Taqi Bassami, hanya karena ia seorang anak angkat, pria itu harus mengorbankan hidup selamanya. Taqi menukar kebebasannya demi membayar balas budi. Berkat sang ayah angkat, hidupnya yang terpuruk di jalan, kini menjadi sukses.
Bila balas budi bisa dibayar dengan uang, Taqi pasti melakukan hal itu. Tapi bagaimana, jika Taqi harus menikahi wanita pilihan keluarga angkatnya itu untuk membalas jasa. Belum lagi latar belakang Taqi yang perlahan mencuat ke permukaan. Siapa sebenarnya Taqi? Ketika banyak pihak mengincar nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Taqi
Jodoh Titipan Bagian 6
Oleh Sept
Bandara International SOETA, Jakarta.
"Mas Taqi pasti terkejut. Jadi nggak sabar." Anisa bicara sendiri, sembari tangan kirinya menarik koper warna hitam, sedangkan tangan satunya memegang ponsel.
Gadis itu rasanya sudah tidak sabar, ingin segera memberikan kejutan untuk Taqi nanti.
"Nah ... itu ibu sudah datang!" ucap Anisa yang melihat sosok wanita melambai ke arahnya.
Anisa seketika mempercepat langkah kakinya, ia menuju ke tempat di mana sang ibu dan adik laki-lakinya yang sudah menunggu.
"Buk ...!" Anisa langsung menghambur dalam pelukan hangat sang ibu.
"Nisa kangen," bisik Anisa sambil mendekap ibunya.
"Kok kurusan? Apa makanan di sana tidak enak?" tanya ibu setelah melepas pelukannya.
"Kurus apaan Ibu? Lihat ... pipinya sudah mirip bakpo!" celetuk Andri Ardiansyah. Pemuda 22 tahun, adik kesayangan Anisa yang paling rese.
"Ish, emang kurusan! Wekkk!" jawab Anisa sambil meledek adiknya yang jahil itu.
"Iya nih, Bu. BB Anisa turun 2 kilo," tambah Anisa yang tidak mau dikatakan gemuk oleh Andri.
"Kalian ini, baru ketemu sudah mirip kucing sama tikus. Udah, ayo pulang ... Ibu capek lama-lama berdiri," ajak ibu dua anak tersebut. Dia adalah tente Wini. Seorang janda kaya di kota itu.
"Hemm, yuk. Nisa juga mau makan masakan Ibu. Kangen, pengen makan masakan buatan Ibu!" ucap Anisa sembari tangannya merangkul lengan ibunya.
Mereka pun keluar bersama, ibu dan Anisa menunggu sebentar, sedangkan Andri mengambil mobil.
"Lah? Mobil baru, Ndri?" tanya Anisa yang heran dengan warna mobil adiknya.
"Hehehe!" Andri hanya nyengir bak unta Arab.
"Kuliah yang bener, biar cepet bisa bantu Ibu. Jangan malah hamburin uang. Nyusahin Ibu," celetuk Anisa.
"Nisaaaaa!" panggil ibu sambil buka pintu.
"Ayo masuk, jangan ngomel adikmu saja," tambah ibu sambil menarik tangan putri pertamanya itu.
Ibu Wini memang begitu. Selalu memanjakan Andri. Mungkin karena mereka hanya tinggal berdua. Selama ini kan Anisa di Malaysia.
"Jangan dimanja, Buk!" protes Anisa sambil naik ke dalam mobil.
"Sudah ... sudah ...!" Ibu dua anak itu pun melerai. Masalah mobil baru bukan hal besar bagi janda kaya raya seperti tante Wini.
Sementara Andri, ia tersenyum meledek pada kakak perempuannya itu. Ia meledek lewat spion di depannya. Membuat Anisa cemberut.
"Nanti, kalau kamu dah nikah ... lihat ya. Sudah gak bisa repotin ibu lagi!" celetuk Anisa. Tapi dengan nada bercanda.
MBREMM ...
Mobil mulai jalan, dan saat Anisa membahas pernikahan. Ibu langsung menimpali.
"Bagaimana kabar Taqi, Nis?" tanya ibu penasaran.
"Alhamdulillah, Mas Taqi baik kok, Bu. Tapi ..."
"Tapi apa?"
"Nisa pernah cerita tentang adik Mas Taqi yang baru nikah beberapa bulan yang lalu, kan?"
"Terus?" Tante Wini makin penasaran.
"Sudah meninggal dua minggu yang lalu."
"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Nisa kok gak cerita?"
"Gak enak, Bu. Lagian Mas Taqi kan belum kenalin Nisa ke keluarga."
"Ya sudah, nanti malam kita silaturahmi ke sana. Nanti kamu telpon Taqi dulu, bilang kita mau ke sana," ujar tante Wini.
Mendengar ibunya mengajak ke rumah Taqi, Anisa malu-malu kucing. Sedangkan sang adik yang sedang menyetir, tersenyum remeh. Ia tahu modus sang kakak.
"Iya, nanti Nisa telpon mas Taqi, Bu."
"Hemmm ... pulang bukannya kangen ibu. Pasti kangen mas Taqi, kan?" ledek Andri. Padahal matanya fokus menyetir, tapi bibirnya gak mau kalah.
"Kangen Ibu, lah!" jawab Anisa cepat.
'Kangen dua-duanya sih!' batin Anisa sambil bersandar di pundak sang ibu.
Karena macet, padahal jarak yang ditempuh tidak begitu jauh, akhirnya mereka tiba terlambat. Harusnya tidak lebih dari satu setengah jam, sekarang sampai dua jam lebih. Kemacetan di ibu kota sudah hal biasa. Makanan sehari-hari bagi penduduk kota metropolis tersebut.
***
Di tempat yang lain, Taqi sedang berada di yayasan Amsojar bersama abah Yusuf. Abah sengaja mengenalkan Taqi pada banyak pengurus di sana. Abah mau mundur, menyerahkan semua pada Taqi.
Meski awalnya menolak, menolak secara halus tentunya, tapi sekarang Taqi sudah berbesar hati. Semalam keduanya sudah bicara. Sepertinya Taqi akan menetap di Jakarta, sedangkan usaha di Malaysia, akan diurus oleh orang kepercayaan Taqi selama ini. Ia paling akan menenggok beberapa bulan sekali.
"Abah sangat berterima kasih, akhirnya kamu mau memenuhi permintaan Abah," ucap abah saat mereka berjalan mengelilingi yayasan Amsojar.
"Dan untuk Nada ... Abah sudah bicara dengannya," sambung abah dan langsung membuat Taqi terkesiap.
"Abah ... untuk masalah yayasan
... Taqi sangat bisa menerimanya. Tapi kalau untuk yang satu itu ..." Taqi ingin melanjutkan kata-katanya, tapi tidak enak hati.
"Tidak apa-apa, masih lama. Abah berharap kamu bisa jadi imam untuk mantu abah Qotrunnada, dan jadi pelindung untuk cucu Abah kelak. Abah tidak tergesa-gesa, Abah hanya ingin mengatakan, bahwa dalam setahun ini, sebaiknya Taqi tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun. Sebab harapan Abah ada padamu!" tutur abah sambil menepuk pundak anak angkatnya itu.
Rasanya impian Taqi sudah sampai di sini. Melihat sorot mata abah yang penuh harap, membuatnya sulit menolak. Bagai buah simalamkama. Taqi dibuat kesulitan untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Karena terjebak antara nurani, balas budi dan cinta dalam hati.
Pria itu menghela napas panjang, kemudian menyusul abah Yusuf yang sudah berjalan duluan.
Drettt .... drettt ....
Taqi menjauh, ingin mengangkat telpon. Apalagi telpon dari Anisa. Nanti ketahuan abah. Setelah melihat sekitar, barulah ia angkat telpon itu.
"Assalamu'alaikum?" sapa Anisa dengan suara lembut yang khas. Ia sudah sampai di rumah, sekarang duduk di sofa kamar sambil menelpon Taqi. Ia mau mengabari Taqi kalau nanti malam keluarganya mau silaturahmi ke rumah Taqi. Karena belum sempat melayat.
"Waalaikumsalam," jawab Taqi. Matanya masih mengamati sekeliling, takut bila ada yang dengar dan melihat.
"Tebak ... Nisa ada di mana?" Anisa malah main tebak-tebakan.
"Di mana?" dahi Taqi mengerut.
"Jakarta!" ucap Anisa ceria, tapi tidak dengan Taqi. Wajah Taqi seketika pucat.
...
"Hallo ... hallo ... Mas Taqi?" panggil Anisa yang tidak mendengar suara pria tersebut.
"Iya, kapan kamu datang?" Taqi tambah gelisah.
"Tadi, Mas. Oh ya, ibu bilang mau silaturahmi. Nanti malam ibu ngajak ke rumah. Nisa minta alamat rumah Mas Taqi ya .... Nanti ibu, Nisa sama Andri yang akan datang ke sana."
Seketika kepala Taqi Bassami langsung nyut-nyutan. Pusing mendadak.
"Tunggu dulu ... nanti malam?"
"Iya, Mas."
Taqi menelan ludah, otaknya mencoba berpikir keras. Abah tidak boleh ketemu keluarga Anisa terlebih dahulu. Situasi masih genting, belum kondusif. Takut malah menimbulkan masalah.
"Abah sama ummi lagi di luar kota, mungkin lusa baru pulang." Taqi mencari banyak alasan. Padahal abah ada, berdiri tidak jauh dari tempatnya menelpon.
Taqi seperti suami yang takut ketahuan selingkuh. Padahal belum apa-apa, hatinya sudah ketar-ketir duluan. BERSAMBUNG
IG : Sept_September2020
jawab iya salah jawab tidak juga berat
😭😭😭