Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan Kacau & Doa yang Terselip
Jam tujuh pagi, aroma sambel terasi dari dapur rumah Pak Samingan nyebar sampe halaman depan.
Aku baru aja selesai nyapu teras waktu Mbok Jum nyenggol bahuku pelan.
“Rara, ayo cepet ke meja makan. Mas Arifbol udah nyiapin acara, katanya.”
Aku kaget. “Acara opo maneh iki, Mbok?”
Mbok Jum cengengesan. “Katanya ‘Sarapan Istimewa Bersama Mbak Rara’. Aku yo heran, saiki rumah iki kayak mau syukuran wae.”
Aku langsung jalan ke ruang makan, dan… ya Allah, mataku langsung bingung campur geli.
Di meja makan, ada piring-piring yang ditata rapi banget — tapi isinya aneh: roti, sambel, nasi goreng, pisang goreng, sama susu cokelat semua ditumpuk jadi satu!
Arifbol berdiri bangga di ujung meja, pake celemek bertuliskan “Master Chef Nganjuk”.
“Mbak Raraaa! Duduk sini. Aku masak sendiri lho!”
Aku nahan ketawa setengah mati. “Waduh, Mas, ini makanan apa percobaan kimia?”
Pak Samingan yang duduk di sebelah cuma ngelus dada. “Nak, Bapak udah bilang campurannya jangan semua. Tapi kamu bilang ‘biar rasanya rame kayak hidup’. Ya sudahlah.”
Bu Wiji malah senyum sabar, “Yang penting niatnya bagus, Pak.”
Aku duduk pelan, ngeliat Arifbol masih semangat nyendokin nasi goreng yang udah campur roti sobek dan susu.
“Coba, Mbak Rara, dicicip,” katanya bangga.
Aku ngelirik pelan. “Mas yakin ini aman dikonsumsi manusia?”
“Tenang! Aku udah baca doa tadi.”
“Doa apa?”
“Doa spesial buat sarapan cinta dan rezeki.”
Pak Samingan langsung batuk pura-pura.
Aku ngakak. “Doanya kayak gimana, Mas?”
Arifbol nutup mata, tangannya ngangkat pelan.
“Ya Allah, semoga nasi goreng ini bikin Mbak Rara kenyang dan tidak menyesal lahir ke dunia ini.”
Seketika satu meja meledak ketawa.
Pak Samingan sampe ngelap air mata. “Nak, kamu ini lucunya alami banget, sumpah.”
Bu Wiji geleng-geleng, tapi senyum lembut. “Yang penting hatimu tulus, Nak.”
Waktu sarapan berakhir (dan perutku aman, alhamdulillah), aku bantu Bu Wiji di dapur.
“Rara, kamu sabar banget, ya,” kata Bu Wiji sambil nyuci piring.
Aku nyengir. “Saya udah biasa, Bu. Mas Arifbol lucu kok, ndak bikin capek, malah kayak terapi ketawa.”
Bu Wiji senyum haru. “Iya, dia memang beda. Tapi hatinya bersih. Dia itu kalau suka sama orang, tulus sekali. Ndak bisa pura-pura.”
Aku diam. Entah kenapa kalimat itu nyangkut di pikiranku.
Siangnya, aku lagi rapiin berkas di ruang kecil.
Arifbol tiba-tiba nongol, bawa piring kecil berisi puding cokelat.
“Mbak Rara, ini aku bikin lagi. Tapi kali ini aku ndak campur sambel.”
Aku ngakak. “Wah, kemajuan besar, Mas!”
Dia senyum bangga, tapi matanya tiba-tiba serius.
“Mbak, aku boleh nanya?”
“Boleh, Mas.”
“Kenapa kalau aku liat kamu, dadaku rasanya kayak deg-degan tapi pengen ketawa juga?”
Aku mendadak beku.
“Lho… Mas Arifbol kenapa tanya gitu?”
“Ndak tahu. Tadi aku doa, tapi yang kebayang malah wajahmu. Terus aku takut, jangan-jangan aku salah doa.”
Aku nunduk, nahan senyum. “Mas, itu bukan salah doa. Mungkin Mas lagi senang aja.”
“Senang ya?”
“Iya, senang. Tapi jangan keterusan, nanti pudingnya gosong.”
Dia ngakak keras. “Hahaha, puding ndak bisa gosong, Mbak!”
“Tapi kalau hati bisa,” kataku setengah bercanda.
Entah kenapa, setelah itu suasana jadi aneh — bukan karena canggung, tapi karena ada rasa hangat yang muncul pelan-pelan, halus, dan jujur.
Sore, sebelum aku pulang, Arifbol lari keluar rumah sambil bawa sapu lidi.
“Mbak Rara! Ini sapu sakti!”
Aku ngakak. “Lho, buat apa, Mas?”
“Biar kamu bersihin kesedihan. Katanya kalau Mbak Rara senyum terus, aku ndak bakal kambuh bulan ini.”
Aku diam sebentar, terus pelan-pelan senyum.
“Ya udah, aku senyum terus deh, Mas. Biar kamu sehat.”
Dia angguk cepat, lalu nyeletuk polos,
“Kalau gitu aku doa tiap pagi aja, biar senyummu ndak libur.”
Aku ngakak, tapi entah kenapa mataku tiba-tiba hangat.
Ada sesuatu di dalam hatiku yang mulai bergetar — pelan, tapi nyata.
Setelah kejadian sarapan ajaib itu, aku dikasih tugas baru sama Bu Wiji:
“Rara, tolong bantuin Arifbol beresin perpustakaan kecil di belakang ruang tamu, ya. Udah lama ndak dibersihin.”
Aku langsung semangat.
“Iya, Bu! Saya beresin bareng Mas Arifbol, sekalian biar ruangannya rapi.”
Bu Wiji senyum lembut. “Nah, itu bagus. Tapi hati-hati, jangan sampai kebanyakan ngobrol, nanti bukunya malah ditumpuk jadi menara.”
Aku cuma bisa ketawa kecil. “Siap, Bu. Saya pantau terus.”
Perpustakaan rumah itu ternyata kecil tapi nyaman banget.
Rak kayu tua, bau buku lama, jendela besar yang ngadep ke taman.
Aku mulai nyapu debu di rak bawah, sementara Arifbol jongkok di sebelahku, pegang buku penuh gambar dinosaurus.
“Mbak Rara, kamu tau gak? Ini buku kesayanganku waktu kecil,” katanya polos.
“Wah, dinosaurus ya? Mas suka binatang purba?”
“Iya. Soalnya dulu aku pikir aku bakal tumbuh jadi T-Rex.”
Aku ngakak. “Mas, jangan-jangan sampe sekarang masih suka ngeluarin suara ‘graaarr’?”
Dia malah berdiri dan ngelakuin itu beneran.
“Graaaarrr!”
Aku langsung ngakak sampe nyender di rak.
“Ya Allah, Mas! Jangan diulang, nanti bukunya jatuh semua!”
Beberapa menit kemudian, aku nemu satu album foto lama.
Sampulnya udah agak kusam. Aku buka pelan-pelan.
Isinya… foto-foto Arifbol kecil.
Ada foto dia lagi main bola, lagi lomba hafalan Qur’an, dan satu foto yang bikin aku diam cukup lama — Arifbol kecil duduk di rumah sakit, senyum sambil pegang boneka sapi.
Aku nanya pelan, “Mas, ini kapan?”
Dia nengok, matanya lembut.
“Itu waktu aku umur delapan tahun. Aku baru pulang dari rumah sakit. Katanya aku kena kejang pertama kali.”
Aku tertegun. “Oh…”
“Waktu itu Ibu nangis terus. Tapi aku malah senyum, soalnya aku pikir aku cuma ketiduran lama.”
Suasana hening sebentar.
Arifbol melanjutkan dengan nada pelan, “Sejak itu, aku gak pernah bisa sekolah normal. Tapi Bapak ngajarin aku di rumah, Ibu yang jagain. Jadi kalau sekarang aku bisa hafal surat Al-Mulk, itu semua karena mereka.”
Aku ngangguk pelan.
“Mas beruntung punya orang tua kayak mereka.”
Dia senyum tipis. “Iya. Tapi aku juga beruntung punya Mbak Rara sekarang.”
Aku langsung pura-pura sibuk nyapu lagi, biar nggak keliatan pipiku panas.
“Lho, Mas, ngomong apa to. Aku kan cuma kerja.”
“Tapi kerja yang bikin aku bahagia.”
Aku pengen ngomel, tapi kalimat itu terlalu manis buat ditolak.
Beberapa menit kemudian, Arifbol nemu selembar kertas kecil di antara tumpukan buku.
“Eh, ini apa ya, Mbak?”
Aku lihat. Tulisan tangan kecil:
“Ya Allah, semoga Arifbol punya teman yang mau dengar cerita lucuku.”
Tulisan itu udah pudar, tapi masih kebaca.
Aku nanya pelan, “Mas, ini tulisan siapa?”
“Itu doaku waktu kecil.”
Aku senyum, tapi mata rasanya hangat.
“Berarti doa Mas udah dikabulkan sekarang.”
Dia bengong sebentar. “Lho, kok bisa?”
Aku menatap matanya dan bilang pelan,
“Karena sekarang Mas punya aku yang tiap hari denger cerita lucu Mas.”
Arifbol langsung senyum lebar, polos banget.
“Wah, berarti Allah sayang aku dua kali.”
“Dua kali?”
“Iya. Pertama karena dikasih Ibu dan Bapak, kedua karena dikasih Mbak Rara.”
Aku nggak bisa jawab apa-apa selain senyum lemah sambil nyembunyikan pipi yang udah merah kayak tomat.
Arifbol malah lanjut,
“Kalau gitu aku tambahin doa baru deh.”
Aku heran. “Doa apa lagi, Mas?”
“Ya Allah, jangan cepet-cepet bikin Mbak Rara pulang.”
Aku cuma bisa ngakak campur haru.
Lha, gimana to, anak bos satu ini. Setiap ngomong bisa bikin hati meleleh, tapi dengan cara kocak.
Sore hari, waktu aku pamit pulang, Arifbol dadah dari jendela sambil teriak,
“Besok kita lanjutin beresin rak ya, Mbak! Tapi jangan rak yang banyak debunya, aku alergi kenangan!”
Aku ngakak keras. “Siap, Mas! Besok kita rak yang kenangan manis aja!”
Di jalan pulang, aku duduk di atas ojek sambil melamun.
Hujan rintik-rintik turun pelan.
Kupandangi gelang warna-warni di tanganku.
Entah kenapa, sekarang rasanya hangat banget — bukan karena gelangnya, tapi karena yang ngasih.
Dan di dalam hati kecilku, aku sadar satu hal:
Aku mulai gak sabar ketemu Arifbol lagi besok.