi oleh perkataan Luna. Lelaki dengan hidung mancung, kedua matanya bermata coklat. Menatap sosok di sampingnya seraya mengusap pelipisnya karena ini lebih dari orang gila.
“Aku mohon, jangan katakan rahasia ini kepada Runa, walau kalian adalah paman dan keponakan. Namun, aku melihat bukan sebagai itu.”
Aroon mengerti akan maksud perkataannya. Benar apa yang dikatakannya dan terlihat bukan sebagai paman atau keponakan. Melainkan sebagai teman.
“Aku akan mengusahakannya,” ujar Aroon karena ia juga harus menghormati Laluna dengan keputusannya.
Untuk sejenak mereka berdua berhenti di jembatan layang. Menghirup udara malam hari yang begitu menyejukkan, lalu disinilah Aroon menemukan kesempatan untuk memotret wajah ayu dari Luna.
“Luna …!”
Orang yang dipanggil itu pun langsung menoleh.
“Maaf karena tidak meminta izinmu, setelah jadi aku akan menyerahkannya kepadamu.”
Luna membalas dengan seulas senyuman, membuat Aroon—lelaki asing yang kini tengah berlibur di Indonesia, untuk kali pertamanya merasakan sesuatu yang damai di hatinya.
“Ish, … ada apa denganku? Selama ini aku tidak tertarik dengan wanita manapun, tapi kali ini perasaan berbeda hingga di dalam sini tanpa aba-aba.” Namun, ucapan itu tertahan di hatinya.
Ketika Aroon masih memandangi wajah Luna, tiba-tiba saja senyumannya memudar di kala suara notifikasi pada ponselnya.
“Lun, apa kamu baik-baik saja?” tanya Aroon ketika melihat wajahnya kembali datar, tetapi terlihat jika raut itu menandakan kegundahan.
“Tidak ada, aku harus secepatnya pulang. Besok ada kelas awal dan aku tidak ingin terlambat,” jawab Luna meski sedikit lama hanya untuk memberikan jawaban.
“Kalau begitu aku akan mengantarmu sampai rumah.”
Luna pun mengangguk dan bukan berarti ia murahan. Alasan tersebut hanya ingin tahu respons suaminya. Jika ia berjalan dengan pria lain, mungkinkah Arindra marah atau justru tak acuh kepadanya? Terlebih selama ini perempuan seperti dirinya bukanlah orang terpenting di hidupnya.
“Mas, akankah kamu marah padaku sebagai bentuk kepedulianmu atau justru hanya bisa menontonku dibalik tirai? Karena di depan matamu ada seseorang yang begitu kamu kagumi selain aku.” Seraya berjalan beriringan dengan Aroon.
“Harusnya aku mengantarmu dengan menggunakan kendaraan,” ucap Aroon karena ia tak terbiasa berjalan kaki seperti sekarang.
“Apa kamu tidak terbiasa seperti ini? Jika iya. Kamu boleh kembali karena aku sudah terbiasa melakukannya,” celetuk Luna.
“Demi kamu aku rela berjalan. Itu artinya aku peduli, karena hubungan antara kamu dan Aruna.” Jawab Aroon.
Dari yang irit bicara kini sudah mulai banyak bicara, hal yang tidak pernah dilakukannya. Tiba-tiba saja ia rela berjalan kaki karena kemauan Luna.
Tanpa terasa, akhirnya Luna sampai juga di depan rumahnya. Tanpa mereka sadari jika seseorang telah mengintai dibalik tirai. Dengan penuh tanda tanya, mempertanyakan sosok lelaki bersama dengan istrinya.
Arindra pun memilih kelur rumah untuk memeriksa siapa lelaki tersebut. Ia tidak marah, hanya saja dirinya perlu memastikan jika pria tersebut adalah orang baik.
Sedangkan Aroon dan Luna menyudahi pertemuan mereka. "Terima kasih karena kamu sudah mengantarku pulang," ucap Luna dengan raut wajah kesedihan karena ia bisa melihat jika suaminya hanya berdiri menatapnya tanpa ingin menghampiri sebagai bentuk kepeduliannya.
"Itu sudah tugasku sebagai seorang lelaki. Terkadang kita harus berani mengambil resiko hanya untuk sebuah pembuktian, bukan?"
Lalu, dari sinilah Luna merasa tertampar dengan kalimat tersebut. Memilih pergi tanpa mengatakan apa pun lagi, karena ia merasa menyedihkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali dianggap tidak penting di hidup seseorang.
Aroon sudah hilang dari pandangan Luna, tepat pada saat berbalik. Luna dikejutkan adanya Arindra dan menodongnya dengan beberapa pertanyaan. “Dia siapa? Aku merasa asing dengan lelaki yang mengantarkan kamu pulang.
Bukan, bukan pernyataan ini yang ingin dia dengar. Melainkan kemarahan seorang Arindra, tetapi wajahnya hanya menampakan sebuah rasa penasaran dari lelaki bernama—Aroon How.
“Adik dari bibi Rina,” ujar Luna.
“Apakah dia orang baik? Apa dia bisa dipercaya—.”
“Arindra, cukup! Sekarang aku tahu jika kamu tidak benar-benar mencintaiku, sikapmu sungguh membuatku seolah adalah istri buangan.”
Arindra seketika bungkam, ternyata apa yang dia ucapkan berbalik dengan keinginan Luna.
“Apa aku salah jika mengkhawatirkannya? Apa sikapku ini keterlaluan sampai membuat Luna marah?” Pernyataan-pertanyaan yang ada di hatinya belum juga menemukan jawaban, membuat Arindra sedikit frustasi.
“Arindra, apa yang membuatmu menikahiku?” Untuk sekali lagi, Luna mencoba mempertanyakan arti sebuah pernikahan lima tahun lalu.
“Aku … aku mencintaimu, setelah kepergian Emi, berusaha melupakannya hingga dipertemukan dengan wanita sebaik dirimu. Aku mencintaimu sangat-sangat mencintaimu—,”
“Pembohong!”