Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Menghitung Hari
Dio
"Emang lo pernah ketemu Ilma dimana sih, keukeuh kitu (ngeyel gitu)?" rupanya Fayyad masih penasaran.
"Maneh ayeuna lain baheula (Kamu yang sekarang beda sama yang dulu)," seloroh Gerry. "Ayeuna mah nempo awewe nu geulis we langsung sat set (Sekarang lihat cewek cantik langsung bergerak)," sambil mempraktekkan tangan yang bergerak cepat.
"Lain kitu (Bukan begitu)," ia mencibir, tadi bukannya Gerry yang paling semangat menginterview Ilma. "Beneran gue pernah ketemu di DU. Waktu mau Seminar."
"Tapi kok dia sama sekali nggak ingat, kasihan kasihan kasihan," Gerry tergelak puas. "Jarang-jarang ada cewek lupa abis ketemu ama lo."
"Jarang-jarang juga lo langsung inget sama cewek yang baru sekali ketemu," Fayyad menimpali heran. "Ada udang dibalik bala-bala (bakwan) nih? Hmm..."
"Ingat waktu pagi-pagi meeting sama orang Bank?" ia mengingatkan pagi ter hectic beberapa waktu lalu. "Gue mesti buru-buru ke DU, ponsel ketinggalan, macet, nggak tahu ruang Seminar. Nah, Ilma yang bantuin gue."
"O kitu," Gerry mulai mengerti. Tapi kalimat selanjutnya menjadi ajang pembullyan tahap kedua. "Dasar maneh, dibere nu kempot we langsung on (Dasar kamu, dikasih yang ada lesung pipi aja langsung on)."
Membuat Fayyad teringat sesuatu, "Oh, he eh, mirip cewek lo yang di Jogja, sama-sama punya lesung pipi. Heu, nggeus ketebak pisan (Udah ketebak)."
"Sekarang udah jadi mantan," sahutnya tertawa getir.
"Matakna move on atuh jang (Makanya move on lah)," sambung Gerry sambil menepuk bahunya sok tahu. "Cari yang speknya beda. Itu si Tiara jeung (sama) Anin bukannya ngebet banget sama lo dari semester satu?"
"Ini sih antara emang lo tipenya yang kek gitu atau belum move on," Fayyad ikut menggarisbawahi. Lalu melanjutkan dengan gaya tak kalah menyebalkan dibanding Gerry tadi, "Be careful, bro, Jidni anak MP. Lo macem-macem sama adenya bisa digibeng ntar."
"Ya udah cancel aja." Ini si Fayyad sama Gerry mendadak comel cuma gegara keantusiasannya tadi. Apa selama ini ia terlalu flat dengan lawan jenis? "Kita cari orang lain buat keuangan, kalau kalian khawatir gue nggak bisa profesional."
"Maneh mah sok teu pararuguh (Kamu suka nggak jelas)," kali ini giliran Fayyad yang menggerutu.
"Tong ngambek atuh, Yo," Gerry kembali menepuk bahunya. "Akhir-akhir ini maneh asa tararegang kieu (terlalu tegang). Kunaon (kenapa)?"
Tapi ia tak menjawab, pura-pura sibuk di depan layar laptop, padahal kepalanya dipenuh kalimat provokatif Bayu,
"Udah lamaran, nikah April."
"Nikah April."
"April."
'Mengapa kita bertemu
Bila akhirnya dipisahkan
Mengapa kita berjumpa
Tapi akhirnya di jauhkan
Kau bilang hatimu aku
Nyatanya bukan untuk aku
(Yovie dan Nuno, Sempat Memiliki)
***
Anggi
Rendra membimbingnya untuk duduk di kursi ergonomis yang telah lebih dulu disesuaikan ketinggiannya. Kemudian berlutut untuk menghapus airmatanya yang menganak sungai dengan tisu lembut, memberinya sebotol air mineral, lalu berkata tenang, "Kalau kamu udah enakan, kita pulang."
"B-bukannya kamu lagi nunggu Bang Buyung sama Bang Fredy?" ia balik bertanya sembari terus menunduk menyusut ingus yang masih tersisa karena menangis tadi.
Rendra menggeleng sambil tersenyum, "Kita cancel aja, masih banyak waktu."
"T-tapi kamu udah janjian, nggak mungkin tiba-tiba ngancel tan..."
"Aku anterin kamu ke Raudhah dulu, baru ketemu sama mereka," potong Rendra sambil masih tersenyum, dengan tangan kanan terulur mengelus pipinya.
"Aku bisa nunggu disini selama ka..."
Rendra menggeleng, "Mereka masih di jalan, perlu waktu lumayan buat sampai kesini." Lalu menggenggam tangannya, "Kamu istirahat di kost. Nggak usah mikirin yang lain."
Sejak saat itu Rendra tak pernah mengungkit soal pre nup lagi. Ia pun akhirnya juga melupakan pre nup. Sibuk menyambut Papah, Mamah, dan Adit yang datang ke Jogja untuk hadir di acara wisudanya, lalu gladi bersih dan segala tetekbengek persiapan wisuda.
Namun malam hari usai wisuda, saat makan malam di hotel tempat mereka menginap, ia hanya mendapati Mamah dan Adit.
"Loh, Papah kemana?"
Adit mengangkat bahu, "Tahu tuh tadi keluar sama si Abang."
Membuatnya mengernyit, karena Rendra tak memberitahu soal ini padanya. Hmm, udah main rahasia-rahasiaan ya mereka berdua.
***
Rendra
"Udah berapa lama kalian kenal? Setahun? Dua tahun? Atau lebih?"
Menjadi pertanyaan pertama yang dilontarkan Papah Anggi sejak mereka berdua duduk di Executive lounge setengah jam lalu. Selama waktu itu mereka hanya berdiam diri sambil menikmati Espresso dan sajian live music.
"Setahun setengah kurang lebih, Om. Dari Ospek tahun lalu."
"Wah, baru juga ya."
Tapi baginya, ia telah mengenal Anggi seumur hidup.
"Anggi itu sebenarnya anak kedua kami."
Ia mulai mendengarkan.
"Anak pertama kami, laki-laki, meninggal dua jam setelah dilahirkan."
"Proses kelahiran normal, lancar, di bidan dekat rumah. Kami semua bahagia. Tapi satu jam kemudian badannya mendadak biru-biru."
"Langsung kami larikan ke Rumah Sakit. Kata dokter, ada kelainan jantung. Setengah jam setelah diperiksa, bayi kami meninggal."
Ia mulai menelan ludah.
"Nggak lama istri hamil lagi. Alhamdulillah, semua proses lancar sampai waktunya melahirkan. Terus terang kami agak trauma dengan kelahiran pertama, takut terjadi lagi."
"Sempat was-was karena bayi terlilit tali pusar dan harus di sectio. Syukurlah Anggi lahir dengan sehat dan selamat."
"Usia dua bulan, tiba-tiba muncul benjolan kecil di dada sebelah kiri atas. Warnanya merah, lama-lama membesar. Kata dokter tumor jinak."
"Usia dua bulan setengah, Anggi udah masuk ruang operasi. Saat itu jadi pasien termuda untuk operasi besar."
Ia mendadak ingin menyesap Espresso.
"Usia satu tahun keatas mulai sering sakit-sakitan. Sering mimisan. Tiap cuaca panas atau dingin yang melebihi standar rata-rata suhu, pasti langsung mimisan."
"Karena khawatir, kami membawa Anggi pergi ke dokter spesialis anak, tes darah lengkap, alhamdulillah hasilnya bagus, nggak ada kelainan."
"Tapi masih tetap sering mimisan. Pernah suatu pagi saat bangun tidur istri menjerit ketakutan, karena bantal Anggi berubah merah, penuh darah yang berasal dari hidung."
"Kami takut, akhirnya memutuskan pergi menemui ahli hematologi. Disana semua pemeriksaan kami lalui dengan harap-harap cemas."
"Setelah melalui rangkaian pemeriksaan panjang, Anggi dinyatakan sehat, tanpa penyakit apapun."
Entah mengapa ia ikut bernapas lega.
"Hanya membran hidungnya tipis. Itu yang membuatnya sensitif dengan naik turun suhu. Akhirnya jadi mimisan."
"Sampai sekarang juga kadang masih suka mimisan. Apalagi kalau lagi cape banget, langsung keluar mimisan sampai gumpalan darah beku keluar semua."
Ia mengangguk, "Iya, Om. Saya udah pernah lihat waktu Anggi mimisan," ingatannya melayang ketika FGD saat bonding cluster. Saat pertama kali egonya mau mengakui, bahwa gadis judes galak itu telah mencuri hatinya, bahkan sejak mereka belum saling mengenal.
"Udah pernah lihat ya?" Papah tersenyum. "In syaAllah aman. Kalau kamu khawatir boleh cek rutin lagi."
"Baik Om. Nanti kami rutin MCU."
Papah masih tersenyum sambil menerawang, "Setelah masalah mimisan beres, Anggi masih sering sakit. Biasanya demam, batuk, pilek. Batuknya lumayan parah. Sensitif sama semua bentuk asap."
Ia mengangguk setuju. Teringat bagaimana dalamnya batuk Anggi saat ia merokok di depannya. Suara batuk yang membuat dadanya ikut merasa sakit karena mengingatkannya pada almarhumah Mama.
"Makanya Om berhenti merokok, karena Anggi betul-betul alergi asap. Bisa langsung batuk setengah jam nggak berhenti. Kasihan."
Lagi-lagi ia setuju, karena ia pun akhirnya memilih untuk berhenti merokok. Kecuali waktu-waktu tertentu saat sedang tak bersama Anggi, terutama saat menemani Papa bertemu rekan bisnisnya, ia sesekali masih menerima tawaran merokok. Meski sekarang selalu berusaha untuk menolaknya.
"Pernah suatu waktu badannya panas tinggi, 40 derajat lebih. Sampai step, kejang-kejang. Saking paniknya tanpa sadar istri memasukkan tangan ke mulut Anggi biar nggak gathik (menggigit lidah sendiri). Begitu serangan step selesai, jari istri om seperti mau putus. Saking kerasnya gigitan Anggi."
"Sampai beberapa kali step. Sekitar tiga atau empat kali. Tapi alhamdulillah nggak sampai kena syaraf."
"Ternyata sebabnya karena amandel Anggi membengkak. Jadi sedikit aja rangsangan, misal kehujanan, cuaca tak menentu, makanan kurang sehat, kondisi tubuh kurang fit, langsung memicu demam tinggi.
"Tapi Anggi kecil tetap tumbuh ceria, jadi anak tomboy. Mungkin karena kami masih merasa bahwa anak pertama kami itu cowok."
"Hobinya lari-larian, main bola, main mobil-mobilan. Anaknya juga berani sama orang, galak malah," Papah terkekeh. Ia pun ikut terkekeh, galak udah dari sononya berarti.
"Pernah sepulang sekolah waktu TK, saking senangnya lihat Om jemput, dia langsung lari nyebrang jalan nggak pakai nengok kanan kiri."
"Pas ada motor lumayan kenceng lewat, nggak bisa ngerem, akhirnya ketabrak."
Ia kembali harus menelan ludah.
"Tangan sama kakinya patah. Nggak masuk sekolah 6 bulan. Begitu masuk nggak mau TK lagi, maunya langsung SD," Papah kembali terkekeh.
"Dari SD sampai SMP masih sering demam. Kehujanan dikit, besoknya bisa nggak masuk sekolah selama tiga hari karena demam."
"Jajan es sembarangan pas kondisi badan nggak fit. Bisa langsung batuk pilek, lanjut demam. Ujung-ujungnya jadi sering nggak masuk sekolah."
"Karena khawatir mengganggu studi, kelas 3 SMP kami memutuskan untuk operasi amandel."
"Banyak pertimbangan memang. Karena kalau amandel diambil berarti sudah tidak ada tentara terakhir di tubuh yang akan menghalangi penyakit. Tapi mau gimana lagi, tiap demam lehernya bisa bengkak, susah nelen, sakit. Kasihan, udah mau masuk SMU. Apalagi Anggi ingin masuk sekolah favorit. Banyak saingannya. Waktu itu masuk SMU masih pakai syarat nilai UN murni, belum zonasi kayak sekarang."
Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum membayangkan Anggi ABG yang ambisius.
"Alhamdulillah sejak operasi amandel, sakit-sakitan dan demamnya jauh berkurang. Ya kalau batuk, pilek, pusing, demam sedikit itu biasa ya. Apalagi kalau kurang istirahat, kecapean ekskul."
Ia jadi tertarik, "Anggi dulu waktu sekolah ikut ekskul apa Om?"
"Ekskul?" Papah balik bertanya. "Waktu SMP ikut nari. Ya memang dari SD udah sering ikut lomba-lomba nari gitu."
"Nari sama PKS apa ya waktu SMP, Om juga agak lupa."
"PKS apa Om?" ia mengernyit.
"Patroli Keamanan Sekolah. Itu, yang suka nyebrang-nyebrangin di depan gerbang sekolah kalau pagi sama siang. Polisi-polisian."
Membuatnya menahan senyum membayangkan Anggi ABG memakai seragam patroli sekolah. Wah, ini sih bakal kelihatan tambah angker. Udah galak, pakai seragam polisi lagi.
"Oh, iya sama Marching Band," Papah mendadak teringat sesuatu.
"Anggi pernah ikut Marching Band Om? Mayoret Om?" ia semakin tersenyum lebar.
"Nggak lah, Anggi kan nggak terlalu tinggi. Kecil gitu. Yang jadi mayoret dulu dipilih yang jangkung-jangkung."
"Dulu pegang snare kalau nggak salah. Tiap hari latihan panas-panasan sampai uitem," Papah tertawa menerawang.
Ia mengangguk-angguk sambil masih tersenyum membayangkan Anggi kepanasan latihan marching band. Jangan-jangan galakkan anggotanya dibanding mayoretnya. Khayalan aneh ini membuat dirinya tak bisa menahan tawa.
"Kalau SMU ikut ekskul apa aja Om?"
"Kalau SMU udah nggak mau ikut yang bersentuhan sama fisik. Ikutnya English Club, Debat Club, sama KIR (kelompok ilmiah remaja)."
Senyumnya mendadak hilang. Pasti disini mereka -Anggi dan Dio- jadi sering bertemu sampai akhirnya dekat. Hatinya mendadak berubah jadi tak nyaman, membayangkan keakraban Anggi versi SMU dan Dio. So childish, batinnya kesal mengutuki diri sendiri.
"Ren!" Papah menepuk bahunya lumayan keras, membuatnya terperanjat.
"I-iya, Om...."
"Om titip Anggi ya," ujar Papah pelan sambil matanya berkaca-kaca.
"Om percaya Anggi bisa membawa diri. Tapi, karena kamu kelak jadi suaminya, Om titipin Anggi ke kamu."
"Tolong bahagiakan dia."
"Kami semua sangat menyayangi Anggi," Papah terlihat semakin sulit untuk menahan airmata yang mulai berdesakan memaksa ingin keluar.
"Kalau kalian ada masalah, tolong selesaikan baik-baik."
"Kalau suatu hari, kamu udah nggak cinta lagi sama Anggi...tolong...jangan kasih tahu dia. Bilang saja ke Om. Om akan bawa dia pulang ke rumah," Papah mulai menyeka airmata.
Ia tak mampu berkata apa-apa. Tapi setetes air mata terasa jatuh membasahi pipinya.
"Titip Anggi," Papah kembali menepuk bahunya pelan. "Jaga dia baik-baik."
"Baik, Om," Ia berusaha tersenyum sambil menyusut sudut mata. "Terima kasih atas kepercayaan Om dan Tante."
"Saya janji akan menjaga Anggi baik-baik."
I'll do my best to make her happy. Everyday.
'Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Di sisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
Kau ingin 'ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu, jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan dalam waktu kuberanjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu, jatuh dan terinjak
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Kuterus berjanji 'tak 'kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya kumencintaimu
'Kan kubuktikan kumampu penuhi semua maumu'
(ADA Band, Yang Terbaik Bagimu)
"Om jangan ragu untuk sering mengingatkan tentang janji saya ini."
Papah kembali menepuk bahunya, "Mulai sekarang panggil Papah aja, jangan Om."
Lalu tersenyum, "Kamu nanti kan anak Papah juga."
Ia ikut tersenyum. "Baik, O...Pah," lidahnya masih belum terbiasa untuk mengucapkan panggilan baru.
Papah tersenyum. "Sekarang, untuk masalah resepsi....Papah sama Mamah ikut gimana baiknya menurut kalian."
"Kalau memang perlu, silahkan. Papah sama Mamah nggak keberatan."
"Papah sama Mamah berdoa, semoga semuanya lancar sampai hari H. Sampai selamanya kalian membangun rumah tangga. Sampai cucu-cucu kami lahir."
'Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Kuterus berjanji 'tak 'kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya kumencintaimu
'Kan kubuktikan kumampu penuhi semua maumu'
(ADA Band, Yang Terbaik Bagimu)'
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu