Hubungan antara dua orang yang saling mencintai tentu saja akan lebih membahagiakan jika ada restu kedua orang tua di dalamnya. Namun, bagaimana akhirnya jika setelah semua usaha dilakukan, tapi tetap saja tidak ada kata restu untuk hubungannya?
Ini tentang Arasellia. Gadis dari kalangan biasa yang selalu kesulitan mendapatkan restu dalam setiap menjalin hubungan.
"Kalau pada dasarnya mereka udah nggak suka sama aku, mau aku kasih mereka uang semiliar juga nggak akan mengubah apa pun."
"Kalau misal berubah, emang kamu punya uang semiliar?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vin Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ulang Tahun
"Hai, Lang. Apa kabar?" Perempuan berusia 24 tahun itu tersenyum sembari mengulurkan tangan.
"Baik," jawab Elang menyambut uluran tangan Ajeng. Walau hanya sepersekian detik, tapi itu cukup membuat gadis yang berdiri di sebelahnya tersenyum kecut.
Ajeng adalah mantan kekasih Elang saat masih SMA. Keduanya putus saat Elang diterima di salah satu kampus ternama di Jakarta karena Ajeng tidak bisa menjalani long distance relationship.
"Nah, ini baru lengkap. Yuk, masuk." Rini dengan penuh percaya diri menggandeng tangan Elang dan Ajeng menuju ruang makan.
Lagi-lagi senyum masam tergambar di wajah Ara. Gadis itu mungkin masih mematung kalau saja Laras tidak meraih tangannya untuk mengikuti Rini.
"Mas Joni nggak ikut, Mbak?" tanya Ara basa-basi setelah mendudukkan tubuhnya di sebelah kiri Elang. Sementara di sebelah kanan kekasihnya juga ada Ajeng. Tampaknya untuk urusan tempat duduk saja sudah diatur oleh Rini.
"Enggak. Dia lagi ke luar kota, makanya Mbak dari kemarin juga nginep di sini," jawab Laras.
"Ehm! Kalo kalian ngobrol terus kapan acaranya dimulai?" Rini berujar sinis.
Laras hanya terkekeh. Wanita beranak satu itu justru menanggapinya dengan candaan, "Ya, sekarang, dong, Bu. Kalau besok basi, dong, makanannya."
Rini ingin sekali menyahut. Namun, suaminya sudah lebih dulu mencegahnya. Pras sendiri kadang heran melihat tingkah istrinya yang seperti anak kecil, padahal sudah punya cucu satu. Tidak jarang pria berkumis itu mendengar istrinya dibicarakan tetangga karena perseteruan yang Rini timbulkan hanya gara-gara masalah sepele.
"Karena yang ditunggu sudah datang semua, kita mulai acaranya, ya?" ujar Pras, lalu membuka acara tersebut dengan sambutan singkat.
Beberapa saat kemudian, acara potong tumpeng pun dilakukan oleh Rini. Wanita itu dengan senyum lebar memberikan potongan pertama kepada sang suami tercinta, dilanjutkan dengan Laras, Elang, lalu Ajeng. Sementara untuk Ara, Rini menyuruh gadis itu mengambil sendiri dengan alasan duduknya yang terlalu jauh.
"Maaf, ya, Ara. Habisnya kamu duduknya jauh banget, sih," kata wanita itu dengan senyum menyebalkan.
Ara hanya bergeming. Membuat sudut bibir Ajeng terangkat penuh kemenangan.
"Kamu makan ini aja, biar aku yang ambil lagi." Tiba-tiba Elang menggeser nasi kuning miliknya yang sudah dilengkapi lauk pauk ke hadapan Ara.
"Terima kasih, Mas." Ara merasa sedikit lega. Dia jadi tidak perlu mendengar Rini merundungnya kalau mengambil makanannya sendiri. Jika Ara mengambil banyak dibilang seperti orang tidak pernah makan, mengambil sedikit nanti dibilang tidak menghargai. Ya, Ara yakin sekali untuk satu itu. Bukannya mau berpikiran buruk, tapi siapa saja yang melihat kelakuan Rini pasti sependapat dengannya.
Di tengah-tengah mereka menikmati makanan, Ajeng yang mendadak membuka tas dan mengobrak-abrik isinya membuat kegiatan makan itu terhenti sejenak.
"Ada apa, Jeng?" Rini dengan lembut bertanya.
Ajeng belum menjawab sebelum menemukan barang yang ia cari. "Ini, Tante." Ia memberikan sebuah kotak beludru berbentuk persegi panjang. "Kado buat Tante, maaf Ajeng lupa ngasih tadi."
Raut wajah Rini sumringah saat menerimanya. Terlebih saat ia membuka isinya. Sebuah kalung dengan inisial R berhiaskan permata yang berkilau.
"Ajeng, ini cantik sekali. Terima kasih, ya, kamu memang tidak pernah mengecewakan." Wanita itu memeluk mantan kekasih dari putranya. Terlihat sekali kalau Rini benar-benar menginginkan Ajeng dan mungkin juga berharap kalau perempuan itu kembali menjalin kasih dengan Elang.
"Ara, lihat ini, menurut kamu bagus nggak kalungnya?" Rini merentangkan kalung barunya. Pamer.
"Bagus, Bu. Cocok sekali dipakai sama Ibu."
"Hoya, jelas! Ibu memang cocoknya pakai barang-barang mahal. Kalau yang murahan gitu," Rini melirik paper bag pemberian Ara, "biasanya kulit Ibu langsung merah-merah."
Pras hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan istrinya. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita seperti itu? Sedangkan Laras sudah bangkit berdiri karena Melodi minta ke kamar untuk mengambil mainan.
"Semuanya, aku tinggal dulu, ya," katanya, lalu melangkah sambil menggendong putrinya.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan emas kali ini, Rini sekarang sedang koar-koar membanggakan Ajeng dengan harapan Ara sadar diri bahwa dia tidak pantas untuk putranya yang sebentar lagi naik jabatan menjadi seorang manajer.
"Ajeng ini dari belum lulus kuliah aja udah ada yang nawarin kerjaan. Pantes aja sekarang udah jadi manajer hotel. Hebat 'kan, Lang?" Rini meminta persetujuan putranya untuk memanas-manasi Ara.
Elang tidak menjawab. Dia justru menatap arlojinya, lalu menoleh ke Ara. "Udah malem. Yuk, aku anter pulang. Aku nggak enak sama bapakmu kalo kemaleman."
Ara mengangguk, kemudian meraih tasnya dan berpamitan pada orang tua Elang dan tentu saja Ajeng.
"Ehm, Lang!" Ajeng memanggil nama mantan kekasihnya sebelum laki-laki itu benar-benar meninggalkan ruang makan.
"Kamu keberatan nggak kalo aku minta anterin sekalian? Kamu tadi lihat 'kan aku ke sini naik taksi online?"
jujur aku seneng omanya mati
🙈🙈🙈