NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: Api Dalam Genggaman

Sudah tiga hari sejak Samantha menerima jabatan kepala editor. Di atas kertas, semua terlihat sempurna, jabatan impian, ruang kerja luas, fasilitas lengkap, dan tim yang kini menantinya setiap pagi dengan catatan dan agenda. Tapi di balik semua itu, pikirannya tak pernah benar-benar tenang.

Setiap pagi terasa seperti pertarungan baru. Matanya bengkak karena kurang tidur. Bahunya tegang karena terus memikul beban yang tak bisa dibagikan. Dan yang paling menyakitkan: keheningan yang kini mulai tumbuh antara dirinya dan Leonard.

Leonard, yang biasanya peka, mulai bertanya. Mulai memerhatikan. “Kau baik-baik saja?” tanyanya dua malam lalu saat mereka makan malam. Tapi Samantha hanya mengangguk, pura-pura menelan semuanya bersama makanan yang bahkan tak ia rasakan.

...****************...

Pagi itu, setelah menolak tiga panggilan dari Nathaniel yang masuk tanpa henti, Samantha memutuskan sesuatu: dia harus bicara. Dan hanya satu orang yang terlintas di pikirannya.

Evelyn.

Ruang kerja Evelyn tak jauh dari divisi editorial, tapi terpisah oleh sekat khusus karena posisinya sebagai bagian dari tim internal audit perusahaan. Samantha menunggu hingga jam makan siang sebelum menghampirinya. Begitu masuk, dia mengunci pintu.

"Evelyn, aku butuh bicara. Sekarang."

Evelyn menatapnya, lalu tanpa banyak tanya mengangguk dan mempersilakan duduk. "Kau kelihatan seperti sedang dihantui."

Samantha tertawa kecil, getir. "Mungkin memang begitu."

Ia mulai bercerita. Tentang ancamannya yang dibungkus perhatian. Tentang nama di pintu ruangannya yang tiba-tiba berubah. Tentang obsesi diam-diam yang kini terasa seperti jerat tak kasat mata.

Evelyn mendengarkan. Tak menyela. Tak bersuara. Tapi ekspresinya berubah, dari khawatir menjadi curiga, lalu menjadi fokus seperti sedang menyusun potongan teka-teki.

"Dia memalsukan dokumen resmi perusahaan, Sam. Dia menyalahgunakan wewenang, dan… jika yang kau ceritakan benar, ini lebih dari sekadar masalah personal. Ini..." Evelyn menghentikan kalimatnya, lalu menatap Samantha lurus-lurus. "Kita harus menyelidikinya. Hati-hati. Tapi serius."

Samantha menatap sahabatnya dengan rasa lega yang hampir menyesakkan. Untuk pertama kalinya, dia tidak merasa sendirian.

...****************...

Di tempat lain, Leonard duduk di ruang tamu dengan cangkir kopi yang sudah dingin. Pandangannya tertuju pada ponsel Samantha yang tertinggal di meja. Sesuatu tentang wanita itu belakangan ini membuat dadanya tidak nyaman.

Ia memeriksa galeri, hanya foto kerja dan dokumen. Tapi saat membuka notifikasi yang belum dibaca, matanya tertumbuk pada satu nama.

Nathaniel Graves.

Dan untuk pertama kalinya, dada Leonard terasa ditusuk dari dalam.

...****************...

Ruang kerja Nathaniel siang itu dibanjiri cahaya kelabu dari langit yang muram. Ia tengah berdiri di depan jendela kaca, memandangi lalu lintas jauh di bawah sana, ketika pintu diketuk pelan.

"Masuk."

Linda Spencer melangkah masuk, langkahnya hati-hati. Dia membawa beberapa berkas di tangan, tapi jelas bukan itu yang membebaninya. Wajahnya tegang, seperti seseorang yang tahu dia akan menyampaikan kabar yang tidak menyenangkan.

"Maaf mengganggu, Pak Graves," katanya dengan nada setenang mungkin. "Saya ingin melaporkan mengenai... insiden pagi ini."

Nathaniel menoleh setengah. Tatapannya datar, tapi ada intensitas yang tak bisa disembunyikan. "Samantha?"

Linda mengangguk. "Dia datang ke ruang HR dengan sangat marah. Menuntut penjelasan soal perubahan data nama di sistem internal. Menganggap itu pelanggaran. Ia juga menyatakan tidak pernah menandatangani dokumen apa pun terkait perubahan tersebut."

Nathaniel diam sejenak. Lalu membalikkan badan sepenuhnya, menatap Linda dari balik meja kerjanya.

"Dan?"

Linda menelan ludah. "Dia ingin semua sistem dikembalikan. Hari ini juga. Dia mengatakan bahwa jika Anda ingin mengklaimnya sebagai milik Anda, maka Anda harus melakukannya dengan cara yang lebih dari sekadar... mencuri namanya."

Hening panjang menyelimuti ruangan.

Nathaniel mencondongkan tubuh, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Sorot matanya tajam, tapi bukan marah, lebih seperti menimbang.

"Apakah dia menyebutkan akan membawa ini ke dewan atau ke legal?" tanyanya akhirnya.

"Tidak. Tapi nadanya... jelas menyiratkan ancaman."

Nathaniel tersenyum kecil, nyaris tak terlihat. Senyum yang mengerikan karena begitu tenang.

"Jangan ubah apa pun," katanya pelan. "Kalau dia kembali menuntut, katakan bahwa datanya sedang dikaji. Serahkan semuanya padaku. Aku akan berbicara dengannya... secara pribadi."

Linda ragu. "Pak, jika ini sampai bocor, dan dia membawa ini keluar?"

Nathaniel melambaikan tangan pelan, memotong ucapan itu. "Dia tidak akan membocorkannya. Samantha tidak seperti itu. Dia terluka, ya. Tapi dia tidak bodoh."

Ia berjalan mendekat ke sisi meja, menatap Linda langsung. Suaranya menjadi lebih dalam.

"Dan satu hal lagi, Linda. Jangan pernah mempersoalkan keputusan saya di depan staf lain. Termasuk ketika itu soal Samantha. Mengerti?"

Linda mengangguk pelan. "Ya, Pak Graves."

Nathaniel menunggu sampai wanita itu keluar sebelum kembali duduk di kursinya. Tangannya bergerak lambat membuka laci dan mengeluarkan selembar foto, foto Samantha yang diam-diam ia ambil dari kamera pengawas pesta malam itu.

Ia menatap wajah itu sejenak. Wajah yang mulai memberontak. Wajah yang mencoba melarikan diri darinya.

"Tak apa...," bisiknya pada dirinya sendiri. "Bahkan bunga liar yang tumbuh liar pun akan layu jika kehilangan tanahnya."

Lalu dia menyelipkan foto itu ke dalam map, dan mengangkat telepon.

"Siapkan ruang konferensi kecil sore ini. Hanya untuk dua orang, katanya dingin. "Saya akan menemui Ny. Graves secara langsung."

...****************...

Ruangan konferensi kecil di lantai delapan itu sunyi seperti makam. Lampu gantung bulat memancarkan cahaya lembut ke meja kayu gelap yang hanya memiliki dua kursi. Sebuah teko kopi hangat sudah disiapkan, lengkap dengan dua cangkir. Rapi. Terlalu rapi.

Samantha masuk lebih dulu. Ia diberitahu oleh asisten bahwa Nathaniel ingin berbicara secara pribadi. "Tentang masalah nama," begitu katanya.

Begitu pintu menutup, kesunyiannya langsung terasa berbeda. Menekan. Berdesir. Pintu terkunci otomatis dari dalam.

Nathaniel masuk tak lama kemudian. Pakaian jasnya tak bernoda, dasi arloji senada, langkahnya tenang seperti biasa, tapi mata itu, mata yang menyimpan terlalu banyak cerita, menyala sedikit lebih gelap.

"Terima kasih sudah datang," katanya pelan. Seolah ini hanya pertemuan biasa. Seolah yang terjadi selama beberapa hari terakhir adalah angin lalu.

Samantha tetap berdiri. "Aku tidak datang karena undanganmu, Nathaniel. Aku datang untuk mendengarkan penjelasan. Sekaligus peringatan."

Nathaniel tersenyum tipis. Ia duduk, menyilangkan kaki.

"Baiklah. Aku akan jujur." Ia menatapnya dalam-dalam. "Aku memang yang meminta perubahan data itu. Dan ya, aku tahu itu melanggar batas. Tapi hanya jika kau menganggapnya sebagai pelanggaran."

Samantha menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak bisa tidur sejak malam itu," bisiknya. "Aku tahu kau tidak ingat. Tapi aku... aku tidak bisa melupakannya, Samantha. Setiap detik. Setiap tarikan napasmu. Saat kau bersandar padaku dengan tubuh gemetar dan...."

"Cukup," potong Samantha, suaranya tajam. Ia duduk, tapi tidak karena nyaman, melainkan karena lututnya mulai terasa lemas. "Apa pun yang terjadi malam itu, aku tidak sadar. Dan kau tahu itu. Jadi jangan membungkus obsesimu dalam puisi murahan."

Nathaniel mencondongkan tubuh ke depan, nada suaranya menurun, lebih berbahaya dalam kelembutannya. "Obsesi? Mungkin. Tapi aku tidak pernah menyakitimu."

"Apa yang kau lakukan sekarang bukan hanya menyakitiku, tapi merampas kendali hidupku. Kau pikir hanya karena aku pernah lemah, kau bisa memilikk....”

"Bukan karena kau lemah," Nathaniel memotong. "Tapi karena kau jujur saat itu. Untuk pertama kalinya, kau tidak membangun dinding. Kau... nyata."

Samantha tertawa sinis. "Itu bukan 'nyata'. Itu mabuk. Terjebak. Tak berdaya."

Nathaniel mengangguk pelan, tapi tatapannya tetap menusuk. "Mungkin. Tapi aku tidak memaksamu. Kau datang padaku. Kau menangis di dadaku. Kau mengatakan... kau lelah. Dan aku bersumpah untuk tidak membiarkanmu sendiri lagi."

Hening. Kata-kata itu menggantung di udara seperti asap yang tak kunjung hilang.

Samantha mengatur napasnya. Lalu ia bicara lebih tenang, tapi lebih berbahaya. "Kau tidak bisa mencintaiku dengan cara menghancurkanku, Nathaniel."

Nathaniel menatapnya lama. Ada luka samar di balik sorot matanya. Tapi kemudian lenyap, digantikan oleh tekad dingin.

"Aku tidak berniat menghancurkanmu," katanya. "Aku hanya tak akan membiarkanmu pergi."

Ia berdiri. "Kau boleh benci aku. Tapi kau akan tetap di sini. Karena di luar sana, tak ada tempat yang bisa menjagamu seperti aku."

Samantha ikut berdiri, nyaris berhadapan. "Kau tidak menjagaku, Nathaniel. Kau menjebakku."

Nathaniel menyentuh pinggir meja dengan jari-jari runcingnya. "Lihat sekelilingmu, Samantha. Kau bisa berjalan keluar ruangan ini. Tapi lambat laun... kau akan kembali. Karena hanya aku yang benar-benar melihatmu."

Samantha menahan napas. Ia membuka pintu tanpa berkata apa-apa dan keluar dari ruangan.

Tapi begitu pintu menutup, Nathaniel hanya diam, menatap ke arah pintu seperti seseorang yang sudah mengatur semua langkah berikutnya.

Dan dalam bisikan nyaris tak terdengar, ia berkata:

"Aku akan menunggu. Seberapa jauh pun kau berlari."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!